The Palm Scribe

Koordinasi dan Kepemimpinan Sangat Kurang dalam Implementasi Moratorium Kelapa Sawit

Foto: Sawit Watch

Kurangnya koordinasi dan kepemimpinan, baik di tingkat nasional dan daerah menyebabkan sangat sedikit kemajuan yang telah dicapai dalam pelaksanaan moratorium konsesi kelapa sawit setahun setelah Inpres ditetapkan, ujar sekelompok aktivis lingkungan pada hari Kamis (26/9).

“Kerangka waktu Inpres ditetapkan hanya tiga tahun untuk memperbaiki semua masalah yang menghantui industri kelapa sawit, tetapi setelah satu tahun implementasi, upaya yang dilakukan hanya sebatas persiapan, seperti konsolidasi dan finalisasi data antara kementerian dan lembaga terkait,” ujar Hadi Saputra dari Sawit Watch dalam sebuah diskusi bertajuk “Laporan satu tahun Inpres moratorium & Evaluasi Sawit” di Jakarta.

Hadi menambahkan, bahwa kasus-kasus tumpang tindih yang menjadi perhatian publik selama ini juga belum berhasil diselesaikan oleh Instruksi Presiden ini.

Dalam pemaparan evaluasi satu tahun Instruksi Presiden (Inpres) No. 8/2018 tentang moratorium tersebut, Hadi mengatakan bahwa provinsi prioritas yang telah ditetapkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga tidak mencakup dua provinsi yang memiliki tutupan hutan yang luas dan terancam oleh pengembangan perkebunan kelapa sawit, yaitu Papua dan Papua Barat.

Provinsi yang menjadi prioritas tersebut adalah Jambi, Riau, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, atau provinsi-provinsi dengan perkebunan kelapa sawit yang sudah berjalan.

Inpres moratorium berisi empat agenda penting: pertama, menunda penerbitan izin pelepasan hutan selama periode implementasi tiga tahun moratorium, termasuk yang sudah diajukan tetapi belum selesai, atau yang sudah mengajukan aplikasi, tetapi belum selesai atau telah diidentifikasi berada di kawasan hutan produktif. Kedua, peninjauan atas semua izin perkebunan kelapa sawit yang dikeluarkan sampai saat ini, termasuk Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan, Hak Budidaya, Pendaftaran untuk Budidaya Perkebunan, dan izin pelepasan hutan.

Ketiga adalah menindaklanjuti semua izin dengan dua opsi, yaitu: mengembalikan lahan sebagai kawasan hutan dan / atau menegakkan hukum seperti menjatuhkan denda untuk pelanggaran. Kemudian keempat, memastikan pasokan buah kelapa sawit yang cukup untuk industri melalui upaya peningkatan produktivitas lahan, sebagai ganti dari perluasan lahan.

Moratorium menugaskan lima kementerian, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan pemerintah daerah untuk melakukan peninjauan dan evaluasi penuh terhadap sektor minyak kelapa sawit.

Meskipun beberapa pemerintah kabupaten dan provinsi memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan moratorium, kurangnya pedoman operasional (petunjuk teknis dan pelaksanaan) dan tidak adanya peta jalan, serta kurangnya anggaran atau bantuan lain dari pemerintah pusat telah menimbulkan hambatan serius dalam mengimplementasikan moratorium tersebut.

“Kami meminta presiden untuk mengeluarkan instruksi kepada kementerian dan lembaga terkait untuk segera membuat satu peta jalan untuk implementasi moratorium ini. Hal ini perlu untuk merampingkan proses, sehingga tidak ada tumpang tindih peraturan dan anggaran birokrasi. Selain itu, peta jalan juga akan meningkatkan produktivitas petani kecil dan plasma, “kata Hadi.

“Yang kita perlukan adalah Presiden Jokowi untuk menunjukkan kepemimpinan politiknya, memperkuat moratorium ini, tidak ada yang lain. Semua kementerian dan lembaga seharusnya sudah menyerahkan laporan mereka mengenai masalah ini, apakah presiden membaca laporan itu?” kata Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Berkelanjutan Madani (Yayasan Masyarakat Sipil Berkelanjutan) dalam kesempatan yang sama.

Teguh menambahkan bahwa jika Indonesia berhasil menerapkan moratorium dalam waktu tiga tahun, maka pasar minyak kelapa sawit dapat menghindari berbagai intimidasi dan kritik dari Uni Eropa yang telah lama mengganggu industri ini.

“Implementasi ini jauh lebih masuk akal dibandingkan dengan membuat berbagai ancaman konyol seperti memboikot ini dan itu. Karena kita akan mendapatkan kembali kepercayaan mereka, bukankah kita semua menginginkan itu?” katanya, sambil menambahkan bahwa Presiden Jokowi harus menjadikan ini sebuah prioritas karena dia tidak bisa hanya mengandalkan menterinya.

Agung Setiawan dari Forest Watch mengatakan bahwa meskipun ada moratorium konsesi baru di kawasan hutan dan lahan gambut, beberapa konsesi baru masih bisa ditemukan dalam kawasan hutan, beberapa di antaranya bahkan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.

Dalam laporannya, koalisi lingkungan tersebut juga mendesak Pemerintah untuk mengalokasikan anggaran khusus untuk pelaksanaan moratorium bagi beberapa daerah yang telah menunjukkan komitmen serius. Mereka juga menyarankan untuk membentuk tim di tingkat nasional demi menyiapkan panduan teknis yang dapat digunakan sebagai referensi bagi pemerintah daerah.

Koalisi juga mengatakan bahwa selain membangun platform komunikasi untuk menghubungkan tim kerja nasional dan pemerintah daerah sehingga dapat memfasilitasi koordinasi, pemerintah juga harus mengeluarkan mekanisme untuk mempromosikan prinsip keterbukaan dalam hal data, informasi, dan pembaruan tentang pengembangan implementasi, sehingga dapat dipantau dan diakses oleh publik atau kelompok masyarakat sipil.

Share This