The Palm Scribe

Harga CPO Yang Rendah, Salah Siapa?


Beberapa pemangku kepentingan industri kelapa sawit Indonesia mengingatkan adanya risiko tinggi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena harga minyak mentah kelapa sawit (CPO) yang terus rendah setahun belakangan ini, banyak lainnya mengatakan keadaan belum separah itu.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Gabungan Produsen Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumarjono Saragih, dikutip oleh CNBC Indonesia akhir pekan yang baru lalu ini, mengatakan bahwa ia menilai ada risiko lay-off atau PHK yang menghantui industri kelapa sawit Indonesia saat ini karena jatuhnya harga CPO di pasar internasional sepanjang tahun ini.

“Ya, saya setuju, apalagi dengan kuatnya tekanan parlemen Eropa untuk tetap memblok impor CPO kita,” Ketua Asosiasi Produsen Cangkang Sawit Indonesia (APCASI) Dikki Akhmar mengatakan kepada The Palm Scribe mengomentari pernyataan Saragih tersebut.

Saragih, yang tidak dapat segera dihubungi untuk komentarnya, mengatakan bahwa di lapangan banyak pekerjaan panen dan perawatan kebun sawi di sentra-sentra produksi sawit saat ini sudah berkurang bahkan ada yang berhenti.

Ia juga mengatakan stok minyak sawit Indonesia sangat besar sementara tidak ada pembeli dan CPO Indonesia sering ditolak di pasar global pula.

Akhmar megatakan bahwa dana yang dikumpulkan dari pungutan ekspor sawit dan turunannya sesungguhnya tidak digunakan untuk menjaga pasar sawit dalam maupun luar negeri seperti seharusnya, namun malah difokuskan bagi subsidi biosolar, sesuatu yang hanya menghidupkan perusahaan-perusahan besar yang memproduksi biosolar.

“Poinnya adalah pemerintah tidak concern dan tidak aware soal industri sawit, tidak mengerti penanganan industri ini seperti apa, dan strategi lebih di dominasi pengusaha-pengusaha besar untuk kepentingan mereka, bukan industri sawit secara umum,” jelas Akhmar kepada The Palm Scribe.

Ia menambahkan bahwa asosiasinya berencana meminta audiensi, menghadap Presiden Joko Widodo, untuk meminta perhatian pemerintah mengenai soal ini.

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun berbeda pendapat. Menurutnya risiko ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana perusahaan dikelola. Perusahaan yang dikelola dengan baik tidak rentan pemutusan hubungan kerja.

“Hanya perusahaan-perusahaan kecil, yang tidak dikelola dengan baik, atau dengan produktivitas yang rendah, yang mungkin menghadapi risiko ini,” ujar Bangun menjawab pertanyaan The Palm Scribe.

Ia mengatakan bahwa dalam jangka pendeknya, pemerintah harus menyesuaikan pungutan yang diterapkannya kepada ekspor minyak sawit Indonesia.

“Sebaiknya, dan ini hanyalah langkah sementara saja, pemerintah seharusnya mengurangi atau bahkan meniadakan levy untuk CPO. Ini akan berdampak langsung kepada harge TBS (tandan buah segar),” ujarnya.

Indonesia kini menetapkan pungutan sebesar antara $30 dan $50 per ton bagi ekspor CPO dan produk turunannya. Pungutan tersebut kemudian dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPD PKS) dan digunakan untuk mengembangkan sektor komoditi ini.

Bangun juga menambahkan bahwa yang paling banyak merasakan dampak dari rendahnya harga CPO dunia adalah para petani kecil, terutama yang swadaya, maupun petani yang kebunnya jauh dari lokasi pabrik kelapa sawit.

“Perbaikan harga TBS akan sangat membantu petani kecil, petani swadaya,” ungkapnya.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Indonesia Setiyono juga berpendapat bahwa kondisi saat ini belumlah sampai mengarah kepada pemutusan hubungan kerja yang masal.

“Harga sawit turun seperti ini tidak hanya sekali ini dan hal ini kebetulan produksi sawit melonjak tidak seperti biasanya, jadi stok menumpuk. Ditambah minyak nabati lain juga panen raya seperti kedelai, jagung, dan bunga matahari,” ujar Setiyono.

Share This