The Palm Scribe

Kontribusi Beruk Untuk Keberlanjutan Kelapa Sawit

Foto: Nadine Ruppert

Sebuah penelitian ilmiah belum lama ini memperlihatkan bahwa menjaga keutuhan hutan yang masih tersisa, terutama yang berada dekat perkebunan kelapa sawit, adalah penting agar beruk dapat ikut membantu sebagai pengendali hama tikus alami, sebuah pilihan alternatif ketimbang menggunakan racun tikus yang mahal dan tidak ramah lingkungan.

Penelitian yang diadakan sebagai bagian dari Proyek Macaca Nemestrina University of Sains Malaysia (USM), memperlihatkan bahwa beruk (Macaca nemestrina) juga memasukkan tikus perkebunan kelapa sawit kedalam daftar makanan mereka.

“Penelitian kami memperlihatkan bahwa satu kelompok beruk di daerah penelitian dapat mengonsumsi sekitar 3.000 tikus dalam setahun,” ujar Nadine Ruppert, dosen USM yang ikut penelitian di Hutan Lindung Segari Melintang dan perkebunan kelapa sawit di sekitar Perak, Malaysia. Kawanan beruk rata-rata beranggotakan sekitar 40 ekor, baik besar maupun kecil.

Bila beruk ini digunakan untuk mengendalikan hama tikus menggantikan cara konvensional seperti menggunakan racun, binatang primata ini akan mampu memberikan layanan ekosistem yang penting serta meningkatkan keberlanjutan kelapa sawit.

Ruppert menjelaskan kepada The Palm Scribe dalam sebuah email bahwa species yang cukup banyak ditemui di semenanjung Malaysia, Pulau Kalimatan dan Sumatra, seringkali berada di perkebunan kelapa sawit yang berdekatan dengan hutan habitat utama mereka. Ia mengatakan bahwa kelompok beruk yang diamati selama penelitian yang berlangsung dari Januari 2016 sampai September 2018 memiliki wilayah jelajah seluas sekitar 90 hektar, yang mencakup hutan dan perkebunan.

Dalam sebuah korespondensi yang diterbitkan dalam majalah Current Biology bulan ini, Ruppert mengatakan bahwa beruk bukanlah hama bagi perkebunan kelapa sawit karena dampak mereka pada hasil kelapa sawit sangat kecil.

“Lebih penting lagi, data kami menunjukkan bahwa beruk liar memiliki potensi untuk mengambil peran sebagai pengendali hama yang alami, dengan memangsa tikus perkebunan yang merupakan salah satu hama utama bagi kelapa sawit,” demikian disebutkan dalam korespondensi tersebut. “Bila digunakan untuk mengendalikan tikus menggantikan metoda konvensional dengan racun, maka beruk dapat menyumbangkan layanan ekosistem yang penting serta meningkatkan keberlanjutan kelapa sawit.”

Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia, sekaligus juga eksportir dan konsumen terbesarnya. Statistik resmi memperkirakan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia sekitar 14 juta hektar. Tetapi perluasan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit membawa dampak ekologis yang negatif, yaitu menyebabkan hutan menjadi terpecah-pecah sehingga berujung kepada berkurangnya keragaman species dan genetika, peraturan iklim yang tak sesuai dan ketahanan yang lebih lemah.

Di hutan-hutan yang terpecah ini, beruk biasanya akan semakin mengarahkan pencarian makanan mereka ke perkebunan-perkebunan dimana mereka seringkali dianggap sebagai hama tanaman.

Jumlah tikus yang dikonsumsi sekawanan beruk setara dengan $112 pendapatan per hektar bagi perkebunan kelapa sawit. Sebuah laporan mengenai hama vertebrata perkebunan kelapa sawit yang ditulis oleh Chung G.F. dan diterbitkan pada tahun 2000 memperlihatkan bahwa tikus dapat mengakibatkan kerugian sebesar 10 persen dari produksi total. Penggunaan racun tikus sebagai cara mengendalikan hama tidak saja mahal, tetapi juga terbukti kurang efektif serta berbahaya bagi hewan liar yang tidak menjadi target pengendalian maupun bagi lingkungan.

