The Palm Scribe

Kampanye Hitam Industri Sawit; apakah sudah tepat?

Kampanye hitam terhadap industri kelapa sawit adalah bentuk ketakutan negara non-produsen CPO untuk melindungi produksi minyak nabati mereka sendiri, demikian menurut Mahendra SIregar, Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) dalam sebuah diskusi di Jakarta.

“Perkembangan minyak kelapa sawit membuat minyak nabati lain kalah dengan CPO, sehingga banyak negara non produsen sawit menerapkan tariff masuk yang tinggi,” ujarnya. CPO merupakan kependekan bagi Crude Palm Oil, atau minyak kelapa sawit mentah.

Siregar juga berpendapat bahwa tudingan Uni Eropa bahwa industri kelapa sawit adalah  penyebab utama deforestasi , juga dimanfaatkan untuk membatasi perkembangan komoditas sawit.

Diskusi NgobrolTempo yang bertemakan Kampanye Hitam Industri Sawit; Dimana Posisi Negara?

Namun demikian, Siregar optimis kampanye yang dilakukan oleh Eropa tidak akan berdampak besar terhadap Indonesia sebab Uni Eropa bukan lagi pasar terbesar bagi Indonesia untuk komoditas kelapa sawit.

“Eropa gampang sekali tergantikan dalam segi pasar, pada era 90an mungkin 75 persen CPO kita diserap Eropa, tapi sekarang hanya sekitar 14 persen saja,” tegasnya sambil menjelaskan bahwa pangsa pasar sawit Indonesia sudah beralih ke negara lain seperti India dan China.

Pengamat ekonomi dari INDEF, Bhima Yudhistira sependapat bahwa mendukung ‘badai’ yang menerpa industri kelapa sawit berasal dari negara Eropa. “Sawit seakan berdosa,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Yudhistira mengingatkan, situasi ini dapat berbahaya apabila proteksionisme yang dilakukan oleh negara Eropa diterapkan negara lain, sehingga dapat mengakibatkan dampak buruk bagi perkembangan industri sawit di Indonesia.

Kampanye anti – sawit, siapa yang dirugikan?

Dono Boestami selaku Ketua Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengatakan bahwa pada tahun 2017 lembaganya sudah menyumbang uang dalam jumlah yang  besar untuk mengembangkan industri kelapa sawit Indonesia.

Hal tersebut, langsung ditanggapi oleh Kiki Taufik, Ketua Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia. Menurutnya, sebanyak Rp7,5 triliun telah dialokasikan bukan untuk petani kecil, melainkan kepada pemain besar seperti Wilmar.

Pada kesempatan yang sama, Taufik  dengan tegas menyatakan para pemain industri sawit telah banyak melakukan pelanggaran di lapangan tanpa adanya pengawasan yang ketat. “Kampanye negative muncul karena ada sebabnya, banyak temuan pelanggaran di lapangan yang dilakukan oleh perusahaan sawit, ini yang harus dibenahi,” ujarnya.

Diskusi semakin hangat ketika Gulat Manurung, selaku perwakilan dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mengingatkan kembali bahwa pihak yang terkena langsung dari dampak kampanye anti – sawit yang ada adalah petani.

“Harga yang saat ini ‘terjun bebas’ membuat kami serba sulit, petani di luar negeri sangat dihargai tapi di sini malah kita susah,” ujarnya. Manurung juga menegaskan bahwa hasil dari komoditas sawit bisa ditemukan dimanapun. “Jangan munafik, kita semua bisa ada saat ini dikarenakan sawit. Sawit adalah kita!” ujarnya dengan lantang.

Share This