
Koalisi Buruh Sawit memperingati Hari Buruh Internasional 2020 dengan menyatakan penolakannya terhadap Omnibus Law Cipta Kerja, dengan mengatakan undang-undang tersebut hanya akan sangat memberatkan buruh terutama buruh perkebunan kelapa sawit.
“Koalisi Buruh Sawit melihat Omnibus Law Cipta Kerja akan menghilangkan kepastian kerja, kepastian upah, kepastian perlindungan sosial dan kesehatan,” demikian koalisi mengatakan dalam sebuah siaran pers yang dikirimkan kepada The Palm Scribe Kamis (30/4.)
Koalisi mengatakan bahwa di sektor perkebunan sawit, rancangan peraturan ini sangat memberatkan buruh, sebab mereka kebanyakan bekerja sebagai buruh harian lepas, buruh kontrak atau buruh dalam hubungan kerja tidak permanen tanpa ada kepastian status kerja, upah dan jaminan sosial.
Menurut Koalisi, buruh perkebunan sawit di Indonesia mencapai angka 20 juta. Dari jumlah tersebut, lebih dari 60 persen merupakan buruh dengan hubungan kerja rentan. Hubungan kerja rentan adalah salah satu fakta yang menggambarkan buruknya situasi kerja buruh di perkebunan sawit.
“Hubungan kerja rentan seperti ini akan dilegalkan melalui Omnibus Law Cipta Kerja.,” ungkap Koalisi.
Omnibus Law Cipta Kerja ini akan melegitimasi praktik upah dibawah ketentuan normatif. Kemudian sistem kerja kontrak yang dilegalkan rancangan peraturan ini dipastikan menghilangkan hak buruh memperoleh jaminan sosial. Temuan Koalisi Buruh Sawit di sejumlah perkebunan sawit menemukan fakta bahwa masih banyak buruh perkebunan sawit yang tidak didaftarkan oleh perusahaan sebagai peserta jaminan sosial.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Dapat Menggagalkan Komitmen Iklim Indonesia: Madani.
“Koalisi Buruh Sawit melihat jika Omnibus Law Cipta Kerja ditetapkan, maka akan melegitimasi praktik kerja mirip kerja paksa di perkebunan sawit,” demikian Koalisi mengatakan dengan menambahkan bahwa para buruh akan mengalami praktek kerja seperti pekerjaan tanpa kepastian status, upah berdasarkan hasil kerja, beban kerja berat, target harian yang mustahil dicapai, penggunaan buruh harian lepas, jaminan sosial yang tidak memadai serta tekanan atas kebebasan berserikat akan berlangsung dan dianggap benar.
“Kebijakan ketenagakerjaan yang tidak berpihak semakin memposisikan buruh perkebunan sawit semakin tidak berdaya,” imbuhnya.
Di luar ancaman Omnibus Law Cipta Kerja, buruh perkebunan sawit juga menghadapi ancaman dampak virus Covid 19 dengan adanya penurunan signifikan ekspor Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO). Penurunan ini akan mengancam buruh sawit dengan kemungkinan di PHK.
Buruh perkebunan, apalagi buruh harian lepas, juga tetap harus bekerja seperti biasa tanpa dukungan fasilitas memadai dari perusahaan untuk meminimalisir resiko terpapar corona. Minimnya alat pelindung diri yang disediakan dan sarana kesehatan yang terbatas di perkebunan sawit menjadikan buruh berada pada situasi sangat rentan terpapar.
“Perhatian pemerintah terhadap buruh perkebunan sawit di situasi pandemi Covid 19 sangat minim. Saat ini buruh perkebunan sawit menghadapi ancaman PHK dan ancaman terpapar virus. Dalam hal ini pemerintah mestinya menetapkan kebijakan perlindungan buruh perkebunan sawit dari resiko PHK dan terpapar Covid 19,” demikian Koalisi mengatakan.