The Palm Scribe

Hans Nicholas Jong: Ketertutupan industri sawit tak mencerminkan niat baik

Isu lingkungan adalah santapan sehari-hari Hans Nicholas Jong, staf penulis Mongabay.com. Karena bekerja di media yang fokus pada masalah lingkungan itu, dia kerap bertemu dengan orang-orang yang peduli lingkungan, aktivis, peneliti, birokrat, dan perwakilan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan lingkungan. Pergaulannya dengan orang lingkungan ini pula yang meningkatkan ketertarikan dan keinginan Hans untuk mengulas lebih dalam kompleksitas isu lingkungan di Indonesia dan negara-negara lain.

Hans Nicholas Jong: Mencari berita tentang sawit itu susah.

Lahir di Jakarta, Hans mendapatkan pendidikan di Ritsumeikan Asia Pacific University, Beppu, Jepang. Sebelum bergabung dengan Mongabay pada pertengahan 2017, Hans bekerja di harian berbahasa Inggris, The Jakarta Post, selama lima tahun. Tema liputannya bervariasi, dari isu ekonomi hingga pemilihan umum, tapi belakangan dia merasa menemukan tempat yang pas di isu lingkungan.

“Lingkungan lebih menantang,” kata Hans dalam perbincangan dengan The Palm Scribe, baru-baru ini.

Menurut Hans, topik dan isu lingkungan yang seksi di mata media lingkungan, seperti Mongabay, adalah tentang kehidupan alam bebas, termasuk satwa. Konservasi orangutan, dan satwa-satwa lain yang terancam, menurut Hans, gampang membuat orang tergugah, sehingga selalu ditulis.

Di mata Hans, isu-isu di industri sawit jarang dibahas media lingkungan, karena sulit mencari berita tentang sawit. “Misalnya sekarang kalau kita ingin tahu mengenai perkembangan ISPO, lalu bertanya pemerintah, jawabannya belum ada. Cari tahu tentang RUU Sawit, tanya ke DPR, belum ada. Sawit baru ramai dibicarakan kalau terjadi kebakaran lahan,” kata Hans.

Sulitnya mencari informasi tentang sawit dari para pemangku kepentingan, seperti yang disebutkan Hans, membuat industri sawit lebih lebih sering dilihat dari sudut pandang media — yang umumnya negatif. Media-media lingkungan menilai sawit sebagai komoditas yang tak ramah lingkungan, terkait dengan deforestasi, dan mengancam kehidupan satwa, khususnya orangutan. “Selama ini, selama liputan, saya hanya mendengar yang jelek-jelek tentang sawit. Belum ada satu pun perusahaan yang reputasinya baik,” kata Hans.

Situasi seperti itu tentu tak menguntungkan industri sawit. Padahal banyak cerita positif tentang komoditas penghasil devisa terbesar bagi Indonesia ini. Kisah tentang para petani kecil yang mendapatkan manfaat dan meningkat kesejahteraannya berkat sawit, misalnya, justru jarang diberitakan oleh media lingkungan. Padahal ada lebih dari 2 juta petani sawit di Indonesia yang mengelola sedikitnya 41 persen dari total luasan perkebunan sawit (sekitar 4,7 juta hektare) di Indonesia. Kabar baik dari perusahaan sawit yang mengembangkan inovasi, peningkatan produktivitas, praktik berkelanjutan tentang sawit pun tak banyak muncul di media lingkungan. 

Kurangnya informasi tentang sawit juga memicu kesalahan pahaman. Pada November lalu, misalnya, KLM Royal Dutch Airlines meminta semua pemasoknya menghindari produk minyak sawit dengan alasan kesehatan. Maskapai penerbangan Belanda tersebut mewajibkan para pemasok yang masih ingin menjadi rekanan untuk mengantongi sertifikat RSPO – sebagai tanda bahwa mereka mendukung keberlanjutan.

