The Palm Scribe

Kebijakan Land Swap Menyebabkan Deforestasi Legal

Kelompok pegiat lingkungan Indonesia mengatakan bahwa kebijakan Land Swap yang memungkingkan tukar guling bagi lahan gambut dengan fungsi lindung yang berada dalam konsesi perusahaan, hanya akan mendorong meluasnya deforestasi dan juga hanya berpihak pada pelaku usaha besar.

ilustrasi

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TUK Indonesia) mengkritisi kebijakan Land Swap sebagai sebuah kesalahan besar. Kebijakan Land Swap yang diterbitkan pada tahun 2017 guna melindungi ekosistem rawa gambut, merupakan dasar bagi moratorium pengembangan lahan sawit dan gambut untuk industri. Namun hal ini dinilai menjadi penyebab adanya deforestasi secara legal oleh para pemangku kepentingan, ditambah lagi kegiatan restorasi lahan belum dilakukan dengan merata.

“Kedepannya perluasan lahan sawit mau dimoratorium, tapi malah diberikan keleluasan untuk mendapatkan tanah kembali,” ujar Yahya Zakaria, ketua advokasi KPA dalam sebuah konferensi pers bersama WALHI, KPA, dan TUK Indonesia yang digelar di Jakarta pada hari Rabu (28/3).

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) P.17 Tahun 2017 memberikan kebijakan kepada pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-HTI) yang areal kerjanya di atas atau sama dengan 40 persen ditetapkan menjadi ekosistem gambut dengan fungsi lindung dapat mengajukan areal lahan usaha pengganti (Land Swap).

Menurut kementerian tersebut, lebih dari 2,5 juta hektar lahan gambut dengan fungsi lindung dari sekitar empat juta hektar yang perlu direstorasi dari deforestasi.

Kebiajakan Land Swap juga dinilai hanya berpihak terhadap pelaku usaha besar dan semakin memojokan petani kecil, pasalnya pembagian lahan untuk korporasi dan perkebunan plasma tidak seimbang. “Jatah untuk plasma hanya 20 persen, sementara 80 persennya dikuasai perusahaan,” tegas Yahya kembali.

Pegiat lingkungan juga mengatakan bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan agenda Reforma Agraria yang sudah lama dicanangkan oleh pemerintah dengan fokus untuk merombak ketimpangan penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Hal ini dapat memicu munculnya banyak masalah dalam sektor agraria, terlebih lagi Indonesia akan segera memasuki tahun politik.

Dalam konferensi pers ketiga LSM tersebut juga dibahas tentang semakin kuatnya dominasi korporasi dalam penguasaaan ruang karena mereka akan memperoleh lahan baru, kebijakan tersebut juga membuka peluang bagi korporasi untuk melakukan pemanfaatan kayu sebagai bahan baku industri, termasuk para pelaku usaha pulp and paper untuk memanfaatkan kayu alam sebagai bahan baku.

Menanggapi hal tersebut, CEO Landscape Indonesia, Agus Sari menyatakan lahan yang termasuk dalam kebijakan Land Swap adalah berstatus hak pinjam dari pemerintah kepada korporasi dan akan dikembalikan sepenuhnya kepada pemerintah dalam jangka waktu tertentu. “Land Swap ini kebijakan pinjam lahan resmi dari pemerintah dan bukan sepenuhnya diserahkan ke korporasi,” ujarnya saat dihubungi The Palm Scribe.

Agus berpendapat kebijakan Land Swap juga mempunyai batasan sehingga peminjaman lahan baru tetap dapat terkendali melalui kebijakan restorasi lahan. Kedua kebijakan tersebut dinilai kebijakan yang saling melengkapi.

Namun Agus tidak menampik masih ada kekurangan dalam kebijakan tersebut terkait adanya pengalokasian lahan yang salah, sehingga ada kawasan hutan yang belum terdaftar pada kawasan moratorium namun dimasukkan dalam kebijakan Land Swap.

Permasalahan ini menurutnya merupakan sebuah momentum bagi pemerintah dan para pegiat lingkungan untuk duduk bersama dan berdiskusi tentang celah yang ada, bukan saling menjatuhkan tanpa memberi solusi yang dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan berkelanjutan Industri agraria Indonesia.

Share This