Kebanyakan dari mekanisme pengaduan pada korporasi di negara yang banyak mempekerjakan buruh migran seperti Malaysia, tidak berfungsi dalam melindungi hak-hak buruh migran perkebunan, termasuk di sektor kelapa sawit, dan masih diperlukan banyak langkah tambahan, beberapa pakar perburuhan mengatakan.
“Kami menemukan bahwa bentuk mekanisme pengaduan, bila mereka dibentuk, tidak berfungsi dan penyebab mereka tidak berfungsi adalah bahwa para pekerja tidak merasa nyaman untuk berani berbicara,” ujar Aarti Kapoor dari Embode, sebuah konsultan yang fokus antara lain pada hak anak, rekrutmen yang etis serta perlindungan buruh.
Berbicara pada webinar mengenai isu perburuhan yang digelar Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Selasa (26/1,) Aarti mengatakan bahwa kesulitan para buruh migran untuk berani berbicara adalah karena kerentanan mereka yang sangat besar.
Aarti yang organisasinya belum lama ini melakukan penelitian mengenai situasi buruh migran di Malaysia, dengan sektor sawit sebagai salah satu fokusnya, mengatakan kerentanan buruh migran ini disebabkan oleh banyak faktor.
Jerald Joseph dari Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia (Suhakam) yang berbicara pada kesempatan yang sama, mengatakan bahwa para buruh migran ini rentan karena lemahnya posisi mereka dalam pekerjaan mereka, terutama di masa masa sulit seperti ketika ada pandemi COVID-19 seperti sekarang ini.
Bagi banyak perusahaan, jalan keluar paling mudah dari himpitan kesulitan bisnis adalah dengan memutus hubungan kerja buruh migran dengan menggunakan berbagai dalih. Jika mereka dipecat buruh migrant tidak bisa mencari pekerjaan lain dan bila mereka tidak bisa pulang ke negerinya, mereka kemudian otomatis menjadi orang yang tidak terdaftar, atau penduduk ilegal. Mereka tidak memiliki jaringan pengaman.
“Jadi, kita semua tahu kerentanan mereka merupakan isu besar,” ujar Jerald. Ia menambahkan bahwa kerentanan buruh migran ini menjadi lebih berat lagi karena “kebutuhan ekonomi yang mendesak.”
Tidak seperti buruh warga negara setempat, para buruh migran sebagai orang asing, tidak dapat mendirikan serikat buruh dan bila mereka bergabung dengan serikat setempat, tidak akan dapat menduduki posisi fungsional di dalamnya.
“Menyedihkan bahwa banyak dari pekerja asing ini tidak menjadi anggota serikat buruh dan hal ini membuat mereka jauh lebih rentan lagi dalam mencoba membela hak hak mereka,” ujar Jerald.
Aarti juga mengiayakan dengan mengatakan bahwa buruh asing tidak dapat memiliki kedudukan di serikat pekerja setempat dan karenanya, pelanggaran hak mereka tidak dapat terwakili di serikat tersebut, tetapi mereka juga tidak dapat mendirikan organisasi resmi sehingga pilihan bagi mereka adalah mendirikan jaringan buruh migran sukarela untuk membantu rekan rekan mereka. Sayangnya jaringan-jaringan seperti ini tidak dapat menerima dukungan pembiayaan.
Aarti mengatakan bahwa agar mekanisme pengaduan dapat berfungsi dengan baik, diperlukan perubahan budaya di perkebunan-perkebunan atau perusahaan-perusahaan. Perubahan budaya ini diperlukan agar para buruh migran dapat merasa cukup dianggap hingga mereka berani menyuarakan keluhan mereka atau apa yang menimpa mereka.
“Kita terlalu terfokus kepada ketaatan, terfokus kepada sekedar mengisi checklist, tetapi sebenarnya yang dibutuhkan adalah perubahan sikap, perilaku dan budaya di banyak perusahaan ini,” ujarnya.
Aarti mengatakan bahwa di perusahaan maupun perkebunan, diperlukan dukungan nyata bagi inisiatif-inisiatif yang menyuarakan kepentingan buruh migran, dukungan dalam bentuk budaya dimana para buruh tersebut dimungkinkan untuk berkomunikasi langsung dengan atasan mereka, tanpa takut.
