The Palm Scribe

George S. Tahija, Mekanisasi akan memainkan peran luar biasa di industri kelapa sawit

George Santosa Tahija adalah perkecualian di pusaran industri kelapa sawit yang para pelakunya kerap dikaitkan dengan masalah lingkungan. Berbeda dari para pengusaha sawit pada umumnya yang citranya negatif, George justru dianggap sebagai sosok yang peduli lingkungan dan konservasi. Dia Ketua Yayasan The Nature Concervancy (TNC) Program Indonesia dan anggota TNC Asia Pacific Council. Ia juga salah satu pendiri dan Ketua Yayasan the Coral Triangle Center.

George Tahija
NATIONAL GEOGRAPHIC. Sewaktu remaja, George S. Tahija suka membaca majalah National Geographic. (Foto: Wicaksono/The Palm Scribe)

Kepeduliannya pada lingkungan terlihat dari kesukaannya beraktivitas di alam bebas. George mempunyai hobi fotografi, lari, dan mendaki gunung. Ia pernah menaklukkan 3 dari 7 puncak gunung tertinggi di dunia, yakni Kilimanjaro di Tanzania, Mount Elbrus di Rusia, dan Puncak Jaya di Papua. Dari pengalamannya inilah lahir dua buku, A Walk in The Clouds (2005) dan Land of Water, Vol. 1, From Bali to Komodo (2006). Mungkin ini dipengaruhi kebiasaannya sewaktu remaja, membaca majalah National Geographic.

Lahir di Jakarta pada 1958, George adalah bungsu dari dua bersaudara. Ayahnya, mediang Julius Tahija, adalah pejuang kemerdekaan dan pengusaha di era pemerintahan Soeharto. Semasa hidup, Julius anggota WWF.

Setelah meraih gelar insinyur Teknik Mesin di Universitas Trisakti, Jakarta, pada 1983, George melanjutkan studi ke Darden School at the University of Virginia dan mendapat gelar MBA pada 1986.

Kembali dari studi di Amerika, George mendapat tugas meneruskan bisnis keluarga yang tersebar di beberapa sektor, seperti sumber daya alam (termasuk makanan dan energi), medis, dan keuangan. George sekarang menjadi salah satu komisaris dan Ketua Komite Manajemen Risiko di PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJ), grup perusahaan yang bergerak di industri kelapa sawit.

Di usia 59 tahun, George masih terlihat sehat dan gagah. “Saya masih berolahraga lari, bulan depan ikut lomba di Bogor,” kata George kepada The Palm Scribe yang menemuinya di perpustakaan keluarga Tahija di kawasan Patra Kuningan, Jakarta, Senin (23/10/2017).

Berikut ini, cuplikan wawancara dengan George tentang perusahaannya, industri kelapa sawit, isu lingkungan, dan konservasi:

George Tahija
George S. Tahija, 59 tahun, Komisaris ANJ. (Foto: Wicaksono)

Bagaimana awal mula keluarga Tahija terjun ke bisnis kelapa sawit?

Kami pertama kali ikut di kebun kelapa sawit dengan berpatungan. Kami pemegang saham minoritas dalam suatu  kemitraan. Mitra kami adalah perusahaan Belgia, PT Sipef.

PT Sipef sudah bertahun-tahun memiliki kebun sawit di Sumatra. Pada akhir 1980-an, antara tahun 1988 atau 1989, Sipef mengembangkan kebun kelapa sawit di Bengkulu dan perlu mitra lokal. Sipef lalu menghubungi ayah saya untuk menjadi mitra lokal. Itulah pertama kali kami terjun di industri kelapa sawit.

Mengapa bersedia bekerja sama dengan Sipef dan akhirnya keluarga Tahija masuk ke bisnis kelapa sawit?

Pada tahun 1980-an sudah terlihat bahwa penduduk dunia semakin lama semakin banyak. Dan kebutuhan makanan melebihi supply. Salah satu kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi adalah minyak nabati.

Kami melihat bahwa secara global kebutuhan minyak seperti kelapa sawit akan terus tumbuh. Di lain pihak, kami melihat Indonesia mempunyai suatu  kemampuan dan daya saing untuk agronomi, terutama di kelapa sawit. Dari tanahnya yang cocok, subur, curah hujan tinggi 2.000-3.000 mm/tahun, jumlah penduduk yang membutuhkan pekerjaan, sumber daya manusianya mencukupi. Kalau dilihat dari semua kebutuhan itu, kelapa sawit cocok. Jadi alasannya itu. Kami melihat dari kebutuhan dalam negeri cocok, kebutuhan luar negeri juga tepat.

Apakah waktu itu sudah terbayang bisnis kelapa sawit akan berhadapan dengan berbagai isu lingkungan?

Sudah mulai terbayang karena salah satu mitra kami di perkebunan kelapa sawit Agro Muko (Bengkulu) adalah IFC (International Finance Corporation). Pada 1980-an itu, IFC sudah menyerukan bahwa areal sempadan sungai, 50 meter di sebelah kiri dan kanannya harus dipertahankan sebagai hutan.