Sikap KLM itu membuat Council Palm Oil Producing Countries (CPOPC) mengirimkan surat protes kepada Maskapai KLM Belanda. Surat dari organisasi yang beranggotakan Indonesia dan Malaysia menilai bahwa KLM salah informasi dan diskriminatif terhadap minyak sawit.

Data RSPO menunjukkan, hingga 30 November 2017, ada 10 grup petani swadaya mendapatkan sertifikat RSPO, tersebar di Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Di Indonesia, luasan lahan sawit yang tersertifikasi RSPO naik, dari 1.547.241 jadi 1.719.606 hektar, lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Amerika Latin, maupun negara lain. Juga ada lebih dari dari 100 perusahaan sawit di Indonesia yang sudah mengantongi sertifikat RSPO

Hans tak memungkiri bahwa industri sawit sedang naik daun. “Sawit sedang digadang-gadang pemerintah sebagai komoditas unggulan,” kata Hans. Pemerintah Indonesia terlihat makin memberi dukungan kuat. Para pejabat pun berkampanye melindungi sawit dari intervensi asing, misalnya dari Eropa. “Kita juga melihat pemimpin Indonesia dan Malaysia juga sudah bersatu agar sawit tak dihambat.”

 Hans bahkan menilai bahwa secara umum sudah ada kemajuan di industri sawit supaya keberlanjutan. Ada sertifikasi ISPO yang sifatnya wajib. “Tapi memang masih ada kekhawatiran. RUU Sawit dianggap lebih mementingkan aspek ekonomi daripada lingkungan. Dan ISPO dinilai lebih lemah dibanding RSPO,” ujar Hans.

Kekhawatiran terhadap persoalan lingkungan akibat sawit itulah yang yang membuat  Parlemen Uni Eropa yang mengeluarkan resolusi resolusi berjudul Palm Oil and Deforestation of the Rainforests (Kelapa Sawit dan Deforestasi Hutan Hujan) pada April 2017.

Resolusi ini menyebut industri kelapa sawit menjadi penyebab deforestasi dan perubahan cuaca. Resolusi juga mengusulkan agar minyak sawit – yang produsen terbesarnya adalah Indonesia–tidak dimasukkan sebagai bahan baku program biodiesel Uni Eropa pada 2020.

Para pemangku kepentingan industri sawit tentu saja keberatan atas resolusi itu, karena menilai deforestasi bukan hanya disebabkan oleh pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Sebagai penghasil sawit terbesar di dunia, Indonesia menilai resolusi itu bertentangan dengan posisi Uni Eropa yang menganut prinsip perdagangan yang adil (fair trade).`Presiden Joko Widodo mendesak agar sikap diskriminatif Uni Eropa dihentikan.

Menurut Hans, sebetulnya wajar jika masyarakat Uni Eropa menuntut masalah keberlanjutan dari sawit Indonesia, karena mereka sudah terlalu maju dan kaya. Konsumen negara-negara Eropa sudah tak lagi sekadar melihat masalah harga, murah atau mahal, tapi juga sampai ke asal produk, dari negara mana, diproduksi dengan cara seperti apa.

“Kita belum mampu sepenuhnya memenuhi tuntutan Uni Eropa untuk memastikan bahwa produk-produk sawit Indonesia benar-benar berkelanjutan, sampai ke tingkat pemasok, yang melibatkan rantai perdagangan yang panjang,” kata Hans.

Ketika diberitahu bahwa banyak pelaku sawit yang sudah memegang sertifikat RSPO dan ISPO, Hans tetap skeptis. “Kalau ada perusahaan sawit di Indonesia yang berkomitmen berkelanjutan, saya meragukan kemampuan mereka memastikan bahwa produknya berkelanjutan. Karena ada banyak kasus, di mana mereka kecolongan,” kata Hans.

