Korea Selatan dan perusahaan-perusahaan negara itu berperan besar dalam melanggengkan perdagangan minyak sawit tak berkelanjutan karena tidak adanya keharusan bagi sektor bisnis untuk memastikan keberlanjutan pasokan mereka, menjaga lingkungan dan menghormati hak hak asasi, beberapa pegiat mengatakan.
Lembaga umum di Korea Selatan nampaknya tidak memainkan peran aktif dalam penegakan kebijakan mengenai hak asasi manusia, dan, atau, mengharuskan uji tuntas (due diligence) bagi perusahaan yang mereka biayai, demikian ujar Sarah Drost, konsultan untuk Aidenvironment dalam sebuah webinar Kamis (21/1) dengan merujuk kepada hasil studi dua LSM Korea, KFEM dan APIL.
“Mereka juga sepertinya tidak memiliki langkah langkah yang memadai untuk mencegah atau meminimalisir kerusakan ekonomi, sosial dan budaya,” ujar Drost ketika menjelaskan sebuah laporan yang diterbitkan Chain Reaction Research bulan lalu dimana ia merupakan salah satu penulisnya.
Laporan tersebut membahas peran perusahaan-perusahaan Korea Selatan dalam pasar minyak sawit global serta posisi negara itu baik sebagai pemegang konsesi kelapa sawit, pembeli minyak sawit dan penyedia pendanaan bagi operasi kelapa sawit.
“Perusahaan-perusahaan Korea Selatan merupakan pemain dalam kebocoran (minyak sawit yang tidak dihasilkan secara berkelanjutan), baik sebagai pengembang perkebunan maupun sebagai pembeli produk minyak sawit,” kata Drost dengan menambahkan bahwa mereka ini terus mengalirkan minyak sawit yang tidak berkelanjutan kedalam pasar internasional.
Shin Young Chung dari APIL, berbicara pada kesempatan yang sama mengatakan bahwa diantara kesulitan yang dihadapi dalam mencoba mengatasi persoalan di sektor kelapa sawit di Korea Selatan adalah kurangnya basis hukum yang diperlukan untuk bertindak.
“Sulit untuk meminta para perusahaan untuk bertanggung jawab,” ujar Shin.
Ia menerangkan lebih lanjut bahwa Korea Selatan – negara yang telah menggandakan impor minyak sawitnya dalam dasawarsa terakhir ini hingga mencapai 648.496 metrik ton minyak sawit dan produknya di tahun 2019 – tidak memiliki undang undang yang mengharuskan perusahaan untuk mengadakan uji tuntas tentang hak asasi manusia, memonitor rantai pasok mereka, maupun mengharuskan pengungkapan informasi lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) mereka.
Drost mengatakan bahwa perusahaan perkebunan Korea Selatan, termasuk yang tidak memiliki kebijakan No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE) masih terus menerima bantuan pembiayaan, baik dari lembaga keuangan Korea Selatan maupun Eropa.
“Lembaga Keuangan Korea Selatan dan Eropa membiayai perkebunan sawit (Korea) di luar negeri walaupun mereka terlibat deforestasi maupun pelanggaran hak hak asasi manusia,” kata Drost. Sementara itu Shin mengatakan bahwa APIL yang telah mempelajari mekanisme pembiayaan pemerintah bagi perusahaan Korea Selatan di luar negeri serta uji tuntas yang dilakukan mereka, tidak dapat menemukan bukti adanya proses peninjauan pinjaman yang sistematis yang dilakukan sebagai persyaratan pembiayaan.
Ia juga mengatakan bahwa enam perkebunan milik Korea Selatan yang beroperasi di Indonesia diketahui memiliki masalah ketidak taatan terkait isu isu lingkungan, sosial maupun hak hak asasi manusia.
Laporan Chain Reaction Research mengidentifikasi perusahaan tersebut sebagai Posco International, Korindo Group, Samsung C&T, Daesang Corporation, LG Corporation, dan JC Chemical.
Korindo dan Posco bertanggung jawab atas tingkat deforestasi tertinggi di antara keenam perusahaan itu, laporan itu mengatakan. Di tahun 2016 dan 2017 kedua perusahaan itu telah membuka 17.500 hektar hutan di konsesi mereka.
