Pemangku kepentingan dari sektor kelapa sawit Indonesia menyuarakan sebuah usaha gabungan untuk menjawab serangan-serangan pada kelapa sawit, baik di dalam dan luar negeri, dengan menjadikan penyempurnaan usaha keberlanjutan dari sektor kelapa sawit sebagai salah satu jawaban.

Direktur Jenderal Perkebunan Bambang MM, ketika membuka Indonesian Palm Oil Stakeholder Forum 2017 di Medan, Sumatra Utara, mengatakan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit saat ini telah menunjukkan “pencapaian yang luar biasa”.“Namun, saya perlu mengatakan bahwa saat ini, kelapa sawit ada dalam kondisi yang berbahaya. Jika kita tidak berubah, isu-isu negatif yang datang dari dalam dan luar negeri akan terus bergulir,” kata Bambang.
Dia mengatakan bahwa untuk mewujudkan kelapa sawit Indonesia yang unggul–sebagai tema dari forum tersebut–seluruh pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit perlu bekerja sama dan memastikan bahwa segala hal di sektor ini sesuai dengan prinsip kerja yang diterima banyak pihak serta merupakan praktik terbaik.
Mona Surya, Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) juga turut menyuarakan agar semua pihak “bersatu untuk menjawab isu-isu yang tidak kondusif”.
Mona menekankan kontribusi signifikan kelapa sawit pada ekonomi Indonesia dan mengatakan bahwa negara perlu memastikan keberlanjutan kelapa sawit jika ingin kontribusi ini terus berlanjut. Dia mengatakan, setidaknya, usaha pemerintah untuk membuat sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebuah keharusan untuk diaplikasikan pada seluruh pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit.
“ISPO adalah suatu keharusan bagi seluruh pelaku di sektor kelapa sawit, dan semua memiliki kewajiban untuk mendukung program ini,” kata Mona merujuk pada sertifikasi yang dibuat dan digalakkan oleh pemerintah Indonesia.
Bambang mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit, menurut data resmi, saat ini memiliki luas gabungan 11,9 juta hektar, dengan total produksi 33,2 ton per tahun.
Kelapa sawit juga mengkontribusikan Rp239,4 triliun pada produk domestik bruto di tahun 2016 dan memberdayakan 82,5 juta tenaga kerja.
“Namun banyak pihak yang tidak ingin kelapa sawit Indonesia sukses,” kata Bambang.
Dia mengatakan bahwa serangan terhadap sektor kelapa sawit harus ditanggapi sebagai masukan “agar kita dapat berintrospeksi dan terus berbenah”.
“Kita jangan terobsesi dengan melawan kamapanye hitam atas Indonesia tapi malah lupa berbenah diri,” kata Bambang.
Bambang mengatakan, dari 1.600 perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia, baru 535 yang mendaftar untuk sertifikasi ISPO, dan 306 di antaranya telah mendapatkan sertifikasi. Perusahaan yang telah bersertifikasi ini memiliki total lahan 1,8 juta hektare, angka yang remeh jika dibandingkan total lahan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 11,9 juta hektare.
“ISPO adalah komitmen perkebunan kelapa sawit Indonesia untuk menunjukkan bahwa kelapa sawit di Indonesia diproduksi dalam kepatuhan (pada peraturan dan prinsip keberlanjutan) dan pengelolaan yang baik,” kata Bambang.
Dia menambahkan, meski angka resmi menyatakan total lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 11,9 ha, angka di lapangan sepertinya dapat mencapai lebih dari 15 juta ha karena ada banyak perkebunan yang tidak terdaftar dan bahkan tidak memiliki hak guna usaha (HGU) yang sebenarnya diharuskan untuk setiap perkebunan.
Bambang juga menyatakan bahwa dari 4,7 juta ha lahan yang dikelola petani, 1,7 juta ha tumpang tindih dengan hutan lindung. Sedangkan untuk perkebunan perusahaan besar, luasan lahan yang tumpang tindih bisa mencapai 3,3 juta ha.
“Bagaimana kita mau menghentikan kampanye hitam jika perkebunan kita masih tumpang tindih dengan hutan lindung?” kata Bambang.
Forum yang berlangsung selama satu hari itu, dalam doa pembukanya, memohon pada tuhan Yang Maha Esa agar Indonesia diberikan kekuatan untuk menjawab “tantangan serta serangan”. Forum ini akan dilanjutkan pada 29 September 2017 dengan kunjungan ke perkebunan dan fasilitas produksi kelapa sawit.