The Palm Scribe

Mengelola kebun kelapa sawit tanpa merusak lahan gambut

Makin kuatnya tekanan global dalam isu perusakan dan degradasi lingkungan hidup, membuat pemerintah Indonesia berupaya melindungi lahan gambutnya yang luas, tetapi mungkin secara tidak sengaja justru menghambat penyumbang devisa dengan pertumbuhan paling cepat di negeri ini, yaitu industri kelapa sawit.

Pembukaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit di Ketapang, Kalimantan Barat. (Foto: Wicaksono/The Palm Scribe)
Pembukaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit di Ketapang, Kalimantan Barat. (Foto: Wicaksono/The Palm Scribe)

Lahan gambut yang terbentuk dari lapisan tumbuhan yang membusuk selama ribuan tahun, memiliki luas hampir 11 persen dari daratan negeri ini (UNDP) . Lapisan gambut ini dapat menyerap dan menyimpan karbon dioksida dan air secara efisien, sekaligus merupakan lahan yang subur bagi tumbuhan.

Tetapi, salah kelola selama bertahun-tahun, pengeringan dan pembakaran lahan gambut untuk kepentingan pertanian dan perkebunan, termasuk untuk kelapa sawit dan kayu, juga bencana alam, telah merusak lahan gambut yang semakin hari semakin meningkat, dan berakibat pada dilepaskannya karbon dalam jumlah yang sangat besar ke udara.

Pemerintah sudah berusaha menghambat laju kerusakan ini dengan menerbitkan sebuah peraturan pada tahun 2016 yang memperluas cakupan sebuah moratorium yang sudah ada mengenai hutan primer dan lahan gambut. Moratorium sebelumnya, yang diterbitkan pada tahun 2011, mencakup konversi hutan primer dan lahan gambut yang lebih dalam dari tiga meter. Peraturan tahun 2016 memperluas cakupannya pada semua lahan gambut dan juga mewajibkan perusahaan untuk memperbaiki lahan gambut yang mereka tanami.

Namun banyak pihak, termasuk di dalam industri kelapa sawit, menyatakan bahwa moratorium ini terlalu pukul rata dan seharusnya lebih spesifik. Mereka berdalih bahwa ada beberapa jenis lahan gambut yang dapat dikelola secara berkelanjutan bagi pertanian, termasuk perkebunan kelapa sawit. Mereka merujuk kepada beberapa contoh di mana perkebunan kelapa sawit telah selama beberapa generasi berada di lahan gambut, tanpa mengakibatkan kerusakan fungsi gambut.

Berbicara dalam sebuah diskusi panel mengenai lahan gambut dalam rangka Indonesia Palm Oil Stakeholders Forum (IPOS-Forum) kedua di Medan baru baru ini, Edison Parulian Sihombing yang mengepalai departemen tumbuhan di perusahaan agrobisnis PT Socfin Indonesia, mengatakan bahwa perusahaannya telah mengelola perkebunan di lahan gambut selama hampir empat generasi dan lahan tersebut tidak saja terjaga dengan baik, termasuk fungsinya, tetapi juga tanamannya memiliki tingkat produktivitas yang baik.

“Yang penting itu etika. Komitmen untuk menjaga fungsi gambut dengan water management yang konsisten, sehingga fungsinya tidak rusak. Ini terlihat dari kapasitas produktivitas lahan yang tidak melemah tetapi sebaliknya membaik, “ kata Sihombing.

Sihombing menambahkan bahwa moratorium atas penggunaan lahan gambut secara pukul rata telah menjadikan semua jenis lahan gambut tertutup bagi pertanian, dengan demikian menutup semua kesempatan pengembangan pertanian berkelanjutan di atasnya, termasuk kelapa sawit.

“Seharusnya, hanya mencakup kubah gambut saja, lahan gambut di pinggir-pinggirnya tidak,” ujar Sihombing.