Sementara itu Daesang Corporation telah membuka 347 hektar lahan gambut di konsesinya setelah 2016. Tanggal 1 Januari 2016 merupakan batas waktu bagi perusahaan untuk menaati kebijakan NDPE.
Kelima pembeli minyak sawit Indonesia terbesar di Korea Selatan — JC Chemical, Dansuk Industrial, GS Global, AK Holdings, dan LG Corporation – bersama sama menyerap 78 persen dari minyak sawit yang diimpor negara itu dari Indonesia di tahun 2019. Namun tak satupun dari mereka nampaknya memiliki komitmen NDPE yang terbuka dan juga terlihat tidak menyaring pemasok kelapa sawit mereka, ujar Drost.
“Sebagai akibatnya, para pembeli menghadapi risiko lebih tinggi membeli minyak sawit yang tidak berkelanjutan. Laman resmi para pembeli utama ini tidak memberikan bukti adanya uji tuntas yang sistematis yang mereka berlakukan kepada pemasok kelapa sawit mereka untuk menentukan apakah terdapat pelanggaran lingkungan, sosial, hak asasi manusia atau nilai-nilai budaya,” katanya.
Pabrik kelapa sawit yang memasok mereka yang tercatat di bursa juga tidak transparan, tidak mencatat keluhan yang dialamatkan kepada mereka dan juga tidak memiliki bukti pembelian buah kelapa sawit yang terpisah antara yang berkelanjutan dan tidak, imbuhnya.
Laporan Chain Reaction Research memperlihatkan bahwa 33 persen atau 135.709 MT dari minyak sawit yang diimpor dari Indonesia di tahun 2019 dan paruh pertama 2020 berasal dari “perkebunan dan pabrik kelapa sawit yang tidak berkelanjutan.”
Laporan tersebut terutama mengidentifikasi perkebunan dan pabrik kelapa sawit itu sebagai Incasi Raya Group, Salim Group, Tunas Baru Lampung, dan Wings Group “yang tidak memiliki komitmen NDPE atau yang nampaknya tidak melaksanakan komitmen mereka.”
Beberapa dari produsen Korea Selatan yang beroperasi di Indonesia telah menerima tekanan dari para pembeli dan lembaga keuangan yang mengharuskan komitmen NDPE bagi nasabah mereka, dalam bentuk pembekuan pembelian minyak sawit atau pembiayaan mereka.
Pembeli seperti Nestlé, Bunge Loders Croklaan, Wilmar dan Cargill, membekukan pembelian mereka dari Korindo karena alasan deforestasi, pembakaran illegal dan kehilangan daerah dengan nilai konservasi tinggi di konsesinya antara tahun 2016 dan 2018.
Norwegian Sovereign Wealth Fund and ABP menarik investasi mereka dari Posco International di tahun 2015 dan 2018 karena “kerusakan lingkungan” sementara Boots, yang merupakan jaringan toko kesehatan terbesar di Inggris Raya juga mengakhiri kemitraan penjualannya dengan Posco.
“Para produsen Korea Selatan ini tetap terus dapat menemukan pelanggan walaupun mengalami pembekuan yang dilakukan pembeli-pembeli besar,” Drost mengatakan.
Laporan Chain Reaction Research mengatakan bahwa Korindo dan Posco menjual minyak sawit yang tak berkelanjutan kepada pabrik pabrik kelapa sawit yang tidak menganut prinsip NDPE di India. LG Corporation juga melayani pasaran India yang tidak menganut kebijakan NDPE.
Walaupun kebijakan NDPE dianut oleh 83 persen dari kapasitas penyulingan minyak sawit di Indonesia dan Malaysia sampai bulan April 2020, pasar-pasar kawasan yang lain tidak memiliki tingkat pengakuan kebijakan ini yang sedemikian tinggi, laporan itu mengatakan.
India, Cina, Pakistan, dan Bangladesh kelihatannya merupakan pasar pasar utama bagi minyak sawit yang tidak berkelanjutan, laporan itu mengatakan.