Indonesia telah meminta klarifikasi mengenai rancangan amandement terakhir dari Program Energi Terbarukan (RED) Uni Eropa dalam sebuah pertemuan komite Rintangan Teknis terhadap Perdagangan (TBT) dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jeneva tanggal 19-21 Juni 2018, demikian seorang pejabat perdagangan mengatakan.

“Yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah meminta klarifikasi dari pihak EU untuk hal-hal yang dianggap belum jelas. dan minta agar sebelum diimplementasikan Draft Directive tersebut dinotifikasikan di website WTO guna memenuhi azas transparansi dan memberikan kesempatan pada semua negara anggota WTO untuk menyampaikan tanggapan,”Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Pradnyawati, mengatakan secara tertulis kepada The Palm Scribe Selasa ((26/60 malam.
Sebuah media setempat disini, pada hari Selasa mengutip Pradnyawati sebagai mengatakan bahwa Indonesia akan mengajukan aduan kepada WTO mengenai rancangan amandemen kebijakan RED Uni Eropa, yang dicapai dalam pertemuan triparti antara Parlemen, Dewan dan Komisi Eropa minggu lalu.
Rancangan amandemen ini, antara lain, mengundurkan batas waktu bagi penghapusan penggunaan minyak kelapa sawit dalam kebijakan RED Uni Eropa dari tadinya tahun 2021 menjadi ahun 2030. Tahun 2030 adalah batas waktu bagi penghilangan penggunaan minyak nabati selain kelapa sawit dalam program energi terbarukan Uni Eropa.
Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia dan Malaysia, yang produsen kedua terbesar, telah menuduh Uni Eropa mendiskriminasi minyak sawit dengan kebijakan REDnya karena menentukan bataswaktu yang lebih cepat Sembilan tahun bagi penghapusan penggunaan minyak sawit dalam energy terbarukan, dibanding jenis jenis minyak nabati lainnya.
“Delegasi uni Eropa menyampaikan bahwa kebijakan RED II tidak ditujukan untuk memberikan perlakuan yan berbeda (single out), termasuk melarang peredaran minyak kelapa sawit di Uni Eropa,” demikian bunyi sebuah teks yang dikatakan Pradnyawati sebagai jawaban dari kekhawatiran Indonesia. Teks tersebut juga mengatakan bahwa RED lebih berfungsi sebagai “roadmap” bagi negra anggota untuk memenuhi komitment mereka dalam penggunaan energi terbarukan serta SDGs.
“Delegasi Uni Eropa juga menyampaikan bahwa kesepakagan yang telah dicapai oleh badan-badan legislasinya pada pertemuan Trilogue masih perlu ditindaklanjuti dengan berbagai ketentuan pada tingkat teknis yang akan dibahas pada masa mendagan,” tambahnya.
Sebuah rilis yang dikeluarkan Perwakilan Tetap RI di Jenewa seusai pertemuan komite WTO-TBT disana, mengatakan bahwa permintaan klarifikasi tersebut merupakan penyampaian “kekhawatiran” (concerns). Indonesia, katanya, meminta klarifikasi dari UE terkait cakupan amandemen atas RED dan treatmentyang akan diberlakukan oleh UE terhadap minyak kelapa sawit, termasuk produk-produk turunannya dan biofuel.
Catatan khusus juga diberikan oleh Indonesia terhadap rencana Uni Eropa untuk melakukan studi berkenaan dengan penggunaan energi terbarukan yang rencananya akan digunakan sebagai bahan pendukung kebijakan RED.
“Terhadap hal ini, Indonesia mengharapkan agar studi tersebut dapat dilakukan secara obyektif dan tidak semata-mata diarahkan pada negara berkembang yang memiliki hutan dengan beragam keanekaragaman hayati,” rilis mengenai pertemuan Komite WTO-TBT mengatakan.
Indonesia, rilis tersebut menambahkan, mendorong Uni Eropa agar tidak menciptakan suatu kebijakan yang bersifat more restrictive than necessarymelalui pembentukan beragam standardisasi yang akan menghambat akses pasar berbagai produk negara berkembang ke wilayah Eropa.
Selain ekspresi “concerns” terhadap kebijakan RED, Indonesia juga mempertanyakan implementasi dari regulasi 1169/2011 dan 1924/2006 Uni Eropa yang tidak melarang pelabelan “palm oil free” pada setiap kemasan berbagai produk pangan yang beredar di wilayah UE.
“Menjamurnya pelabelan “palm oil free” ini dikhawatirkan telah memberikan pesan keliru kepada konsumen bahwa penggunaan minyak kelapa sawit dapat memberikan dampak buruk tertentu,” demikian rilis mengatakan.