Provinsi Papua Barat membutuhkan insentif dari berbagai pihak untuk mendukung program konservasi yang dicanangkan.
Hal ini guna mendukung masyarakat lokal sebagai pelaku utama konservasi untuk dapat menjaga hutan yang mereka miliki tanpa harus menjualnya guna memenuhi kebutuhan sehari hari. Isu tersebut menjadi salah satu topik yang ada pada Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Ekowisata dan Ekonomi Kreatif (ICBE) 2018 hari kedua di Manokwari, Papua Barat.
“Kalau kita berpikir bahwa konservasi itu adalah hutan yang tidak boleh ditebang, lalu rakyat makan apa? Tapi kalau hutan terus ditebang supaya ada pendapatan bagi masyarakat, maka hutan dan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya akan lenyap dan kita hanya nikmati sesaat saja. Kondisi alam dan keanekaragaman hayati tersebut tidak akan dinikmati oleh anak cucu kita 50-100 tahun ke depan, kita pun akan susah untuk menghijaukan kembali, hutan yang telah kita rusak,” kata Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat Nataniel D. Mandacan.

Tantangannya adalah bagaimana pemerintah Pusat dan pemerhati lingkungan lainnya untuk bersama-sama menemukan sebuah skema pendanaan yang tepat agar masyarakat Adat yang bekerja menjaga hutan maupun kawasan konservasi lainnya di Tanah Papua tidak merasa kekurangan secara ekonomi. Pemerintah Provinsi Papua Barat sendiri menargetkan 70 persen kawasannya dijadikan kawasan konservasi dalam Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang akan dikaji ulang seiring dengan adanya regulasi daerah yang akan dikeluarkan terkait Revisi RTRW di Provinsi Papua Barat.
Papua Barat juga mengharapkan Pemerintah Pusat mendukung tekad sebagai kawasan konservasi dengan mengeluarkan kebijakan menyangkut insentif bagi daerah dalam bentuk Ecological Fiscal Transfers.
Peneliti dari Research Centre for Climate Change Universitas Indonesia, Sonny Mumbunan, menyatakan pendanaan dari Pemerintah Pusat sangat dimungkinkan untuk dilakukan melalui mekanisme Dana Alokasi Umum. Formulanya dengan memakai indikator tutupan lahan sebagai acuan dalam menyalurkan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tersebut.
“Jadi bagi daerah-daerah yang memiliki tutupan lahan hutan tertentu dan mengalami pertambahan tutupan kawasan, itu bisa diberikan insentif. Mekanisme ini sudah saya bicarakan di Kementerian Keuangan hingga Kementerian Dalam Negeri dan mendapat respons berbeda-beda,” terang Sonny Mumbunan yang menambahkan bahwa mekanisme ini sudah berhasil di Brasil dan India.
Akademisi dari Universitas Papua Ludia Wambrauw meminta agar dana yang masuk dalam rangka konservasi, jangan langsung diberikan kepada masyarakat tanpa adanya pendampingan. Pasalnya, beberapa contoh kasus menunjukan pemanfaatan dana hanya bersifat temporer dan gagal.
“Pendanaan itu penting, tapi yang paling penting adalah pendampingan supaya tetap sustain. Kalau mau jangka panjang harus ada pendampingan pada masyarakat agar ekonomi yang terbangun juga berkelanjutan,” kata Ludia.
Untuk itu, pemerintah daerah dapat memanfaatkan mitra-mitra pembangunan yang selama ini sudah melakukan pendampingan langsung kepada masyarakat, baik itu dari LSM maupun akademisi.