The Palm Scribe

Harga Minyak Sawit Tinggi Berkepanjangan Tak Selalu Membawa Keberuntungan

 

 

Harga sawit yang tinggi seperti yang dialami paling tidak dalam enam bulan belakangan ini, jika terus meningkat dan berkepanjangan, malah akan dapat membahayakan industri sawit Indonesia, seorang eksekutif perusahaan sawit ternama memperingatkan.

 

“Kita musti hati hati kedepannya,” ujar Chief Executive Officer PT Astra Agro Lestari Tbk, Santosa, dalam acara daring Talk to the CEO Selasa (15/2).

 

Menurutnya harga tinggi minyak sawit di pasaran dunia, yang telah dinikmati Indonesia sebagai negara produsen terbesar komoditas ini selama paling tidak enam bulan terakhir ini, sudah mengurangi kesenjangan harga dengan minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, bunga matahari, rapa dan sebagainya,

 

“Harga minyak sawit dengan harga minyak nabati lain tidak terlalu jauh,” ujar Santosa.

 

Bila minyak sawit kehilangan daya saingnya karena harga yang tinggi dan tidak jauh berbeda dari minyak nabati lainnya, konsumen besar kemungkinannya akan dapat beralih kepada penggunaan minyak nabati lainnya.

 

Secara produksi, minyak sawit adalah minyak nabati yang paling efisien — buah sawitnya dapat dipanen sepanjang tahun, produktivitas per hektarnya jauh lebih tinggi dari saingan terdekatnya sehingga biaya produksinyapun menjadi lebih rendah.

 

Namun Santosa mengatakan bahwa produksi minyak sawit dunia, termasuk di Indonesia, akhir akhir ini stagnan atau kalaupun ada pertumbuhan, kecil saja.

 

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, dalam salah satu rilisnya belum lama ini, mengatakan penurunan produksi minyak sawit, termasuk di Indonesian dan Malaysia yang secara bersama sama menyumbang sekitar 85 percent pasokan komoditas ini di dunia, disebabkan oleh tidak adanya ekspansi pekebunan, kesulitan tenaga kerja karena pandemic, pemupukan yang kurang optimal di tahun-tahun sebelumnya serta berbagai dampak iklim.

 

Produksi yang menipis akan menggerus stok dunia dan membatasi pasokan dan dengan terus meningkatnya kebutuhan akan minyak nabati di dunia, harga minyak sawit paling tidak akan dapat bertahan pada tingkat yang tinggi untuk sementara waktu kedepannya.

 

“Untuk tahun 2021, dibandingkan dengan 2022, produksi praktis stagnan,” Santosa mengatakan mengacu kepada produksi sawit nasional.

 

Astra Agro Lestari sendiri masih membukukan sedikit pertumbuhan dalam produksinya tahun lalu, namun pertumbuhan tersebut bukan pertumbuhan organik sebab mayoritas perkebunan inti perusahaan sudah mencapai posisi produksi yang stagnan karena faktor umur. Pertumbuhan tahun lalu, ujar Santosa, diperoleh dari pembeilian yang lebih besar dari mitra petani kelapa sawit perusahaan.

 

Tahun lalu Astra Agro Lestari mencatat kenaikan pembelian Tandan Buah Segar (TBS) sawit dari petani mitra sebesar 25,6 persen.

 

Pentingnya kemitraan ini bagi perusahaan mendorongnya untuk meluncurkan sejumlah aplikasi sebagai bentuk inovasi digital perseroan untuk meningkatakn pelayanan perusahaan bagi petani mitra.

 

Aplikasi Sistem Informasi Kemitraan (SISKA) yang berbasis internet misalnya diharapkan memperbaiki pelayanan perusahaan kepada petani mitranya hingga mereka dapat ikut merasakan keuntungan yang lebih besar dari kemitraan dengan perusahaan. Siska menjadikan transaksi TBS dari mitra petani menjadi lebih efektif dan efisien.

 

Harga minyak sawit yang tinggi di pasaran global juga telah berkontribusi kepada naiknya harga minyak goreng, yang bahan bakunya di Indonesia terutama berasal dari minyak sawit. Harga minyak goreng, yang merupakan salah satu bahan pokok utama, yang tinggi telah mendorong pemerintah untuk mengambil beberapa langkah, termasuk menentukan harga eceran tertinggi pada tingkat Rp 14.000 per liter, serta menerapkan kewajiban memasok ke dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) minyak sawit mentah (CPO), olein, dan minyak goreng.

 

Santoso mengatakan bahwa perusahaannya sendiri akan mematuhi akan tetap mematuhi kebijakan tersebut. “Kalau DMO dan DPO, suka atau tidak suka, apapun yang sudah diputuskan oleh pemerintah, kita dukung,” ujarnya.

 

Kebijakan DMO menharuskan produsen minyak sawit mengalokasikan 20 persen dari jumlah yang di ekspornya untuk pasar domestik.

 

Ia mengatakan bahwa walaupun beberapa produsen minyak goreng di Indonesia mungkin merugi dengan keharusan menjual minyak gorengnya dengan harga yang sudah ditetapkan, “selama harga itu masih diatas biaya produksi, ya tidak apa apa.” Ia membandingkannya dengan fluktuasi harga minyak yang juga naik turun.

 

Namun Santosa juga mengingatkan bahwa penerapan kebijaksanaan pemerintah ini dilakukan juga harus mempertimbangkan obligasi perusahaan seperti kontrak penjualan dengan pembeli luar negeri yang  harus dipenuhi demi menjaga nama baik perusahaan maupun Indonesia.

 

“Kalau kita sudah punya komitmen dengan buyer dari luar negeri, tidak boleh default. Kalau default reputasi kita sebagai negara juga akan masalah,” dikatakannya.

 

Pengaruh lainnya dari kebijakan DPO adalah bahwa akan ada minyak sawit dan olein yang dijual dengan harga pasaran dunia, tetapi ada juga yang harus dijual dengan harga DPO yang tentu saja lebih rendah.

 

Harga CPO sekarang ini berkisar sekitar Rp 15.000 per kilogram, sementara harga DPO untuk CPO sebesar Rp 9.300 per kg dan Rp 10.300 per kg untuk olein.

 

Share This