Industri kelapa sawit kini berada dalam persimpangan jalan dengan produksi global melambat dan bila tantangan yang dihadapi industri ini tidak segera ditangani, masa masa sulit mungkin akan menghadang, demikian beberapa ahli memperingatkan pada hari kedua Konferensi Kelapa Sawit Indonesia ke 14 (IPOC 2018) hari Jumat (2/11).

Thomas Mielke, dari ISTA Mielke GmbH yang menerbitkan Oil World, ketika berbicara pada sesi 2019 Price Outlook, mengatakan bahwa industri kelapa sawit kini menghadapi banyak tantangan yang menghambat pertumbuhannya, Ia menyebutkan produktivitas rendah, kekurangan tenaga kerja, keterbatasan lahan serta lambatnya peremajaan tanaman.
“Industri kelapa sawit berada di persimpangan jalan,” Mielke mengatakan, dengan menambahkan bahwa “masa depan kelapa sawit akan terutama ditentukan oleh apakah langkah langkah yang efektif diaambil untuk mengatasi permasalahan yang ada.”
Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak yang unggul namun tingkat pertumbuhan budidayanya kini relatif kecil dibandingkan dengan sektor-sektor pertanian lainnya dan pertumbuhannyapun kini melambat.
Pemulihan yang kuat dari produksi sawit yang terjadi paska fenomena iklim El Nino di tahun 2015, hanya terjadi di tahun 2017 dan awal 2018 saja. Salah satu sebabnya, menurut Mielke, adalah kegagalan negara negara produsen, termasuk Indonesia yang merupakan produsen terbesar di dunia, untuk meremajakan kebun kebunnya,, terutama milik petani kecilnya. Data resmi menyebutkan bahwa petani kecil sawit ini mengelola 42 persen luasan perkebunan sawit Indonesia dan menyumbang 31 persen dari produksi nasional.
Mielke menunjukkan bahwa dari target pemerintah dalam penanaman kembali perkebuan rakyat untuk tahun ini yang sebesar 185.000 hektar, baru 15.000 hektar saja yang terlaksana sampai bulan September lalu. Ia memperingatkan bahwa bila peremajaan perkebunan ini tidak dipercepat, para petani kecil akan menghadapi penurunan produktivitas yang lebih lanjut.
Peremajaan tanaman harus dipercepat agar mengurangi tanaman yang sudah tua dan tidak produktif dalam jangka pendek dan meningkatkan panen dan produksi dalam jangka panjangnya.
“Ketika penanaman kembali dikurangi… kombinasi ini akan menciptakan skenario dimana pertumbuhan produksi sawit akan menurun. Kita sudah melihat perlambatan dalam produksi sawit ini dalam tiga tahun terakhir ini,” ujar Mielke, dengan menambahkan bahwa yamng lebih memperparah lagi adalah bahwa penuaan tanaman terjadi di banyak bagian industri.
“Kelapa sawit tetap akan merupakan tanaman yang menguntungkan dalam lima tahun mendatang, tetapi keuntungan ini akan menyusut cepat terhadap canola dan rapeseed,” ia memperingatkan. Sementara produksi sawit hanya meningkat sedikit di Indonesia dan bahkan menurun di Malaysia dan beberapa negara produsen lainnya, produktivitas kedelai telah meningkat cepat di negara negara penghasil utamanya.
“Posisi kelapa sawit akan tertantang bila tak diambil langkah untuk mengatasi tantangan yang ada,” ujarnya. Namun ia juga mengakui bahwa stok sawit yang tinggi akan dapat melemahkan dampaknya untuk sementara waktu.
Togar Sitanggang, Wakil Ketua Gabungan Produsen Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang berbicara pada kesempatan yang sama juga mengiyakan bahwa kegagalan peremajaan tanaman akan menimbulkan permasalahan bagi industri kelak.
“Masalahnya yang akan kita alami lima sampai sepuluh tahun nanti, jika program pemerintah untuk meremajakan tanaman ini tidak terjadi. Sangat penting bagi kami di GAPKI bahwa peremajaan kembali ini suskses,” demikian ujarnya.
Ia memperkirakan bahwa produksi sawit nasional Indonesia tahun ini akan mencapai 42 juta ton, dengan sektor swasta menyumbangkan sekitar 30 sampai 35 ton.
Mielke mengatakan bahwa bila kesemuanya diperhitungkan, industri sawit masih akan mencatat pertumbuhan namun pertumbuhan ini juga akan melambat.