Pada saat itu, orang-orang yang berkecimpung di kebun kelapa sawit menganggap ini suatu kebutuhan yang berlebihan dari IFC. Sekarang kita menganggap seharusnya memang begitu. Bahwa harus ada daerah hijau di sepanjang sungai.

Sejak itu kami berpikir bahwa ini baru permulaan. Tahun-tahun berikutnya pasti akan makin ketat kebutuhan untuk menjaga lingkungan.

Bagaimana keluarga Tahija waktu itu yakin akan mampu menjalankan bisnis di perkebunan kelapa sawit meski ada isu lingkungan?

Sebenarnya tidak terlalu sulit karena pada waktu itu ayah kami (Julius Tahija-red.) merupakan anggota WWF. Ayah kayaknya sudah menangkap gelagat bahwa isu lingkungan akan menjadi sesuatu yang penting. Dan perusahaan harus mampu mengikuti arah yang baru ini. Caranya kami harus meningkatkan produktivitas di dalam kebun.

Bagaimana meningkatkan produktivitas ketika lahan semakin terbatas?

Ada begitu banyak cara. Pada saat peremajaan kita harus mencari bibit unggul yang mempunyai yield lebih baik daripada yang lama.

Lalu menggunakan pupuk yang lebih baik dari sebelumnya. Kami mulai melihat alternatif dari pupuk organik, yakni pupuk kompos yang berasal dari limbah pabrik. Dengan pupuk kompos, kita mengurangi jumlah pupuk organik. Biaya penghematannya bisa 25-30%.

Kemudian mekanisasi. Di masa depan, mekanisasi akan memainkan peran yang luar biasa. Misalnya penggunaan mesin untuk memanen buah kelapa sawit.

Mengapa ANJ tertarik mengembangkan Papua, khususnya Papua Barat?

Kira-kira tujuh tahun yang lalu kami ingin mengembangkan lahan baru, di mana kami bisa memulai dari nol. Sudah tak ada lagi (lahan). Lahan terakhir yang kami kembangkan di Ketapang, Kalimantan Barat. Setelah itu, makin lama makin sulit mencari lahan. Lahan terbuka yang tersisa ada di Papua.

Kami menyadari bahwa lokasinya jauh, susah dikembangkan, mahal, dan akan membutuhkan waktu yang lama. Tapi karena perusahaan kami dalam mengambil keputusan selalu melihat jangka panjang, kami memberanikan diri mencoba membuka lahan di Papua.

Apa yang menarik dari lahan di Papua?

Kami bisa membuka lahan yang tidak dalam kotak-kotak kecil tapi bentangan yang luas sehingga kami dapat menanam sesuai dengan praktik agraria yang terbaik. Tanahnya cukup baik, curah hujan cukup.

Tapi tantangannya juga banyak. Karena masyarakatnya belum terbiasa dengan agraria, dan selama ini mendapatkan pengalaman yang kurang positif dari banyak investor, sehingga tingkat kecurigaan terhadap investor baru cukup tinggi.

Dengan tantangan yang begitu besar, apa yang dilakukan?

Pertama mesti sabar, tekun, harus ingat tuan rumahnya adalah masyarakat, bukan kami. Kami pendatang. Harus ada pemahaman dari kedua belah pihak. Kami harus bisa menangkap aspirasi masyarakat. Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan dengan pola pikir yang kita dapat dari tempat lain.

Industri agrikultur, khususnya, kelapa sawit, berada di antara dua kutub isu besar: lingkungan dan ekonomi. Bagaimana komprominya?

Saya kira kalau kita mengikuti guidelines dari RSPO, saya kira itu sudah cukup baik. Tentu saja ini berarti kita tak bisa seratus persen menanam seperti yang kita mau.

Bagaimana mewujudkan kompromi itu?

Komunikasi yang terus-menerus. Bukan hanya internal, tapi juga eksternal. Kedua, mesti ada transparansi karena pada umumnya konflik terjadi karena ada kecurigaan. Semua pihak, stake holder, harus transparan.

Apa yang membuat sebuah perusahaan sawit seperti ANJ mampu bertahan?

Sumber daya manusia harus betul-betul diperhatikan dengan baik. Mesti ada pengembangan sumber daya manusia yang terus-menerus. Dalam sekian puluh tahun kami berbisnis, perubahan cukup banyak. Agar bisa survive, kami harus bisa beradaptasi dengan perubahan. Kalau kita ingin lebih dari sekadar survive, kita mau berhasil dengan baik, kita harus mengantisipasi. Memikirkan perubahan yang akan terjadi dan mempersiapkan diri kita. Saya kira itu kunci yang sangat penting agar kita survive.

Bagaimana resep merangkul masyarakat di sekitar lahan perkebunan?

Resepnya sederhana, pelaksanaannya jauh lebih susah. Masyarakat harus merasa bahwa keberadaan perusahaan merupakan nilai tambah bagi mereka. Kalau mereka melihat kita sebagai suatu liability, bukan aset, susah buat kami maju ke depan. Kalau masyarakat melihat kita sebagai aset, karena keberadaan kita membuat nasib mereka lebih baik, justru mereka yang akan menjaga kita. (*)

Share This