Dia menyebut contoh masih adanya konflik antara pemasok dengan warga. Tak semua perusahaan besar mengecek komitmen berkelanjutan dari industri hilirnya. “Dan karena tak mampu memenuhi tuntutan Uni Eropa, pelaku sawit Indonesia jadi defensif, ujar Hans.

Sikap defensif itu sebenarnya merupakan respons industri sawit yang merasa mendapatkan perlakuan diskriminatif. Hanya sawit yang diwajibkan bersertifikat, sedangkan tanaman penghasil minyak lain tidak.

Menurut Hans, seandainya memang ada ketimpangan dan diskriminasi, itu bukan berarti sawit boleh tidak berkelanjutan. “Kita mengakui ada masalah di industri penghasil minyak nabati lain, tapi tidak berarti masalah di sawit dinetralkan hanya karena industri minyak nabati lain bermasalah,” kata Hans yang setuju bahwa minyak nabati lain juga harus bersertifikat.

“Sawit tetap harus memiliki tanggung jawab kepada lingkungan. Sawit memang paling produktif dan efisien dibanding tanaman penghasil minyak nabati lain, tapi juga paling banyak masalah.”

Hans menyebut salah satu masalah terbesar sawit adalah tingginya ekspansi lahan. Tapi ketika disodori informasi bahwa total luasan sawit di dunia hanya sekitar 1 persen dari total lahan perkebunan penghasil minyak lain, ia berkilah. “Saya belum cek, mesti lihat dulu.”

Hans menilai bahwa sentimen terhadap sawit bukan kampanye hitam terhadap sawit. “Semuanya dimulai dari kebakaran lahan, yang berawal dari ekspansi sawit. Karena lahan yang terbatas, sawit ditanam di gambut. Padahal sawit tak bisa tumbuh di lahan basah. Gambut kan pada dasarnya basah. Mau tak mau harus dikeringkan. Dibuatkan kanal supaya airnya keluar. Karena kering ditambah praktik yang belum berkelanjutan, akhirnya memicu kebakaran,” Hans menjelaskan.

Memang ada perkebunan kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut dan sudah berusia 100 tahun di kawasan Sumatra timur. Tapi menurut Hans, “Itu yang masih jadi perdebatan. Bagi Badan Restorasi Gambut, sawit tak mungkin ditanam di lahan gambut. Itu harga mati, karena kodratnya bukan hidup di gambut. Jadi harus dicari alternatif lain.”

Sampai sekarang Hans merasa belum bisa diyakinkan bahwa sawit bisa tumbuh di lahan gambut dan berkelanjutan. “Saya dengar dari peneliti, pemerintah, yang sudah satu suara bahwa sawit sebaiknya tidak ditanam di lahan gambut. Toh sawit juga bukan tanaman asli Indonesia, dari Afrika.”

Dengan masih begitu kuatnya sentiment negatif terhadap sawit, menurut Hans industri sawit harus mengikuti peraturan pemerintah, ikut ISPO. “Banyak perusahaan besar yang mengaku ikut ISPO, tapi tak mengecek supply chain. Padahal pemasok mereka ini belum mendukung keberlanjutan.”

Para pemain sawit, kata Hans, juga harus mematuhi prinsip keterlacakaan dan transparansi. Keterbukaan itu penting, karena banyak perusahaan sawit yang tertutup dan menyulitkan verifikasi publik.

“Dalam soal data HGU (hak guna usaha), misalnya, tak ada perusahaan sawit yang mau membukanya. Padahal menurut Undang-Undang tentang Informasi Publik, itu data publik. Masyarakat punya hak atas informasi itu.”

Ketertutupan itulah yang juga menjadi penyebab citra sawit kurang bagus. Sikap seperti itu, di mata Hans, tak mencerminkan kehendak baik. ”Hal yang paling mendasar, keterbukaan informasi, mereka belum bisa memenuhi. Begitu juga dalam masalah manajemen kebakaran lahan dan konflik dengan warga sekitar.”

Share This