Profesor Subagjo dari Institut Teknologi Bandung mengatakan jika Indonesia benar-benar ingin memenuhi komitmen emisi karbonnya serta berdaulat di bidang energi, termasuk dengan penggunaan katalis buatan dalam negeri, sebenarnya negeri ini sudah memiliki sumber daya alam dan manusia serta penguasaan teknologi yang diperlukan. Masalahnya, Indonesia masih membutuhkan kepemimpinan kuat yang dapat memobilisasi semua sumber daya nasional demi pencapain tujuan tersebut.
Sudah berkecimpung dalam pengembangan teknologi katalis sejak awal 1980an, Subagjo yang merupakan profesor Fakultas Teknologi Industri di Institut Teknologi Bandung (ITB), kaya dalam pengalaman tidak saja dalam mengembangkan teknologi katalis, tetapi juga dalam membangun sinergi dan kerjasama antara dunia universitas dan bisnis.
“Harapannya kan kemudian, ada yang bisa mengerahkan semua potensi yang ada Indonesia,” ujar Subagjo kepada The Palm Scribe dalam sebuah wawancara belum lama ini.
Ia mengatakan bahwa dari segi sumber daya, baik bahan mentah maupun kemampuan sumber daya manusianya, Indonesia sebenarnya sudah siap, tetapi dibutuhkan kepemimpinan yang dapat mengerahkan semua sumber daya yang dimiliki bangsa ini untuk mencapai kemandirian dalam produksi katalis, kemudian dalam memproduksi diesel maupun bensin nabati yang jauh lebih ramah lingkungan dari bahan bakar fosil.
Subagjo mengatakan sebagai contohnya, masih diperlukan inovasi katalis dan teknologi prosesnya, rancang bangun pabrik yang dapat memproduksi katalis maupun yang dapat memproduksi Bahan Bakar biohidrokarbon, yaitu campuran antara bahan bakar nabati (BBN) biohidrokarbon dengan bahan bakar fosil, atau juga bahan bakar yang sepenuhnya nabati.
Walaupun laboratorium katalisnya sudah dikunjungi oleh 11 menteri, suatu jumlah yang luar biasa bagi sebuah lembaga penelitian, masih ditunggu dorongan kepemimpinan yang bisa menyatukan semua sumber daya nasional dalam usaha mengembangkan industri katalis dan industri BBN biohidrokarbon yang sangat dibutuhkan Indonesia.
Subagjo menekankan bahwa dalam pengembangan baik teknologi katalis maupun industri BBN biohidrokarbon dan oleokimia, peran industri – yang dalam hal ini adalah perusahaan-perusahaan besar – sangat penting, karena merekalah yang tidak saja memiliki sarana pengujian baik dalam skala pilot maupun komersial, namun sebagai pengguna akan mampu memberikan masukan bagi perbaikan yang diperlukan.
“Kalau kami disini skalanya, skala laboratorium, katalis yang digunakan hanya beberapa gram saja. Untuk pengujian skala pilot maupun skala komersial, diperlukan peralatan yang jauh lebih besar dan ini hanya dimiliki industri seperti Pertamina, Pupuk Kujang dan sebagainya,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa peran perusahaan negara seperti kedua BUMN tadi krusial dalam usaha mengembangkan katalis dan teknologi proses “Merah Putih”, label yang sebenarnya mencakup beberapa katalis industri dan teknologi proses yang dikembangkan dan diproduksi di Indonesia.
Katalis, yaitu komponen kimia yang memungkinkan percepatan proses reaksi kimia extra cepat ini, merupakan komponen dasar yang mutlak diperlukan. Tanpa katalis, proses reaksi kimia tidak saja akan memakan waktu yang jauh lebih lama tetapi juga membutuhkan wadah reaksi yang berukuran sangat besar.
Dengan katalis, ujarnya, sebuah reaksi kimia dapat berlangsung lebih cepat trilyunan kali lipat atau bahkan jauh lebih cepat lagi. “Pengembangan industri kimia, umumnya dimulai dengan pengembangan katalisnya; sehingga katalisnya harus ada dulu, baru proses bisa dilangsungkan”, ujar Subagjo.
Ia mengatakan bahwa walaupun katalis ini penting, dengan lebih dari 80 persen industri kimia memerlukan penggunaannya, hampir seluruh kebutuhan Indonesia masih harus diimpor. Untuk memenuhi kebutuhan dunia saat ini, hanya sekitar 30 persen katalis dijual bebas di pasaran. Sekitar 40 persen dikembangkan, diproduksi dan digunakan sendiri oleh industri pengembangnya, sementara sisanya dikembangkan oleh industri penggunanya, tetapi untuk produksinya “dijahitkan” kepada pihak kedua.
“Seharusnya kita memiliki pabrik katalis nasional, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan nasional,” ujar Subagjo.
Katalis berperan penting dalam produksi bahan bakar nabati biohidrokarbon
Subagjo mengatakan sudah semenjak tahun 1982 meneliti dan bahkan menawarkan perengkahan minyak sawit menjadi bahan bakar bensin nabati, namun pada saat itu Ia tidak mendapatkan mitra industri, mungkin karena produksi kelapa sawit kala itu belum banyak dan minyak hidrokarbon juga masih murah dan stoknya berlimpah.
Mendapatkan mitra industri untuk membantu pengembangan penelitian dan pengujian hingga skala komersial, merupakan proses yang sulit dan membutuhkan waktu lama, kata Subagjo sambil segera menambahkan bahwa dibutuhkan juga pimpinan industri yang tidak saja memiliki visi ke depan dan nasionalis, tetapi juga berani mengambil keputusan.
Ia mencontohkan tantangan yang dilontarkan di tahun 1994 oleh Kadar Soeradimadja, direktur litbang PT. Pupuk Iskandar Muda (PT. PIM) kala itu. Ia menantang Subagjo dan kawan-kawan untuk mengembangkan adsorben H2S, yang saat itu masih harus diimpor dari Amerika dalam jumlah besar, yang tentunya berujung pada ongkos kirim yang sangat mahal.
Tantangan yang diterima itu kemudian menghasilkan PIMIT-B1, adsorben berbasis besi oksida yang memiliki kapasitas 2 kali lipat kapasitas adsorben yang sebelumnya digunakan PT. PIM.
Peran industri sangat penting, seperti dalam pengembangan dan pengujian katalis hydrotreating yang dilakukan bersama Research & Technology Center (RTC) Pertamina. Kolaborasi ini menghasilkan PITN 100-2T (PK 100 HS) dan sudah menjalani baik pengujian pilot maupun skala komersial. Kerjasama dengan RTC Pertamina sudah berlangsung semenjak 2005, dan sudah menghasilkan lebih dari 170 ton berbagai jenis katalis hydrotreating yang digunakan Pertamina untuk menggantikan katalis impor.
Bersama Pertamina dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), tim ITB Subagjo dan kawan-kawan juga sudah berhasil melakukan de-oksigenisasi minyak sawit menjadi diesel biohidrokarbon serta de-oksigenisasi dan mencabangkan minyak inti sawit menjadi bio-avtur, serta mengkonversi minyak sawit menjadi bensin nabati.
Uji komersial sudah dilakukan untuk diesel biohidrokarbon di kilang dumai serta untuk produksi bio-avtur direncanakan tidak akan lama lagi.
“Secara teknologi, kita sudah siap,” ujar Subagjo terkait upaya menjadi mandiri dalam bidang energi ini. Hanya saja, seperti yang sudah dikatakannya, masih perlu mobilisasi sumber daya nasional untuk membantu tercapainya cita-cita kemandirian ini.