Koalisi Buruh Sawit memperingati Hari Perempuan Internasional dengan mengeluarkan himbauan agar industri sawit di Indonesia menghentikan diskriminasi terhadap buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit.
“Koalisi Buruh Sawit meminta pemerintah menetapkan kebijakan perlindungan buruh perkebunan sawit. Diskriminasi dan kerentanan buruh perempuan di perkebunan sawit harus dihentikan”, ujar Hotler “Zidane” Pasaoran, Koordinator Koalisi Buruh Sawit dalam sebuah siaran pers yang dikirimkan kepada The Palm Scribe Senin (9/3).
Dalam siaran pers tersebut, Koalisi Buruh Sawit mengatakan telah menemukan praktik kerja eksploitatif di perkebunan sawit yang sudah berlangsung lama. Buruh perkebunan sawit bekerja dalam sistem kerja eksploitatif, tanpa jaminan kepastian kerja, tanpa jaminan kepastian upah, beban kerja yang berat serta tanpa jaminan sosial yang memadai.
Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan bahwa koalisi mencatat setidaknya 60 persen dari total jumlah buruh perkebunan sawit adalah perempuan dan 60 persen dari mereka ini adalah buruh prekariat yang bekerja tanpa hak-hak permanen sebagi buruh, tanpa kepastian kerja, tanpa dokumentasi perikatan kerja, upah minim dan tanpa perlindungan kesehatan memadai.
“Kami melihat ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap buruh perempuan,” kata Inda.
Suib Nuridho dari Serikat Buruh Perkebunan Indonesia mengatakan investigasi Koalisi telah menemukan fakta pemanfaatan buruh dengan status prekariat pada pekerjaan perawatan di perkebunan sawit.
“Perempuan dipekerjakan untuk melakukan penyemprotan, pemupukan, pembersihan areal, mengutip berondolan, dan pekerjaan lainnya yang ironisnya tidak dianggap sebagai pekerjaan inti di perkebunan sawit. Tidak ada kepastian mereka masih akan bekerja besok dan karena itu tidak ada kepastian memperoleh upah. Jelas bahwa kondisi ini merupakan pelanggaran terhadap hak buruh atas kepastian kerja dan upah”, kata Suib.
Sementara itu Ismet Inoni, Kepala Departemen Organisasi Dewan Pengurus Pusat Gabungan Serikat Buruh Indonesia, mengatakan bahwa tidak semua perkebunan sawit menyediakan alat pelindung diri yang memadai maupun informasi tentang potensi dampak dan bahaya dari zat kimia yang digunakan, padahal pekerjaan buruh perempuan di bagian perawatan rentan terpapar zat beracun.
Andi Akbar dari Trade Union Rights Centre (TURC) berpendapat komitmen pemerintah dan korporasi dalam perlindungan buruh perkebunan sawit, khususnya buruh perempuan masih rendah.
“Pemerintah misalnya, dalam semua pembahasan tentang industri kelapa sawit, hal-hal perlindungan buruh tidak pernah disinggung. Justru malah mengeluarkan kebijakan yang akan semakin memperburuk kondisi kerja,” ujar Andi.
Ia mengatakan perluasan sektor pekerjaan alih daya di Omnibus Law Cipta Kerja misalnya, hanya akan memperpanjang kerentanan buruh perempuan di perkebunan sawit.
“Koalisi Buruh Sawit meminta pemerintah Indonesia untuk menata sistem perburuhan yang menempatkan buruh sebagai subjek yang hidup layak,” ujar Zidane.