The Palm Scribe

Mencegah kebakaran hutan dan lahan kelapa sawit

Luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2017 menurun drastis dibandingkan tahun sebelumnya. Apa yang terjadi?

ILUSTRASI. Bencana kebakaran hutan pada malam hari.

Kebakaran hutan dan lahan terjadi setiap tahun di Indonesia. Meski skalanya berbeda-beda, dampaknya sangat signifikan bagi masyarakat, terutama mereka yang tinggal di dekat lokasi bencana.

Bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) biasanya disebabkan oleh dua faktor utama, yakni manusia dan alam. Kasus terbanyak adalah karhutla yang disebabkan api dari kegiatan pembakaran vegetasi untuk membuka lahan pertanian atau perkebunan yang akhirnya tidak terkendali.

Faktor alam, yakni kondisi iklim kering di mana curah hujan begitu rendah, juga turut berperan besar dalam terjadinya karhutla. Namun, potensi karhutla sesungguhnya tidak hanya ada di lahan kering saja. Kebakaran juga dapat terjadi di lahan basah/gambut yang sudah ditanami sawit.

Karhutla pada Juni – Oktober 2015, yang disebut-sebut sebagai bencana terparah sepanjang sejarah, mengakibatkan sedikitnya 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa terjangkit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), 60 juta jiwa terpapar asap, dan sebanyak 2,61 juta hektare hutan dan lahan terbakar.

Dari 2,61 juta hektare lahan yang terbakar, menurut laporan Republika, terdapat 33 persen yang menimpa lahan gambut seluas 869.754 hektare. Sementara kebakaran di tanah mineral seluas 1.741.657 hektare atau 67 persen.

“Ekonom menghitung dampak karena urusan pembatalan penerbangan, dampak karena perkantoran yang libur, dampak karena aktivitas ekonomi yang berhenti mencapai angka yang tidak sedikit, kurang lebih Rp220 trilliun. Itu angka yang sangat besar sekali,” kata Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, awal tahun ini, seperti dilaporkan Okezone.

Sejak itu, pemerintah pusat menggelar berbagai program pencegahan dan pengendalian untuk mencegah terulangnya bencana karhutla bersama dengan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, Badan Penanggulangan Bencana Nasional, TNI, Polri, perusahaan, juga masyarakat setempat.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), misalnya, membentuk program Masyarakat Peduli Api (MPA). MPA dibentuk di desa-desa yang menjadi sasaran, yaitu desa yang berbatasan dengan kawasan hutan dan desa rawan kebakaran di seluruh Indonesia.

KHLK pun melatih dan memberikan pembekalan teknis mencegah kebakaran. Pelatihan dan pembekalan teknis meliputi beberapa aspek, gambaran umum pengendalian karhutla, teknik dasar pencegahan, dasar pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB), teknik dasar pemadaman kebakaran, dan dilengkapi dengan praktek di lapangan. KLHK juga memberikan peralatan sederhana untuk perlengkapan pribadi dan pemadaman dini karhutla.

Kalangan perusahaan di industri kayu dan kelapa sawit juga diminta ikut aktif mencegah karhutla. Mereka tidak lagi hanya mengawasi areal konsesinya, tapi juga diwajibkan memantau desa-desa di sekitarnya.

Dalam sistem ini, perusahaan diwajibkan untuk menetapkan desa binaannya berdasarkan tiga peringkat atau ring. Ring-1 (desa berbatasan langsung dengan areal konsesi), Ring-2 (desa berjarak tiga km dari batas areal konsesi), dan Ring-3 (desa berjarak lebih dari tiga km dari batas areal konsesi).

Pemilik konsesi bertanggung jawab menjalankan program pembinaan termasuk pembiayaan atas desa di dalam konsesi (Ring-1) dan desa di dalam jarak 3 km dari batas luar konsesi (Ring-2). Untuk desa yang berada di Ring-3, perusahaan menjadi kluster leader yang bertanggung jawab dalam koordinasi pembinaan ke desa-desa di Ring-3.