“Ini berkaitan dengan hubungan antara pekerja yang saling memperlakukan rekan mereka dengan mau saling mendengarkan dan saling menghormati,” demikian katanya. Salah satu usaha yang baik ke arah itu, menurutnya, adalah kegiatan beberapa perusahaan untuk memberikan pelatihan kepada staf manajemen mengenai hak pekerja.
Ketiadaan perubahan perilaku di korporasi ini, menurut Arti, dapat menjelaskan ketimpangan yang ada antara terus adanya laporan pelanggaran hak manusia di sektor perburuhan sementara perusahaan merasa mereka telah melakukan apa yang dimintakan kepada mereka dalam melindungi hak pekerja.
Surina Ismail, Kepala Keberlanjutan IOI Corporation Berhad, perusahaan yang menanam dan memproses sawit dan karet, mengatakan bahwa di perusahaannya “kami mencoba memastikan bahwa pekerja kami memiliki perwakilan sendiri dalam apa yang kami sebut sebagai Dewan Konsultasi Pekerja, sehingga mereka dapat menyuarakan ketidak nyamanan mereka atau isu apapun yang menimpa mereka.”
Tetapi Aarti mengatakan walaupun perusahaan banyak berusaha untuk menyediakan kelompok konsultasi seperti itu, “mereka tidak berfungsi karena pada adanya gajah dipelupuk mata yang tak terlihat, yaitu bagaimana para pekerja asing ini dipandang, tidak saja dalam konteks Malaysia tetapi juga dalam konteks banyak perusahaan, mereka diperlakukan sebagai pekerja asing. Hanya sebagai pekerja asing, tidak selalu sebagai manusia,” kata Aarti.
Ia mengatakan bahwa konsultasi memang baik namun ia menghimbau para perusahaan untuk juga membantu pekerja migran mereka untuk mendapatkan akses kepada pelayanan independent, diluar perusahaan, dengan siapa para buruh tersebut mungkin dapat merasa lebih nyaman dan aman dalam menyuarakan keluhan mereka. Pelayanan seperti yang disediakan kedutaan atau konsulat mereka, pelayanan pertolongan maupun informasi per telpon, atau bahkan serikat buruh di negeri asal mereka.
“Ini merupakan jenis pelayanan diluar perusahaan dimana mereka bekerja yang aksesnya diperlukan buruh,” kata Aarti.
Surina mengatakan bahwa IOI juga berusaha mengurangi permasalahan buruh migran di Malaysia yang berhubungan dengan pekerjaan, lingkungan dan budaya yang baru dengan menata sistem perekrutan mereka di negara asal mereka.
Jerald mengatakan bahwa memang dalam masalah perekrutan ini, praktek korup dapat ditemukan baik di negara asal pekerja maupun negara dimana mereka diterima bekerja. Ia juga mengatakan bahwa “perantara laki maupun perempuan, dan agen, ikut campur tangan dan mencoba beberapa tipu daya,” pada para pelamar pekerjaan.
IOI, menurut Surina, menerapkan berbagai kebijakan terkait rekrutmen buruh migran yang bertujuan untuk memastikan bahwa para pelamar tidak saja sama sekali tidak mengeluarkan biaya dalam proses perekrutan mereka, bahwa mereka mengerti jenis pekerjaan yang menunggu mereka di negara asing dan bahwa mereka sepenuhnya memahami apa yang tercantum dalam kontrak kerja mereka.
Usaha-usaha ini yang diharapkan dapat menekan permasalah yang dihadapi buruh migran ketika sudah bekerja di Malaysia, kebanyakan dilakukan di negara asal mereka, oleh perwakilan dari negara mereka sendiri dan dalam bahasa mereka.
Bagi AArti, salah satu rekomendasi utama yang dihasilkan dalam penelitian yang dilakukan Embode, adalah bahwa harus dipastikan terjadi konsultasi yang lebih baik dengan para buruh ini.
“Ini salah satu gajah dipelupuk mata lagi. Kita semua berbicara mengenai buruh migran tetapi seberapa seringkah kita berbicara dengan buruh migran ini, seberapa sering mereka dikonsultasi. Kita bahkan sering mendapatkan tulisan mengenai situasi buruh migran dalam media-media umumnya, tetapi kita jarang sekali melihat, dalam konteks Malaysia menurut saya, adanya konsultasi dengan buruh yang nyata.”