The Palm Scribe

Imbalan Bagi Pengurangan Emisi Karbon dan Deforestasi di Indonesia

ilustrasi
Pemerintah Norwegia berencana untuk  memenuhi janjinya dan memberikan kompensasi kepada Indonesia setelah mengkonfirmasi laporan bahwa emisi karbon dari deforestasi di negeri ini  menurun pada 2017, kata seorang diplomat Norwegia.
“Ketika angka emisi telah diverifikasi secara independen, Norwegia akan menjamin pembayaran ke Indonesia untuk sekitar 4.8 juta ton CO2”, ujar Lisetta Trebbi, konsuler untuk Hutan dan Perubahan Iklim dari kedutaan Norwegia kepada The Palm Scribe.
Informasi menyebutkan bahwa kompensasi yang akan dibayarkan diperkirakan dapat mencapai $24 juta dolar.
Setelah bertemu di Jakarta minggu lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Hutan Indonesia, Siti Nurbaya Bakar dan Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, Ola Elvestuen, mengumumkan bersama bahwa kedua negara akan meluncurkan fase baru dari perjanjian bilateral yang telah mereka sepakati pada tahun 2010, dalam upaya menghentikan deforestasi untuk memenuhi tujuan dari perjanjian iklim yang ditandatangani di Paris.
Dalam perjanjian tersebut, kedua negara menyetujui aturan pembayaran berbasis hasil dari Norwegia kepada Indonesia untuk pengurangan emisi. Indonesia akan menjadi negara dengan hutan tropis yang luas yang menerima pembayaran untuk pengurangan deforestasi di tingkat nasional.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ruandha Agung Sugardiman mengatakan kepada The Palm Scribe bahwa menteri KLHK masih akan melakukan konsultasi dengan kabinet mengenai hal ini.
Pada tahun 2010, Norwegia berjanji untuk mendukung Indonesia dengan pendanaan hingga satu miliar dollar untuk membantu upaya pemerintah dalam mengatasi deforestasi dan pengurangan emisi karbon. Sejauh ini, baru sekitar 13 persen dari kesepakatan ini yang telah dicairkan.
“Secara umum, Norwegia merasa positif akan perkembangan yang berkelanjutan di sektor kehutanan Indonesia. Kami menyadari bahwa Indonesia adalah negara besar dengan kondisi geografis yang menantang, dimana juga terdapat sejarah panjang masalah tata kelola hutan,” ujar Trebbi.
“Tetapi kita dapat mengatakan bahwa ada begitu banyak prestasi yang telah dicapai untuk perbaikan tata kelola hutan di negara ini, termasuk di dalamnya pengakuan akan hak masyarakat adat dalam mengelola hutan, cara pemerintah pusat dan daerah menghargai hutan sebagai aset jangka panjang, serta pemulihan daerah lahan gambut yang rusak, ”imbuhnya.
Indonesia telah melaksanakan sejumlah reformasi dan implementasi penting lainnya di sektor kehutanan dan penggunaan lahan selama beberapa tahun terakhir. Pemerintah telah meluncurkan langkah-langkah untuk melindungi hutan, termasuk larangan perusakan hutan primer dan lahan gambut.
Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan The Palm Scribe sebelumnya, kepala Badan Restorasi Lahan Gambut Nazir Foead mengatakan bahwa “Presiden sangat jelas dan tegas mengenai tugas yang diberikan. Kami siap melakukan apa pun yang kami bisa, menggunakan segala upaya termasuk menghadapi semua risikonya”.
Pada tahun 2018, presiden Jokowi mengumumkan kebijakan untuk mendorong peningkatan produksi minyak sawit dari perkebunan yang sudah ada, ketimbang membuka kawasan hutan baru. Indonesia juga sedang melaksanakan tinjauan hukum secara komprehensif tentang konsesi kehutanan dan pertanian yang ada, serta meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap kejahatan hutan sambil menangani masalah dengan masyarakat setempat untuk mendapatkan hak atas tanah.
“Moratorium telah memberikan waktu bagi pemerintah untuk meninjau kembali masalah di masa lalu dan untuk membuat dasar kebijakan yang diperlukan untuk membuat tindakan korektif guna memperbaiki masalah. Pembayaran pertama pengurangan emisi karbon ini, meskipun masih sangat kecill, kami berharap akan memberi Indonesia kepercayaan yang lebih tinggi bahwa apa yang oleh banyak orang dianggap mustahil 10 tahun lalu, dimungkinkan dengan upaya dan komitmen yang kuat, ”kata Trebbi.
Indonesia merupakan rumah dari hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Namun deforestasi dan perusakan lahan gambut telah menempatkan Indonesia diantara penghasil emisi terbesar di dunia, sehingga  pemerintah akhirnya menetapkan target ambisius untuk mengurangi emisi tersebut, yaitu hingga 41 persen pada tahun 2030.
Keberadaan hutan sangat penting untuk memenuhi Perjanjian Iklim Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Langkah substansial untuk mengurangi emisi dari deforestasi diperlukan jika dunia ingin mempertahankan kenaikan suhu global di bawah 1.5 hingga 2 derajat.
PROTOKOL YANG DIGUNAKAN
Pengukuran dilaksanakan terhadap tingkat emisi rata-rata selama 10 tahun terakhir. Untuk periode 2006 hingga 2016, diperkirakan sekitar 237 juta ton CO2 per tahun berasal dari deforestasi dan 42 juta ton dari degradasi hutan. Ini belum termasuk pengurangan emisi dari degradasi dan kebakaran gambut.
Dari total hasil di atas, akan dikurangi 20 persen untuk unsur ketidakpastian, kemudian dikurangi 15 persen lagi sebagai bagian dari target yang sudah ditetapkan Indonesia sendiri dalam mengurangi emisi. Sisanya, yaitu 65 persen dari hasil akan dihargai oleh Norwegia atau pihak lainnya.
“Semua perkembangan positif yang berkesinambungan sangat menggembirakan bagi Norwegia dan Indonesia. Namun tentu saja, Indonesia berada di depan untuk semua usaha-usaha perbaikan. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, serta masalah yang harus dipecahkan. Saya pikir masih terlalu dini untuk dikatakan bahwa kami merasa puas, tetapi kami merasa optimis untuk melanjutkan kerja keras Bersama ini, ” demikian ujar Trebbi.
Share This