The Palm Scribe

Indonesia Harus Memetakan Status Legal Semua Perkebunan Kelapa Sawitnya: Pakar

Setelah berhasil merekonsiliasi berbagai data yang ada mengenai tutupan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, pemerintah  kini  perlu memetakan status lahan perkebunan tersebut agar memiliki  basis data  yang kuat dan akurat sebagai acuan dalam memperbaiki tata kelola sektor tersebut, seorang pakar mengatakan Selasa (19/5).

“Setelah database mengenai peta tutupan, kita perlu menindak lanjuti dengan menyusun database dan peta status kepemilikan lahannya,”  demikian

Prabianto Mukti Wibowo, Mantan Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Berbicara dalam semua diskusi daring mengenai  kelapa sawit yang diselenggarakan oleh Sawit Watch, Prabianto mengatakan bahwa setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, pemerintah melakukan rekonsiliasi berbagai data yang ada mengenai tutupan perkebunan kelapa sawit,

Ia mengatakan bahwa terdapat beberapa lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang masing masing mengeluarkan data mengenai tutupan perkebunan kelapa sawit yang berbeda satu sama lain.  Kementerian Koordinasi untuk Ekonomi kemudian mengkordinasi semua upaya dalam merekonsiliasi data-data berbeda tersebut.

“Apa yang diselesaikan pada akhir tahun 2019 adalah peta tutupan perkebunan kelapa sawit nasional, dan langkah setelah memiliki tutupan lahan, adalah kita ingin ada peta status tanah,” ujar Prabianto. Hasil rekonsiliasi yang mengatakan tutupan kebun kelapa sawit Indonesia adalah seluas 16,4 juta hektar tersebut kemudian sudah dituangkan kedalam keputusan menteri kehutanan.

Ia mengatakan bahwa yang dimaksudnya dengan basis data mengenai peta status lahan adalah data yang mengidentifikasi apakan sebuah kebun kelapa sawit legal atau non-prosedural, apakah dikelola perkebunan besar atau rakyat, dan apakan kebun berada dikawasan hutan atau diluar kawasan hutan.

“Kita tidak akan bisa memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit kalau kita tidak memiliki database yang kuat, akurat dan valid sebagai acuan,” Prabianto mengatakan.

Berbicara pada kesempatan yang sama, Semiarto Aji Purwanto, Ketua Program Sarjana, Departemen Antropologi, Universitas Indonesia, mengatakan berdasarkan pengalamannya, masalah legalitas bukan hanya merupakan masalah yang dihadapi petani rakyat tetapi juga banyak dari perkebunan kelapa sawit yang besar.

Ia mengutip seorang mantan pejabat tata ruang Kalimantan Timur yang mengatakan bahwa di tahun 2016 di propinsi tersebut terdapat 324 perkebunan kelapa sawit tetapi hanya 80 saja yang memiliki izin legal dalam bentuk HGU. Dalam luasan, berarit hanya sekitar 800.000 hektar dari 2,5 juta hektar lahan yang sudah ditanami kelapa sawit yang legal, atau 32 persennya.

Prabianto mengatakan bahwa inpres 8/2018 menginstruksikan Menteri Agraria dan Tata Ruang untuk melaksanakan verifikasi semua HGU, tidak saja di bidan kelapa sawit tetapi juta di sektor lainnya seperti hutan tananam industri, pertambangan dan operasi lainnya.

Ia mengatakan bawha tujuan utama inpres 8/2018 ini adalah memperbaiki tata kelola berkelanjutan perkebunan kelapa sawit. Inpres juta ditujutkan untuk meningkatkan produktivitas kebun kelapa sawit, terutama kebun rakyat. Dan semua ini diharapkan tercapai dalam masa tiga tahu semenjak inpres dikeluarkan.

Nurhidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, dalam tanggapannya pada diskusi yang sama, mengatakan bahwa inpres itu bermaksud baik tetapi masa berlakunya yang hanya tiga tahun itu terlalu pendek untuk dapat mencapai kesemua tujuannya.

“It langkah uyang baik tetapi waktu yang diberikan terlalu pendek… permaslaahan perkebunan kelapa sawit sangat kompleks dan tidak dapat diselesaikan dengan satu inpres saja dengan waktu tertentu,” ujar Nurhidayati.

Ia juga mengatakan bahwa Inpres tersebut hanya terfokus kepada kebun kelapa sawit di kawasan hutan sementara di luar kawasan hutan seperti di area penggunaan lain (APL) misalnya juga masih terdapat sekitar enam juta hektar lahan hutan yang juga perlu dilestarikan.

“Kami mendorong agar inpres ini diperpanjang,” Ujar Nurhidayati.

Baca lebih banyak tulisan oleh Bhimanto Suwastoyo.
Industri perhutanan? Kunjungi The Forest Scribe.
Share This