Meskipun Kalimantan Barat memiliki luas lahan sawit ketiga terbesar di Indonesia, budidaya tanaman ini tidak mampu mendongkrak kemiskinan di provinsi tersebut yang kini tertinggi di pulau Kalimantan karenanya daerah ini sebaiknya tidak hanya tergantung kepada komoditas ini, demikian menurut Yayasan Madani Berkelanjutan.
“Perluasan wilayah perkebunan sawit di Kalimantan Barat selama ini ternyata tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi lokal. Sehingga selayaknya pemerintah daerah memberikan fokus pada penyeimbangan jenis komoditas di suatu wilayah,” demikian Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online “Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit” Rabu (8/4.)
Teguh menambahkan harapannya bahwa komoditas perkebunan lainnya dapat turut bersaing sebagai kontributor perekonomian daerah sehingga daerah dapat lebih tahan menghadapi kondisi ekonomi yang bergejolak karena tidak hanya bergantung kepada satu komoditas unggulan, kelapa sawit, saja.
“Khusus untuk komoditas sawit, tantangan terbesar pemerintah daerah Kalimantan Barat saat ini adalah rendahnya tingkat produktivitas. Pemerintah Daerah Kalimantan Barat perlu memprioritaskan peningkatan produktivitas sawit secara optimal dan mengurungkan ekspansi perkebunan sawit,” imbuhnya seperti dilaporkan dalam sebuah siaran pers Madani.
Luasan sawit tertanam di Kalimantan Barat masih didominasi oleh perkebunan swasta yang seluas 1,09 juta hektar. Perkebunan rakyat hanya menutupi 413.000 hektar dan perkebunan negara hanya 56.700 hektar, tutur Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.
“Pada periode 2011-2018, perkebunan swasta di Kalimantan Barat mengalami peningkatan luas sawit tertanam yang paling signifikan, yakni 91.500 hektar/tahun sementara luas perkebunan rakyat hanya bertambah rata-rata 19.700 hektar/tahun dan perkebunan negara justru mengalami pengurangan luas sebesar 770 hektar per tahun. Fakta tersebut menunjukkan masih timpangnya penguasaan lahan sawit di Kalimantan Barat,” tambah Erlangga.
Kajian Madani memperlihatkan bahwa meskipun sering dipandang sebelah mata karena luasannya kecil, perkebunan negara di Kabupaten Landak dan Sanggau justru memiliki rata-rata produktivitas tertinggi jika dibandingkan dengan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat.
Pada tahun 2017, produktivitas sawit perkebunan negara di dua kabupaten tersebut mencapai 3,3 ton/hektar sementara perkebunan swasta di Kalimantan Barat, kecuali Kota Singkawang, produktivitasnya hanya 2,2 ton/hektar dan perkebunan rakyat hanya 2,1 ton/hektar.
Di tahun 2018, produktivitas sawit di perkebunan negara mengalami penurunan menjadi 2,9 ton/hektar, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkebunan swasta yang produktivitasnya hanya 2,6 ton/hektar dan perkebunan rakyat yang produktivitasnya 2,2 ton/hektar.
“Peningkatan produktivitas menjadi kunci, bukan lagi perluasan lahan sawit. Hal lain adalah memperbaiki tata kelola perkebunan sawit yang telah ada,” urai Erlangga.
Ia menambahkan bahwa kontribusi perkebunan sawit terhadap pembangunan wilayah pedesaan masih belum optimal sebagaimana tercermin dari nilai Indeks Desa Membangun di desa-desa yang bersinggungan dengan perkebunan sawit.
“Sebagian besar desa yang berada di sekitar perkebunan sawit justru memiliki nilai Indeks Ketahanan Ekonomi dan Lingkungan yang rendah,” ujar Erlangga.
Padahal, setidaknya ada lima regulasi yang mewajibkan pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas aspek sosial dan lingkungan pada masyarakat sekitar.
Jika sawit masih diharapkan untuk dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya di tingkat tapak, maka perlu koreksi mendalam atas praktik tata kelola yang dijalankan saat ini, siaran pers Madani tersebut mengakhiri.