Ruppert mengatakan bahwa bila ingin kawanan beruk tetap dapat membantu mengurangi populasi tikus perkebunan secara efektif, diperlukan usaha untuk memastikan bahwa habitat mereka tidak diganggu serta diberikan akses dari hutan ke perkebunan dan sebaliknya,

“Beruk memerlukan habitat hutan mereka untuk dapat terus hidup dan mereka hanya mengunjungi perkebunan di dekat hutan mereka selama beberapa jam saja dalam seharinya, Jadi yang paling penting dalam usaha membuat mereka mau mendatangi perkebunan adalah memasikan bahwa habitat hutan mereka tetap utuh dan dengan membuat koridor-koridor hutan sepanjang dan kedalam perkebunan,” Ruppert mengatakan kepada The Palm Scribe.

Tidak seperti burung hantu yang memang dipelihara di perkebunan untuk menangkap tikus, beruk sebaiknya dibiarkan keluar masuk perkebunan dari hutan mereka dengan cara membuat koridor yang menghubungkan antara kebun dan hutan; sebuah solusi yang baik bila hutan tidak bersinggungan dengan perkebunan.

Ruppert mengatakan bahwa dengan membiarkan beruk beraksi dan menekan populasi tikus perkebunan, penghematan tidak saja dalam bentuk racun tikus yang digantikannya tetapi juga dalam kerusakan tanaman yang dapat dihindari. Budidaya kelapa sawit juga akan menjadi lebih berkelanjutan

Selama masa pengamatan, makanan beruk yang utama terdiri atas buah-buahan, biji-bijian, dedaunan dan jamur, tetapi mereka juga memangsa serangga dan binatang vertebrata seperti tikus.

“Selama masa pengamatan, mereka menghabiskan 60 persen waktu mereka makan buah-buahan dan lima persen memakan daging. Tetapi karena mereka binatang memiliki kantung pipi, mereka dapat saja menangkap tikus dengan cepat dan menyimpannya dalama kantung pipi mereka untuk dimakan beberapa waktu kemudian. Jadi volume memakan tikus sebenarnya bisa jauh lebih tinggi dari sekedar lima persen yang tercatat,” ujar Ruppert.

Karena beruk bersifat omnivora, jelas mereka makan daging, termasuk daging tikus. ”Tetapi saya ‘terkejut’ melihat betapa banyak daging yang mereka konsumsi sebenarnya,” tambahnya.

“Lima persen memang terdengar tidak banyak, tetapi saya sebenarnya tidak mengharapkan bahwa mereka demikian aktif dan sering berburu binatang pengerat yang relatif cukup besar ini, serta mencarinya dengan cara yang sangat fokus dan khas,” Ruppert melanjutkan.

Tim peneliti juga sedang berusaha mencari tahu apakah memangsa tikus ini dikarenakan berlimpahnya populasi tikus di perkebunan atau karena berkurangnya pakan utama mereka yang biasa. Sebuah penelitian jangka panjang kini sedang berjalan untuk menilai berlimpahnya buah musiman dan korelasinya dengan waktu makan di perkebunan.

“Dengan penelitian ini, kami ingin mengajukan argumentasi kuat bagi konservasi habitat hutan hujan sehinga primata dan spesies hutan lainnya dapat dilindungi serta beruk tetap dapat mengakses perkebunan dan menguntungkan petani melalui penghematan dalam pembelian racun hama pengerat,” kata Ruppert.

Pengakuan atas peran beruk dan keuntungan yang diperoleh dari peran tersebut mungkin akan dapat mendorong petani dan perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk melindungi primata di habitat alaminya melalui koridor untuk binatang liar diantara lebatnya hutan dan perkebunan.

Dalam korespondensi yang diterbitkan majalah Current Biology, hal ini akan dapat menjaga konektivitas fungsional serta aliran gen diantara berbagai populasi beruk, pun meningkatkan keberlanjutan lingkungan dan produktivitas perkebunan kelapa sawit yang ada, mendorong solusi win-win bagi produsen kelapa sawit dan keragaman hayati.

“Hal ini akan membuat pengelolaan perkebunan kelapa sawit lebih hijau dan lebih berkelanjutan, dan juga mungkin, lebih murah,” tutup Ruppert.

Share This