The Palm Scribe

Menyejukkan Lahan Sawit di Musim Kemarau

Kebakaran hutan dan lahan yang selalu mengiringi datangnya musim kemarau di Indonesia, mengaruskan para pelaku usaha sawit untuk bekerja keras menghindari tuduhan sebagai penyebab kebakaran walaupun hal ini juga banyak disebabkan faktor yang berada diluar kendali mereka.
Sawit di Musim Kemarau
Ilustrasi

Bagi Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI),  banyak faktor yang berada diluar kendali pelaku usaha sawit yang ikut menyumbang kepada terjadinya kebakaran hutan dan lahan, seperti cuaca dan beberapa aturan yang tidak menunjang.

“Setidaknya ada dua regulasi yang tidak relevan lagi, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 yang membolehkan masyarakat membakar lahan dengan luas maksimal 2 hektare (ha) dan aturan penggunaan kayu hasil pembukaan lahan,” ujarnya di Jakarta menurut liputan6.

“Ini kan keliru, peraturan ini yang menjadi salah satu faktor pemicu utama kebakaran lahan saat ini,” paparnya.

Tungkot menilai, asap hasil kebakaran hutan dan lahan dapat menurunkan produktivitas kebun sawit. “Jadi sangat bodoh jika perusahaan sawit sengaja membakar untuk membuka lahan. Kerugiannya lebih besar,” ujarnya.

Menurutnya,  pelaku industri sawit harus menerapkan strategi yang tepat guna menjaga kuantitas dan kualitas produksi tanpa melupakan ancaman kebakaran yang probabilitasnya besar saat musim kemarau datang. Tercatat, jumlah pro duksi sawit berkurang hingga 50% lebih pada musim kemarau tahun lalu.

Bahan pupuk organik merupakan salah satu strategi pelaku usaha sawit untuk menunjang produktivitas danbsekaligus menghabat atau menghindari kebakaran. Tanah yang mengandung bahan organik terbukti dapat menjaga kelembapan lebih lama.

Namun sayang ketersediaan jenis pupuk organik berkualitas di Indonesia terbilang belum banyak, sebab sebuah pupuk organik dapat dikatakan baik apabila tidak hanya dapat menjaga kelembapan tanah lebih lama, namun juga dapat melindungi tanaman dari penyakit selama musim kemarau berlangsung.

Strategi lain yang seringkali dilakukan adalah membangun fasilitas di perkebunan sawit seperti menara dengan tinggi 15 meter guna memonitor keadaan lapangan secara langsung, dan menyediakan tempat tampung air dengan ukuran 20 X 20 meter di sekitar lahan perkebunan.

Sebagai contoh misalnya, PT Kayung Agro Lestari s sudah menerapkan hal tersebut di perkebunannya di Ketapang, Kalimantan Barat. Guna memaksimalkan fasilitas tersebut, mereka juga mengadakan pelatihan bagi penduduk desa sekitar perkebunan agar siap menghadapi kebakaran.

Kebakaran lahan seringkali juga sulit untuk dihindari di sebabkan besarnya wilayah sawit yang ada, dan kondisi geografis juga tak jarang menyulitkan pemantauan dan pencegahan kebakaran.

Guna menangani permasalahan tersebut, pantauan udara dengan teknologi drone sering digunakan. Drone dapat melihat objek di wilayah terpencil dengan tingkat detail yang tinggi dengan waktu yang relatif singkat.

“Dengan drone ini juga bisa memberikan informasi berapa luas hutan yang misalnya terbakar. Jadi sangat membantu tugas dan mendata kawasan hutan.” Ujar Syarifudin, Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Utara kepada Bulungan Post.

Namun sayang, penggunaan drone belum dapat digunakan secara meluas dan kebanyakan  pengelola perkebunan sawit Indonesia masih melakukan pemantauan lahan secara manual, yang membutuhkan waktu dan tenagabyangbtidak sedikit.

“Setahu kami itu belum ada mas, ini salah satu masalah di petanian terkait dengan kapasitas dalam hal teknologi itu belum ada.” Ujar Sabarudin, anggota Serikat Petani Kelapa Sawit kepada Palm Scribe.

“Dengan drone ini juga bisa memberikan informasi berapa luas hutan yang misalnya terbakar. Jadi sangat membantu tugas dan mendata kawasan hutan.” Ujar Syarifudin, Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Utara kepada Bulungan Post.

Namun sayang, penggunaan drone belum dapat digunakan secara meluas dan kebanyakan  pengelola perkebunan sawit Indonesia masih melakukan pemantauan lahan secara manual, yang membutuhkan waktu dan tenagabyangbtidak sedikit.

“Setahu kami itu belum ada mas, ini salah satu masalah di petanian terkait dengan kapasitas dalam hal teknologi itu belum ada.” Ujar Sabarudin, anggota Serikat Petani Kelapa Sawit kepada Palm Scribe.

Pemeliharaan dan pencegahan bencana terhadap lahan secara maksimal saat ini mungkin hanya dapat dilakukan pemain besar saja karena faktor finansial, sumber daya manusia, dan standarisasi yang mendukung.

Lalu kenapa mereka seringkali disalahkan apabila terjadi kebakaran?

Sistem standarisasi yang tinggi belum diterapkan oleh semua pengelola perkebunan sawit, seringkali kasus kebakaran hutan berawal dari lahan pemain kecil yang belum menjalankan standard cukup untuk memelihara lahan perkebunannya. Penanggulangan yang lama menyebabkan api menjadi menyebar ke daerah yang lebih luas dan memasuki wilayah lahan perkebunan sawit yang dikelola pemain besar.

Menurut Agus Sari, CEO Landscape Indonesia,  pencegahan kebakaran hutan merupakan tanggung jawab kolektif semua pemangku kepentingan terkait. “Pemeliharaan lingkungan yang tidak terpusat untuk mencegah bencana merupakan kewajiban seluruh pemangku kepentingan di suatu daerah,” ujar Sari kepada The Palm Scribe.

Ia juga menegaskan pembangunan berkelanjutan yang berlandaskan pendekatan landskap, yang memperhitungkan berbagai faktor, harus menjadi dasar pengembangan daerah industri perkebunan.

Untuk menghindari  meluasnya kebakaran akibat pembakaran lahan, diperlukan solusi membuka lahan dengan cara tanpa api, seperti dengan mencabut tanaman yang sudah ada, lalu meratakannya, kemudian baru dilakukan pembajakan. Namun metode ini membutuhkan waktu dan dana yang lebih besar dibandingkan dengan cara membakar untuk membuka lahan baru sehingga dinilai tidak efisien.

Pemerintah dalam hal ini menegaskan telah berperan sebagai regulator yang tegas, dengan kebijakan seperti moratorium pembukaan lahan baru untuk hutan primer dan lahan gambut, pembentukan Badan Restorasi Gambut, dan ancaman memberhentikan aparat kepolisian dan TNI setempat yang gagal mencegah kebakaran hutan selama musim kemarau.

Dwikorita Karnati yang mengepalai Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga menekankan perlunya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada daerah yang dianggap rawan terhadap kebakaran hutan maupun lahan.

Sampai saat ini provinsi yang memberlakukan status siaga darurat kebakaran hutan adalah Sumatra Selatan, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

Share This