The Palm Scribe

Koalisi NGO Menyerukan Dihentikannya Pembahasan UU Perkelapasawitan

Foto: AFP

Aliansi sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia menyerukan agar Dewan Legislatif Nasional (DPR) membatalkan  rancangan undang-undang sektor kelapa sawit karena indikasi penuh dengan kepentingan perusahaan, berpotensi melemahkan undang-undang yang ada, serta hanya menambahkan lebih banyak masalah daripada menyelesaikannya.

Koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan 11 organisasi non-pemerintah termasuk di bidang lingkungan, perburuhan dan hak-hak sosial, mengatakan dalam sebuah laporan pemantauan tentang kronologi debat atas rancangan undang-undang di dewan legislatif nasional (DPR) yang dirilis minggu lalu, bahwa mereka menolak RUU tersebut.

“Meminta kepada DPR untuk tidak menerapkan sistem carry-over pada RUU Perkelapasawitan dan menghentikan pembahasan RUU Perkelapasawitan dan mencabutnya dari daftar Program Legislasi nasional karena menuai sejumlah polemik” ujar Muhammad Busyro Fuad dari Institute for Public Study and Advocacy (Elsam), kepada wartawan pada presentasi hasil pemantauan koalisi.

Fuad mengatakan bahwa DPR pada tahun 2016 memutuskan untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang tentang minyak sawit ke dalam daftar target undang-undang yang direncanakan dan diajukan oleh dua partai politik utama – Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

“Berdasarkan pembahasannya yang kini terus bergulir, RUU perkelapasawitan ini secara normatif masih berada pada tahap perencanaan,” kata Fuad, yang juga menambahkan bahwa RUU itu masih di tangan dewan legislatif dan belum ada konsultasi publik yang dilakukan.

Dia juga menunjukkan bahwa keanggotaan legislatif saat ini akan mengakhiri masa jabatan mereka pada bulan Oktober dan dengan periode reses yang sedang berlangsung, anggota parlemen hanya akan memiliki sekitar satu setengah bulan lagi untuk benar-benar membahas rancangan, sesuatu yang menurutnya hampir mustahil mengingat banyaknya RUU yang masuk dalam jadwal legislasi.

Hal lain yang disoroti adalah proses musyawarah yang sifatnya tidak partisipatif, sehingga akan mengarah pada rancangan undang-undang yang tidak lengkap dan karenanya, akan mengarah pada kontribusi negatif dalam pengelolaan sektor minyak kelapa sawit negara. Mereka yang didengar oleh dewan legislatif sejauh ini hanya “segelintir pemain dari industri kelapa sawit yang memiliki pandangan yang sama dengan mereka”.

“Serikat pekerja/buruh sawit, para petani mandiri sawit, serta kelompok yang rentan yang tinggal di dekat perkebunan kelapa sawit dan lembaga-lembaga yang meng-advokasi dan meneliti petani plasma tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Perkelapasawitan.” kata Fuad.

Menurut Andi Muttaqien, Wakil Direktur Advokasi Elsam, sikap pemerintah sejauh ini adalah tidak mendukung pembahasan rancangan undang-undang tersebut, karena dalam praktiknya, harus ada perwakilan yang ditunjuk untuk bergabung dalam pembahasan rancangan undang-undang.

“Justru dengan UU ini sangat memfasilitasi perluasan perkebunan, memfasilitasi penguasaan lahan untuk perluasan, praktik perkebunan yang justru menimbulkan konflik,” kata Andi.

Agung Ady Setiawan, juru kampanye untuk Forest Watch Indonesia mengatakan bahwa sebagian besar topik yang dicakup oleh rancangan undang-undang tersebut sebenarnya sudah terkandung dalam peraturan lain. Ia mengatakan “Banyak copy paste dari peraturan yang sudah ada,” sambil menambahkan bahwa 13 dari 17 bab dalam RUU adalah hal-hal yang sudah terkandung dalam sejumlah undang-undang dan peraturan lainnya. Ini, katanya, mengarah pada tumpang tindih antara undang-undang dan peraturan dan bahkan bisa merusak peraturan dibawahnya.

Agung mengatakan, daripada mengeluarkan undang-undang baru, akan lebih baik untuk memastikan implementasi undang-undang dan peraturan yang sudah ada, termasuk dengan menerbitkan peraturan pelaksana.

Share This