Provinsi Papua dan Papua Barat harus memastikan upaya konservasi yang ada dapat menjamin keseimbangan ekosistem, keragaman hayati, dan sebagai sumber penghidupan bagi penduduk lokal dan yang terpenting, pengikutsertaan masyarakat adat dalam perencanaan kebijaan dan keputusan.
“Konservasi sangat penting sehingga keseimbangan ekosistem dan pertahanan wilayah-wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati tinggi di Papua tetap terjaga dan dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan masyarakat Adat secara berkelanjutan,” demikian Kiki Taufik, Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia untuk Greepeace Asia Tenggara-Indonesia.
“Sehingga yang terpenting juga adalah bagaimana menempatkan masyarakat adat di Papua sebagai subyek atau pelaku dalam konservasi dengan menggunakan kearifan lokal dalam pemanfaatan yang berkelanjutan,“ imbuhnya.

Taufik mengatakan bahwa upaya konservasi seharusnya ditentukan oleh pemerintah bersama dengan masyarakat setempat dan lembaga-lembaga pemerhati lingkungan sehingga dapat menghasilkanmanajemen tata kelola yang memberikan akses manfaat lebih besar sebagai sumber hidup masyarakat Papua.
Indonesia kebanyakan masih menganut pendekatan dari atas kebawah dalam menentukan kebijakan kebijakan utama. Seringkali kebijakan yang ditelurkan pemerintah pusat ini juga diterapkan tanpa menghiraukan variasi kondisi dan situasi setempat.
Menurut Taufik, pembangunan seharusnya dititikberatkan pada akar rumput, artinya sudah harus dimulai dari perencanana ditingkat kampung dan kecamatan lalu ke kabupaten dan Provinsi. Pendekatan harus aspiratif dan partisipatif, serta kondisi obyektif masyarakat harus menjadi prioritas dalam membuat suatu perencanaan pembangunan.
“Saat ini yang perlu kita pahami adalah hutan Papua merupakan kawasan hutan yang tersisa di Indonesia dan memiliki nilai keanekaragaman hayati tinggi, dimana telah dimanfaatkan oleh masyarakat adat sejak dahulu kala sampai saat ini untuk memenuhi kebutuhan hidup secara baik.” imbuhnya.
Industri, baik dalam pertanian, perkebunan, kehutanan maupun pertambangan, sampai sekarang masih gagal dalam mengangkat penduduk Papua dari kemiskinan. Kegagalan ini menurut Taufik disebabkan karena kebijakan pembangunan nasional tidak memberikan memberikan kewenangan penuh di bawah Undang-Undang Otonomi Khusus Papua kepada masyarakatnya.
Taufik mengatakan bahwa sementara propinsi Papua memiliki rencana pembangunan daerah yang “sangat ideal” yang menyisihkan 65 persen dari tata ruangnya sebagai kawasan lindung yang terdiri dari Cagar Alam, Kawasan Konservasi, kawasan Taman Nasional, Kawasan Suaka Margasatwa dll, Propinsi Papua Barat sebaliknya hanya menyisihkan 34 persen dari tata ruangnya untuk kawasan lindung.
“Angka-angka ini sebenarnya berbalik dari cita-cita pemerintah provinsi Papua Barat yang sedang mendorong terbentuknya provinsi Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi atau Provinsi Berkelanjutan,” ujar Taufik mengomentari. Ia mengatakan status propinsi konservasi atau berkelanjuran menargetkan 70 persen sebagai Kawasan Lindung dan sisanya sebagai kawawasn pemanfaatan lainnya.
Data resmi dari pemerintah propinsi Papua mengatakan bahwa luasan hutan yang dimiliki daerah itu adalah 28,62 juta hektar, termasuk 16,034 juta hektar dalam bentuk hutan primer. Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan pada bulan Juni tahun ini mengatakan luas hutan di propinsinya adalah 9,73 juta hektar.
Taufik mengatakan bahwa meski di Papua, rencana pembangunannya ideal, namun di lapangan kenyataanya lain dan deforestasi terus melaju.
“Dari Pola Ruang ini sebenarnya provinsi Papua memiliki perencanaan pembangunan yang sangat Ideal. Namun tidak sinkron selama ini dengan terjadinya deforestasi yang cukup laju per tahunnya yang berdampak dari ekspansi perkebunan sawit di wilayah selatan Papua, Jayapura, Keerom, serta teluk Cendrawasi,” Taufik mengatakan seraya menambahkan bahwa “Pembukaan kawasan untuk perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat hampir seluruhnya terjadi pada hutan primer.”
Ia mengakui bahwa fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam mempercepat pengadaan infrastruktur, termasuk di Papua, telah membantu membuka keterisolasian daerah ini serta memperbaiki distribusi barang dan jasa, sesuatu yang membantu memperbaiki perekonomian daerah.
“Namun memang tidak bisa di pungkiri bahwa akses transportasi yang dibangun juga merupakan akses transportasi bagi eksploitasi sumberdaya Alam. Maraknya perdagangan kayu merbau di bawa keluar Papua sampai pasar ekspor adalah satu bukti, dimana kasus illegal logging masih marak dan hanya menguntungkan pihak luar/ pengusaha, dan tidak memberikan dampak perubahan hidup yang signifikan pada masyarakat adat,” katanya.
Pembangunan infrastruktur, menurut Taufik, juga membuka peluang adanya lahan korupsi baru di berbagai sektor. Pembangunan infrastruktur saat ini juga tidak serta-merta melibatkan masyarakat Papua bahkan cenderung menimbulkan persoalan baru (kecemburuan sosial) dimana banyak perusahaan dari luar yang masuk ke Papua mengerjakan proyek besar yang juga melibatkan pekerja dari luar Papua.
Menurutnya, evaluasi memperlihatkan bahwa pengalaman dengan perkebunan negara (PTPN) di Papua dan Papua Barat dapat menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat adat Papua, bahwa mereka kehilangan lahan, kehilangan sumber kehidupan dan hampir 85 persen masyarakat adat Papua hidup bergantung pada Hutan. .
Ia menyebut kabupaten Raja Ampat di Papua Barat sebagai contoh baik pembangunan yang non-destruktif dan berkelanjutan, Kabupaten tersebut bergantung pada konservasi alam serta ecotourism. Ia juga menyebut beberapa kabupaten lainnya, seperti Sorong, Wondama and Nabire, dan Pegunungan Arfak, yang menggunakan pendekatan yang bergantung pada pariwisata untuk mnghasilkan penerimaan bagi masyarakat setempat sementara membantu melestarikan lingkungan.
Pendekatan pembangunan yang inovatif lainnya yang menmungkinkan skema ekonomi alternatif, dibangun diatas potensi lokal dan juga non-destruktif, seperti yang berbasis produksi sagu, damar, tanaman obat dan kriya seperti tas Noken dan lukisan diatas kulit kayu.
Ia mengatakan bahwa sampai sekarang baru satu kabupaten di Papua Barat yang sudah komit kepada pembangunan hijau dan ingin menjadi kabupaten konservasi. Namun ia tidak menyebutkan nama kabupaten tersebut.
Untuk memastikan bawa sumber daya alam dan jasa lingkungan yang penting bagi hidup dan hajat masyarakat setempat tidak habis karena eksploitasi atau desakan keperluan sehari-hari, tata kelola hukum lingkungannya perlu diperbaii.
“Langkah-langkah yang diperlukan adalah memperbaiki tata kelola hukum dan membuka akses data bagi masyarakat, arah pembangunan hijau merupakan indikasi perbaikan tata kelola dan penguatan transparansi data lingkungan dan area masyarakat adat,” tutupnya.