
Pelaksanaan Mandatori B30, campuran minyak solar dengan 30 persen biofuel dari kelapa sawit, menguntungkan baik pelaku kelapa sawit maupun pemerintah, demikian sebuah laporan terakhir yang dikeluarkan PT Indeks Komoditas Indonesia (IKI) memperlihatkan.
Laporan yang berjudul “Indonesia Palm Oil Report” yang terbit bulan Februari ini, memperlihatkan bahwa pada tahun ini saja, volume B30 yang dibutuhkan bisa mencapai 9,59 juta kiloliter dan ini bisa menghemat devisa sampai $5,13 miliar (Rp63,39 triliun). Selain itu, produksi pada level tersebut mampu mempertahankan tenaga kerja sebanyak 1,2 juta di perkebunan dan dan 5.055 diluar perkebunan serta mengurangi efek gas rumah kaca sebanyak 14,25 juta ton CO2.
“IKI menilai bahwa program B30 menjadi kebijakan yang baik, bukan hanya untuk pengusaha sawit namun juga untuk negara. Pelaku usaha sawit bisa mengambil keuntungan karena CPOnya bisa terserap di dalam negeri dan tidak terlalu khawatir tentang kondisi pasar internasional. Sedangkan pemerintah bisa mendapatkan keuntungan dengan mendapatkan devisa negara, memperbaiki neraca perdagangan dan mengurangi impor BBM,” laporan tersebut mengatakan.
Mandatori B20 mulai diberlakukan di bulan Januari 2016, dan membutuhkan 3 juta kiloliter untuk memenuhi pasar domestic. Pada tahun 2019, volumenya sudah meningkat mencapai 6,623 juta kiloliter, dan mampu menghemat devisa sebesar $3,54 miliar. Ia mampu memberikan nilai tambah pada CPO sebesar Rp9,68 triliun, memberikan bagi pekerjaan bagi 828.488 orang di perkebunan and 6.252 diluar perkebunan serta mengakibatkan pengurangan efek gas rumah kaca sebesar 9,91 juta ton.
Laporan IKI tersebut juga menyebutkan bahwa B30 memiliki kandungan air yang lebih sedikit dibandingkan B20, yaitu 350 mm/kg dibandingkan 500 mm/kg B20. Kadar air yang lebih sedikit ini selain memperbaiki mutu biodiesel juga mengurangi kemungkinan timbulnya kerak pada tangki bahan bakar, maupun rusaknya injektor pada mesin. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang merekomendasikan tingkat kandungan air B30 tersebut, mengatakan bahwa tingkat kandungan air ini akan berakibat tidak diperlukannya penyesuaian bagi mesin yang sudah diproduksi saat ini.
B30 juga memiliki tingkat keasaman yang lebih kecil, 0,4 mg-KOH/g dibandingkan 0,6 mg-KOH/g pada B20 dan pada suhu 40 derajat celcius, B30 juga memiliki viskositas kinematis yang lebih tinggi yaitu 2,3-6,0 mm3/g dibandingkan dengan 2,0-5,5 mm3/g pada B20.
Baca juga: Petani Kelapa Sawit Menyambut Baik Mandatori B30
Namun laporan tersebut juga menunjuk kepada kendala dalam pelaksanaan mandatori B30 ini. Dilihat dari segi angkutan, salah satu kendala adalah akan diperlukan kebutuhan angkutan yang lebih banyak dari sebelumnya.
Di sektor angkutan laut, terdapat keterbatasan jumlah kapal besar untuk mengangkut FAME, bahan baku berdasar sawit untuk campuran biodiesel. Sampai saat ini yang tersedia hanya angkutan kapal bermuatan kecil. Sementara di sektor angkutan darat terkendala aturan Over Dimension Overload (ODOL) yang membatasi setiap pengangkutan hanya sebesar 16.000-18.000 liter.
“IKI menilai bahwa jika peraturan ini diberlakukan, akan terjadi efek domino, mulai dari kekhawatiran terlambat atau berkurangnya pasokan hingga biaya angkut yang menjadi lebih besar,” laporan ini mengatakan dengan menambahkan bahwa sampai saat ini, pemerintah masih mengkaji aturan ini untuk tidak diperlakukan terlebih dahulu agar pasokan terjaga. Sebelumnya pengiriman CPO dilakukan dengan truk berkapasitas 30.000 liter.
Beberapa pejabat pemerintah sudah mengatakan bahwa pada tahun ini sudah akan dimulai uji coba penggunaan B40 dan terkait dengan program ini, IKI menghimbau pemerintah untuk jangan terburu-buru dalam membuat B40 ini mandatori.
“IKI melihat jangka waktu ideal untuk mengimplementasikan B40 bisa seperti dari B20 ke B30, yakni tiga tahun. Hal ini mempertimbangkan kesiapan konsumen, produsen, kualitas dan infrastruktur yang memadai,” ujar IKI dalam laporannya.