Indonesia perlu memperpanjang moratorium sawit agar dapat memberikan dampak positif dukungan pasar global terhadap produk sawit Indonesia, memicu produktivitas lahan, penyelesaian tumpang tindih dan konflik lahan serta berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia, beberapa pegiat lingkungan mengatakan.
“Masih ada sekitar 5,7 juta hektar hutan alam di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang dapat dilepaskan untuk perkebunan. Jika Moratorium Sawit tidak diperpanjang dan diperkuat, laju deforestasi akan kembali meningkat dan Indonesia dapat terancam gagal untuk mencapai komitmen iklimnya,” ujar Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.
Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29 persen dengan upaya sendiri hingga 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Ambisi terbesar penurunan emisi tersebut masih berasal dari sektor kehutanan dan lahan, dengan target penurunan emisi sebesar 17,2 persen hingga 38 persen pada tahun 2030 mendatang. . Perpanjangan moratorium sawit akan mendorong tercapainya ambisi iklim tersebut dengan menahan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan serta melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin sawit, ujar Trias dalam pernyataan tertulis Koalisi Moratorium Sawit yang diterima the Palm Scribe Senin (26/7).
Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau biasa disebut dengan Moratorium Sawit yang ditetapkan pemerintah pada 2018 akan berakhir 19 September 2021.
Trias mengatakan bahwa pada 2019-2020, di antara 6 jenis izin dan konsesi, deforestasi hutan alam terbesar terjadi di wilayah izin perkebunan sawit yakni sebesar 19.940 hektar.
“Luas hutan alam yang berada di wilayah izin sawit juga cukup signifikan. Berdasarkan tutupan lahan 2019, tercatat 3,58 juta hektar hutan alam berada di izin sawit, dan 1 juta hektar-nya tercatat sebagai hutan primer. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,43 juta hektar tercatat berada di pelepasan kawasan hutan yang merupakan objek evaluasi perizinan dalam kebijakan moratorium sawit, “ ujarnya, dengan menambahkan bahwa implementasi moratorium sawit memberikan harapan bahwa hutan alam yang masih ada di dalam izin sawit akan dievaluasi dan dikembalikan menjadi kawasan hutan.
Hasil analisis Madani menemukan setidaknya terdapat dari 24,2 juta hektar ekosistem gambut di Indonesia dan di antaranya ada 6,2 juta hektar ekosistem gambut yang masuk ke dalam izin sawit, dengan detail lahan gambut seluas 3,8 juta hektar. Trias mengatakan instrumen evaluasi dan review izin yang ada di dalam moratorium sawit dapat menyelamatkan luasan gambut tersebut. Keberadaan lahan gambut harus dilindungi dan dipulihkan, mengingat 99,3 persen lahan gambut di Indonesia mengalami kerusakan dan sangat beresiko terbakar saat musim kering.
“Hasil analisa kami, dengan menyelamatkan 3,8 juta hektar luas gambut pada fungsinya alamnya dapat menghindari pelepasan 11,5 juta ton/tahun karbon akibat aktivitas pembakaran ataupun konversi lahan yang tentunya akan berkontribusi pada komitmen iklim Indonesia,” tambah Trias.
Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mencatat bahwa masih ada permasalahan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit dan semestinya pemerintah tidak ragu membuka data dan capaiannya dalam Inpres ini. Ia mencontohkan data mengenai berapa banyak data sawit dalam kawasan hutan yang telah dikonsolidasikan dan diverifikasi, berapa banyak izin sawit yang telah direview, hingga berapa banyak pelanggaran yang telah ditindak dan diberikan sanksi.
“Bentuk transparansi seperti ini tentunya akan semakin membuka ruang partisipasi dan kolaborasi yang lebih luas, tidak hanya dengan organisasi masyarakat sipil tapi juga pemerintah daerah yang sudah memiliki inisiatif baik untuk menjalankan Inpres. Jika memang pekerjaan rumah dalam Inpres belum diselesaikan, maka sudah selayaknya Inpres diperpanjang,” ujar Adrianus.
Sementara itu Agung Ady Setiawan, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia mengatakan bahwa dari pengalaman selama 3 tahun terakhir, pemerintah baru bisa menyelaraskan data terkait tutupan dan luas izin sawit. Pemerintah dan para pihak lainnya, menurutnya, mesti sadar bahwa indikator keberhasilan bukan hanya soal tidak adanya pemberian izin baru selama masa tenggat waktu, namun juga harus bisa menyelesaikan persoalan produktivitas, keberterimaan pasar, deforestasi, kepastian hukum petani sawit serta tumpang tindih dan konflik lahan.
“Pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dengan melaksanakan perpanjangan moratorium ini sebagai langkah tindak lanjut pembenahan tata kelola industri perkebunan kelapa sawit secara keseluruhan,” ujar Agung.
Terpilihnya Indonesia sebagai Co Chair COP 26 bersama dengan Inggris mengindikasikan bahwa kepercayaan dunia bernilai positif terhadap implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Indonesia walaupun pandemi dan perubahan iklim sedang berjalan. Momentum ini harus dijaga melalui serangkaian penguatan aturan dan tata kelola di sektor FOLU (Forestry and other Land Use), salah satunya perkebunan kelapa sawit, ujar Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak. “Perpanjangan dan penguatan Moratorium kelapa sawit sangat penting diimplementasikan guna menghindari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit hingga akhirnya dapat mencapai target netral emisi pada tahun 2030,” tutupnya.