Pemerintah di negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia, kini sedang mempelajari risiko, biaya dan akibat yang mungkin akan dihadapinya bila menghentikan semua ekspor kelapa sawit ke Uni Eropa, organisasi kawasan yang dituduhnya telah bersikap diskriminatif terhadap minyak nabati yang kini merupakan andalan negeri ini.

“Sekarang, sebuah studi sedang berjalan, diadakan oleh pihak Indonesia, untuk mencermati penghentian semua ekspor kelapa sawit ke Uni Eropa lebih awal dari 2021, jika keadaan terburuk terjadi,” demikian ujar Mahendra Siregar, mantan wakil menteri perdagangan yang kini merupakan ketua eksekutif Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC).
2021 adalah tahun dimana rencananya, Uni Eropa akan menghentikan penggunaan biofuel yang dibuat dari minyak sawit dalam program energi terbarukannya. Indonesia, dan negara produsen minyak kelapa sawit terbesar kedua didunia, Malaysia, telah mengajukan protes keras terhadap rencana yang mereka katakana bersifat diskriminatif terhadap minyak sawit karena minyak nabati lainnya tidak mendapat perlakuan yang sama.
“Jika keadaan ini (keadaan terburuk) terjadi, menjadi penting bagi Indonesia, atau bahkan keseluruhan negara penghasil, untuk memahami risiko, biaya serta konsekuensinya, serta menghadapinya,” Siregar menambahkan ketika berbicara dalam suatu forum wartawan asing.
Siregar mengatakan bahwa sebenarnya, Uni Eropa saat ini hanya mengkonsumsi 11 persen dari pasokan minyak sawit dunia, jauh lebih rendah dari konsumsinya di tahun 1990-an. Ia mengatakan bahwa penghentian ekspor kelapa sawit ke Uni Eropa sepertinya tidak akan berakibat terlalu besar.
“Kini, Eropa mengkonsumsi 11 persen dari minyak sawit dunia, jadi sekarang ini adalah masalah bagaimana mempercepat penurunan konsumsi in lebih jauh lagi, hingga dampaknya akan semakin tidak berarti,” ujarnya,
Indonesia dan Malaysia, yang memasok sekitar 87 persen dari pasar minyak sawit dunia, hingga kini masih marah setelah Parlemen Eropa pada bulan Januari ini menyetujui melalui voting, untuk menghentikan penggunaan minyak sawit dalam program energi terbarukan mereka dengan mengatakan bahwa kelapa sawit merupakan komoditi dibalik deforestasi hutan tropis.
Dalam perkembangan terkait Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyuarakan keprihatinanya bahwa Uni Eropa mungkin melakukan praktek dumping dengan minyak nabatinya di Indonesia.
Siregar, yang berbicara pada kesempatan yang sama, mengumumkan bahwa “ Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia telah menyuarakan keprihatinannya karena minyak nabati bermerek dari Eropa telah dijual dengan harga dumping di Indonesia, dan menyebakan kerugian bagi industri domestik.”
Iapun menambahkan bahwa fokus awalnya kini adalah penyelidikan atas portofolio semua minyak nabati pada umumnya, dan bahwa industri Indonesia tidak membedakan antara berbagai sumber minyak nabati, baik atas dasar alasan perdagangan maupun lingkungan.
“Sebuah penyelidikan juga sedang dilakukan untuk melihat apakah minyak nabati disubsidi. Jika terdapat bukti yang mencukupi untuk mempersoalkannya, industri domestik akan melayangkan complain terhadap semua impor dari Uni Eropa kepada Badan Anti-Dumping,” ujarnya.
Berbicara kepada wartawan setelah forum ini, Siregar menambahkan bahwa GIMNI mencurigai bahwa minyak nabati dari Eropa dijual disini dengan harga yang lebih rendah dari harga produksinya sendiri di negara asalnya.
Jika komplain ini diterima, Badan Anti-Dumping akan membuka penyelidikannya sendiri dan bila bukti-bukti ditemukan, lembaga tersebut mungkin akan menetapkan biaya anti-dumping tambahan terhadap minyak dari Eropa yang dihasilkan dari rapeseed, canola, zaitun, bunga matahari maupun jagung.
“Ini merupakan masalah prinsip dagang yang adil,” Siregar mengatakan.