Dengan sistem yang baru ini, fokus pengendalian dialihkan pada pencegahan kebakaran, yakni deteksi dini, pemadaman dini, dan pembinaan sekitar areal konsesi.

APEL PAGI: Unit Pemadam Kebakaran Hutan PT Kayung Agro Lestari melakukan apel pagi. (Foto: Wicaksono/The Palm Scribe)

Salah satu perusahaan yang ikut bertanggung jawab melakukan pencegahan karhutla adalah PT Kayung Agro Lestari (PT KAL), anak perusahaan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. PT KAL yang beroperasi di Ketapang, Kalimantan Barat, pertama kali membentuk unit pemadam kebakaran lahan pada 10 Oktober 2015. Dengan 32 personel yang sudah dilatih dan mendapat sertifikat dari Manggala Agni, unit ini dilengkapi dengan 1 mobil pemadam kebakaran, 10 pompa air bertekanan tinggi.

Untuk memonitor lahan dan mencegah kebakaran, dibangun menara pemantau setinggi 15 meter di setiap 500 ha lahan. Totalnya, PT KAL memiliki 29 menara pantau. Juga dibangun embung air (reservoir) berukuran 20 x 20 meter.

MENARA PANTAU. PT KAL memiliki 29 menara pantau setinggi 15 meter untuk mendeteksi titik api di lahan. (Foto: Wicaksono/The Palm Scribe)

Manajemen PT KAL menilai bahwa ancaman karhutla merupakan keniscayaan yang mau tak mau harus dihadapi perkebunan kelapa sawit setiap tahun, khususnya di musim kemarau. Untuk mengatasinya, ANJ lebih memilih fokus pada upaya pencegahan dibanding upaya pemadaman.

Pencegahan karhutla dinilai merupakan cara yang lebih efektif dan ekonomis untuk mengurangi kerusakan dan kerugian tanpa harus menggunakan peralatan mahal. Pencegahan, menurut manajemen, merupakan kegiatan yang paling penting dalam pengendalian karhutla dan harus dilakukan terus-menerus.

“Kami membina Kelompok Tani Peduli Api (KTPA) dari desa sekitar perkebunan kelapa sawit. Kalau terjadi kebakaran, KTPA ikut bergerak,” ujar kata Syamsul Bahri Pello, staf Unit Pemadam Kebakaran PT KAL.

Kerja sama seluruh pemangku kepentingan itu membuahkan hasil. Luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di tahun 2017 menurun drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Penurunan ini, menurut siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terlihat dari data beberapa satelit.

Data citra satelit LANDSAT 8 dan HS Terra Aqua menunjukkan bahwa sampai 5 Oktober 2017, luas karhutla di seluruh wilayah Indonesia sekitar 124.743 Ha. Sementara pada tahun 2016 luas areal kebakaran ± 438.363 Ha, dan pada tahun 2015 mencapai 2.611.411 Ha.

Data satelit NOAA menunjukkan jumlah hotspot di seluruh Indonesia turun 1.147 titik atau 32,90 persen, dari 3.486 titik menjadi 2.339 titik

Satelit TERRA-AQUA (NASA) menunjukkan adanya 1.798 hotspot, turun 1.738 titik (49,15 persen) jika dibandingkan dengan tahun 2016 pada periode yang sama, yaitu sebanyak 3.536 titik.

“Kunci keberhasilan penurunan kebakaran hutan ini terletak pada perencanaan yang baik dengan para pemangku kepentingan dan sistem deteksi dini melalui satelit,” kata Djati Witjaksono Hadi, Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ke depannya, Djati menambahkan, kementerian akan terus mempererat kerja sama itu dan meningkatkan kemampuan keterampilan para Manggala Agni di seluruh daerah. “Kami juga meminta penambahan anggaran ke DPR untuk penanganan karhutla yang lebih baik,” kata Djati.

Share This