Mielke memperkirakan bahwa pertumbuhan produksi sawit tahunan akan melambat menjadi 2,9 juta ton di tahun 2018/2019 atau menurun banyak dibandingkan pertumbuhan sebesar empat juta ton di tahun 2017/2018. Ia juga meyakini bahwa harga harga minyak sawit yang lemah bebarapa bulan terakhir ini, tidak lama lagi akan mencapai titik terendahnya dan akan membaik sedikit dalam sembilan bulan berikutnya.
James Fry yang mengepalai LMC international ltd., juga setuju dengan perkiraan pertumbuhan produksi sawit ini.
“Saya kira produksi CPO dunia akan tumbuh sebesar dua juta ton. Tahun lalu pertumbuhan ini sebesar empat juta ton,” ujarnya.
Fry mengatakan bahwa kini harga CPO, yaitu minyak sawit mentah, sangat dipengaruhi oleh harga minyak mentah dan Amerika serikat kini semakin memainkan peran penting dalan menentukan harganya. Ia percaya bahwa harga minyak mentah akan jatuh karena produktivitas Minyak shale Amerika Serikat dan juga kurangnya persatuan diantara negera negara anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
“Produksi minyak shale Amerika Serikat telah dapat bereaksi cepat terhadap meningginya harga minyak mentah. Pada saat yang sama, tingginya harga produk produk minyak telah memperlambat perminataan dunia dan ini kemudian mengakibatkan surplus pasokan di tahun 2018 dan 2019,” sergahnya. Ia juga percaya harga minyak mentah akan menurun dari tingkat harga yang sempat dicapainya.
Produsen CPO, menurutnya, harus berharap bahwa harga minyak nabati dapat mencapai premium harga yang lebih tinggi dibandingkan harga Brent.
Sementara itu Mielke menunjuk kepada salah satu aspek positif dari industri sawit, yaitu meningkatnya penggunaan biofuel atau bahan bakar alami. Ia mengatakan bahwa meningkatnya permintaan akan biofuel akan dapat terus melambungkan industri sawit.
“Dalam sektor biofuel, minyak sawit sangat menarik… konsumsi minyak sawit maupun minyak nabati lainnya meningkat pesar dalam pasar energi. Minyak sawit kini semaking digunakan untuk biofuels, harga yang rendah membuahkan permintaan,” ujarnya.
Indonesia telah menjadikan pemakain campuran 20 persen minyak sawit dalam minyak diesel sebagai suatu keharusan semenjak 1` September 2018. Namun, kebijakan jenis bahan bakar yang dikenal sebagai B20 ini belum berlangsung sepenuhnya. Sitanggang mengatakan sampai sekarang baru sekitar 83 persen catu pembelian biofuel oleh perusahaan minyak negara Pertamina terlaksana. dikarenakan beberapa alasan.
Sitanggang juga mengatakan bahwa pelaksanaan B20 di Indonesia “akan menjadi penggerak pasar untuk paling tidak enam bulan berikut ini.
Pemerintah, ujarnya, bahkan kini sudah berencana memajukan dimulainya penggunan B30 dari tadinya tahun 2020 menjadi satu tahun lebih awal.
Fry juga sepakat, mengatakan bahwa biodiesel telah menjadi lebih kompetitif sebagai bahan bakar dan ia memperkirakan bahwa produksi biodiesl dari sawit Indonesia akan meningkat drastis di tahun 2019. Kebijakan B20 menurutnya juga akan mengurangi stok minyak sawit yang kini masih tinggi.
“Saya memperkirakan bahwa dengan permintaan yang didorong olehpermintaan akan biodiesel IndonesiaI , stok sawit Malaysian Palm Oil Board (MPOB) akan memuncak di akhir tahun dan kemudian berkurang,’ ujar Fry.
Berbicara mengenai dampak perang dagang yang dilancarkan presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap Cina, Fry mengatakan bahwa kebijakan tersebut telah mendorong jatuhnya harga kedelai Amerika secara tajam, melemah dibawah harga FOB kedelai Brail. Kedelai merupakan salah satu tanaman sumber minyak nabati yang menjadi saingan kelapa sawit.
“Yang paling merugi dalam perang dagang dengan Cina ini adalah para petani kedelai di Amerika Serikat, dengan pendapatan mereka terpotong segesar 20 persen,” Fry mengatakan, dengan menambahkan bahwa petani petani ini sebenarnya adalah pendukung Trump sebenarnya.
Permasalahan yang dihadapi para petani kedelai Amerika Serikat ini kemudian duga diperparah oleh kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang secara efektif memotong mandat biofuelnya. Pemerintahan Trump telah berhasil menekan harga minyak kedelai Amerika Serikat ke tingkat terendahnya dalam beberapa tahun terakhir ini.