The Palm Scribe

Hasil Referendum di Swiss Harus Mendorong Keberlanjutan Kelapa Sawit  Indonesia

Foto: AFP

Dengan lolosnya perjanjian dagang antara Indonesia dengan European Free Trade Association dalam kerangka Comprehensive Economic Partnership Agreement (Indonesia-EFTA CEPA) pada referendum Swiss 7 Maret yang lalu, Indonesia perlu serius meningkatkan upaya-upaya keberlanjutan dalam budidaya tanamannya, termasuk kelapa sawit,  Center for Indonesian policy Studies (CIPS) mengatakan.

Pada referendum tersebut, Indonesia-EFTA CEPA atau yang juga dikenal dengan istilah IE-CEPA lolos tipis hanya dengan 51,6  persen suara dari total 2,7 juta penduduk Swiss yang tercatat memberikan suaranya dalam referendum. Dengan perjanjian ini, maka Swiss akan menurunkan bea masuk bagi komoditas industri Indonesia, termasuk kelapa sawit.

Swiss bersama dengan Liechtenstein, Norwegia dan Islandia merupakan negara anggota EFTA.

“Hal ini menandakan bahwa masih banyak warga Swiss yang khawatir dengan isu keberlanjutan di Indonesia terlepas dari suara mayoritas dalam referendum. Jika Indonesia ingin mengoptimalkan manfaat IE-CEPA dan meningkatkan ekspor ke pasar EFTA, maka Indonesia perlu terus menunjukkan peningkatan praktik keberlanjutannya terutama dalam implementasi dari perjanjian ekonomi ini,” CIPS mengatakan dalam sebuah siaran persnya.

Upaya-upaya keberlanjutan, meliputi metode budidaya tanaman dengan cara-cara yang ramah lingkungan, dan juga pelaksanaan kegiatan ekonomi yang memperhatikan unsur keberlanjutan dan tidak eksploitatif,  penting untuk mendukung kelancaran komoditas Indonesia dalam memasuki dan bersaing di pasar Eropa., tambah CIPS.

Dalam Annex dari perjanjian tersebut tercantum komitmen Kerja Sama Terkait Perdagangan dan Kegiatan Peningkatan Kapasitas yang juga menyasar produk kelapa sawit sehingga memberi ruang bagi negara EFTA dan Indonesia untuk mengimplementasikan rencana aksi nasional di Indonesia untuk mengurangi deforestasi dan memastikan keanekaragaman hayati sejalan dengan kewajiban internasional Indonesia.

“Isu keberlanjutan dalam pertanian, yang paling sering disorot adalah komoditas kelapa sawit dengan produk olahannya berupa minyak sawit, sudah lama disorot oleh negara-negara Eropa. Indonesia dinilai menjalankan praktik pertanian dan ekonomi yang tidak sustainable dan tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan. Hal ini hendaknya menjadi masukan yang perlu diperhatikan dengan serius oleh pemerintah,” demikian peneliti CIPS  Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan dalam siaran pers tersebut.

“Kalau kita semua memikirkan nasib para petani kelapa sawit dan mereka yang tergantung pada industri ini, masukan seperti ini sangat layak untuk dipertimbangkan untuk menjaga kelangsungan komoditas ini dan memperluas jangkauan pasarnya,” imbuh Pingkan.

Secara khusus, dalam perjanjian IE-CEPA terdapat klausul yang mengamanatkan pentingnya upaya para pihak yang terikat dalam perjanjian ini untuk menekankan informasi, pendidikan dan pelatihan tentang keberlanjutan di semua tingkatan guna berkontribusi pada pembangunan sosial yang berkelanjutan

Perjanjian IE-CEPA diharapkan dapat membuka akses pasar, memperkuat transfer teknologi, pengetahuan, dan kapasitas, serta mendorong investasi bagi Indonesia. Melalui perjanjian ini Indonesia nantinya dapat menjual produk industrinya di pasar EFTA dan menikmati penurunan tarif yang saat ini direncanakan untuk produk pertanian tertentu, khususnya minyak sawit yang merupakan salah satu komoditas ekspor utama Indonesia. 

Indonesia didorong untuk terus meningkatkan standar dan praktik keberlanjutan yang tertuang dalam Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang menjadi perhatian bagi Swiss dan menjadi faktor utama diadakannya referendum yang baru saja terjadi. Jika Indonesia ingin mengoptimalkan manfaat IE-CEPA dan meningkatkan ekspor ke pasar EFTA, maka Indonesia perlu terus menunjukkan komitmennya dalam peningkatan praktik keberlanjutan dan perhatian pada aspek lingkungan.

IE-CEPA ini mulai dinegosiasikan  sejak Januari 2011 dan telah diratifikasi parlemen Swiss tid tahun 2019 namun banyak yang mengkritisi rencana pengurangan bea masuk bagi minyak sawit dan akhirnya diputuskan mengadakan referendum untuk mengetahui apakah masyarakat Swiss menghendaki persetujuan ini terus diberlakukan atau tidak.

Persetujuan ini mencakup 12 ragam aspek mulai dari perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi, pengadaan pemerintah, kerja sama ekonomi dan pengembangan kapasitas, ketentuan asal barang dan fasilitasi perdagangan, hambatan teknis perdagangan beserta tindakan sanitary dan phytosanitary, instrumen pengamanan perdagangan, kekayaan intelektual, persaingan usaha, ketentuan legalitas, sampai pada isu runding yang paling mendapat sorotan masyarakat Swiss yaitu perdagangan dan pembangunan berkelanjutan.

“Pemerintah juga perlu mengevaluasi berbagai kebijakan perdagangan yang selama ini diterapkan, melihat apakah kebijakan tersebut dapat mendukung berbagai kemitraan ekonomi yang Indonesia jalin dengan berbagai negara dan kawasan. Kemitraan yang disepakati tentu harus didukung oleh kebijakan yang sesuai, yang mengarah pada tercapainya tujuan dari kemitraan tersebut,” ungkap Pingkan.

Baca lebih banyak tulisan oleh Bhimanto Suwastoyo.
Industri perhutanan? Kunjungi The Forest Scribe.
Share This