Azwar Maas, kepala kelompok ahli pada Badan Restorasi Gambut (BRG), mengatakan pada kesempatan yang sama bahwa kubah gambut, sesuai dengan namanya, berwujud seperti kubah yang terbentuk dari menumpuknya tanaman yang membusuk pada suatu titik pada lapisan merata gambut di bawahnya, miskin mineral dan tidak subur seperti lapisan gambut yang datar. Kubah ini sangat efektif  menyimpan karbon dioksida dan air.

“Adalah kewajiban perusahaan untuk menginventarisasi karakteristik ekosistem gambut di daerah mereka,” ujar Maas.

Ia mengatakan bahwa salah satu karakteristik gambut adalah mampu menyimpan air sampai sebanyak 13 kali bobot masanya, tetapi sekali gambut ini menjadi kering, ia akan kehilangan kemampuan menyimpan air.

“Prinsip dasarnya adalah bahwa lahan gambut harus selalu dalam keadaan lembab sepanjang tahun. Kubah merupakan cadangan air,” katanya.

Sihombing mengatakan bahwa Socfin kini mengelola perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang berusia sekitar seratus tahun. Terletak di sebuah konsesi di Negeri Lama, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatra Utara, lahan ini sudah ditanami antara tahun 1919-1921 dan kini sudah tiga kali diremajakan. Perkebunan ini menghasilkan 27 sampai 29 ton tandan buah segar per hektare per tahun.

“Perkebunan ini sudah ada semenjak zaman Belanda dan produktivitasnya tetap tinggi,” kata Sihombing.

Ia menjelaskan bahwa dengan menyediakan saluran air yang dalamnya sampai 70 cm,  permukaan air di lahan gambut ini bisa terjaga.

Untuk menjaga laju subsidens dan untuk mencegah kerusakan akibat kekeringan yang tidak akan bisa diperbaiki lagi, kata Sihombing, penting untuk menjaga tinggi permukaan di daerah itu. Pemupukan dilakukan tiga kali dalam setahun dan harus sudah selesai sebelum musim hujan, sebelum daerahnya kena banjir.

“Dengan perencanaan dan tata kelola yang baik, lahan gambut bisa digunakan untuk penanaman kelapa sawit yang berkelanjutan,” ujarnya.

Maas menambahkan bahwa pengelolaan air harus juga menjamin permukaan air tetap terjaga, ketika musim kering tiba. Di musim kering, air tetap mengalir keluar, tetapi tidak ada air yang masuk ke lahan.

“Prinsip dasarnya adalah bahwa keseimbangan permukaan air tidak boleh defisit. Yang penting adalah menjaga keseimbangan air yang baik,” kata Maas.

“Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dapat memberikan dampak positif dan ini sudah berjalan selama sekitar 100 tahun,” kata Achmad Manggabarani, Ketua  Forum Pengembangan Perkebunan Strategis dan Berkelanjutan dan juga mantan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.

Ia menceritakan ada banyak contoh penanaman di lahan gambut seperti ini.  Selain perkebunan di Negeri Lama, ia menyebut perkebunan milik PTPN V di Ajamu di Kabupaten Labuhan Batu dan di Meranti, perkebuan rakyat di Teluk Panji di Kabupaten Labuhan Batu, serta di Serawak, Malaysia.

“Malaysia memiliki 1,6 juta hektare lahan gambut dan 1.1 juta hektare di antaranya sudah digunakan, tetapi ini tidak pernah dipersoalkan,” kata Manggabarani.

Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut di Serawak dapat memproduksi sampai 30 ton tandan buah segar per hektare per tahun, ujarnya. “Kelapa sawit sebenarnya adalah tanaman terbaik yang bisa ditanam di lahan gambut,” tambahnya.

Ia, seperti halnya Maas dan Sembiring, juga mengatakan bahwa “kuncinya adalah water management. Ini yang paling mendasar.”

Manggabarani mengatakan bahwas pemerintah mengimbau semua pihak untuk bersatu dan menjadikan kelapa sawit sebagai komoditi yang strategis, tapi lain kata dan perbuatan.

“Lahan gambut tidak masalah untuk ditanami, selama penanaman itu dilakukan dengan baik,” katanya.

Share This