Berpengalaman lebih dari tiga dasawarsa dalam bisnis perkebunan, 21 tahun diantaranya di Indonesia, Geetha Govindan K. Gopalakrishnan, Kepala Operasional Kelapa Sawit PT Austindo Nusantara Jaya, percaya bahwa hanya dengan inisiatif berkelanjutan perkebunan tanaman tropis, termasuk sawit, akan dapat mengatasi semakin ketatnya standar yang dipersyaratkan pasar dan juga dampak perubahan iklim.
“Keseluruhan model pendekatan bisnis telah berubah dan perilaku juga harus berubah dengan mempertimbangkan investasi dan inisiatif lingkungan. Jika ada bisnis yang tidak memperhatikan pelestarian lingkungan atau keberlanjutan lingkungan, mereka tidak akan bisa bertahan,” Geetha mengatakan kepada The Palm Scribe dalam sebuah wawancaranya belum lama ini.

Geetha yang sudah delapan tahun bergabung dengan ANJ ini dan juga menjadi Kepala Operasional anak perusahaan ANJ yang bergerak di sektor sawit, mengatakan bahwa ketika membicarakan bisnis di masa kini, tidak ada yang akan dapat bertahan tanpa mempertimbangkan lingkungan serta tanpa inisiatif yang bertanggung jawab.
Selain menunjuk kepada keharusan bagi semua bisnis untuk memastikan bahwa operasi mereka berkelanjutan dalam segala aspeknya, Geetha juga merujuk kepada perubahan iklim sebagai tantangan lainnya yang harus dihadapi dunia, termasuk sektor sawit.
“Kami berada dalam bisnis pertanian tropis dan perubahan iklim akan membawa pengaruh mendalam pada produktivitas ANJ dan produksi pertanian tanaman tropis seperti sawit,” ujar pemegang diploma dalam tata kelola sumber daya manusia dari University of Malaysia dan gelar Executive Master of Business Administration dari Euregio Management School di negeri Belanda.
Diantara permasalahan yang diakibatkan perubahan iklim, menurutnya adalah meningkatnya suhu global, kekeringan serius, tanah gambut yang mengering, curah hujan tinggi, naiknya permukaan laut dan banyak lagi.
“Ketika suhu global meningkat, anda akan melihat bahwa produktivitas pohon palem kami, produksi pertanian tropis kami, dan hasilnya, akan mengalami pengaruh buruk yang serius dan bila ini tidak dimitigasi dengan inisiatif yang mencukupi, akan membawa pengaruh yang dramatis pada volume produksi yang dihasilkan ANJ, dan pada akhirnya mempengaruhi pendapatan kami,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa merupakan keharusan bagi bisnis untuk memastikan keberlanjutan operasi mereka agar dapat mengurangi dampak dari perubahan iklim, tetapi ia juga menambahkan bahwa kebijakan keberlanjutan seharusnya merupakan “dokumen hidup” yang harus terus disesuaikan dengan tantangan yang dihadapi.
“Kebijakan keberlanjutan kami selalu berevolusi, kami merubahnya dari waktu ke waktu, Langkah yang mungkin sekarang ini mencukupi, mungkin tidak lagi akan menjadi kebijakan kedepannya.”
“Kebijakan sekarang ini ditetapkan untuk menghadapi beberapa tantangan masa kini, tetapi dengan berlalunya waktu, saya kira tantangan-tantangannya akan menjadi semakin ketat dan kita harus memastikan bahwa praktik budidaya kami jauh lebih hijau agar dapat menjamin kami dapat melewati masa-masa sulit perubahan iklim,” ujarnya.
Kebijakan keberlanjutan perusahaan, yang pertama kalinya dikeluarkan di tahun 2017 dan selalu diperbaharui, selaras dengan prinsip dan kriteria Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), praktek terbaik internasional serta juga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dari Persatuan Bangsa-Bangsa.
Geetha menerangkan bahwa ANJ telah banyak melancarkan inisiatif keberlanjutan, seperti pengurangan penggunaan bahan bakar fosil dalam transportasi, penggunaan biomassa dari limbah sawit untuk pembakaran di boiler, pengurangan pupuk kimia, penggunaan sistem fertigasi dan mengikutsertakan masyarakat setempat secara komprehensif dalam usaha usaha konservasi, pencegahan dan mitigasi kebakaran serta usaha pemberdayaan mereka.
Dalam mengurangi penggunaan pupuk kimiawi dan optimalisasi penggunaan pupuk, perusahan mengambil pendekatan bercabang banyak. Di tahun 2015, ANJ meluncurkan program pembuatan komposnya di dua konsesinya, memproses limbah seperti tandan buah kosongnya menjadi compost dan menggunakannya untuk menggantikan sebagian dari pupuk kimianya.
Pendekatan kedua adalah dengan mencegah penerapan berbagai pupuk inorganic yang berbeda dan menggantikannya dengan hanya satu pupuk majemuk saja. Perusahaan juga mengadakan uji coba fertigasi pada dua areal di konsesinya. Fertigasi adalah proses dimana pupuk dilarutkan, diencerkan dan didistribusikan bersama dengan air melalui sistem irigasi mikro.
“Jika anda memperhatikan statistic kami mengenai jumlah pupuk yang dulunya kita gunakan, kami telah dapat mengurangi secara dramatis volume yang digunakan per hektarnya selama setahun in,” kata Geetha dengan menambahkan bahwa perusahaan dapat mengurangi volume penggunaan pupuk non organiknya sebesar 10 sampai 20 persen.
Skema ini, menurutnya, tidak saja mengurangi tapak karbon perusahaan tetapi juga memungkinkan pemberian dosis pupuk yang tepat dan juga dapat menghasilkan pengurangan biaya keuangan yang cukup berarti. Perusahaan, imbuhnya, juga telah menggunakan jasa konsultan internasional untuk membantu menentukan mineral dan nutrisi yang dibutuhkan tanaman secara tepat.
Pada saat yang sama, irigasi mikro ini juga membantu membuat lahan cukup lembab sehingga tidak akan mudah terbakar di musim kering yang berkepanjangan.
Uji coba fertigasi ini sedang dilakukan di dua lahan seluas 22 hektar dan hasilnya diharapkan akan dapat diperoleh tahun ini sehingga perluasan fertigasi ini dimungkinkan pada tahun berikutnya, Geetha mengatakan. ‘Pada akhirnya, anda akan dapat melihat perkebunan yang menggunakan sebuah komputer untuk memberikan dosis (pupuk) kepada pohon sawit dan anda tidak akan membutuhkan orang untuk membagikan pupuk ini secara manual.”
Sebagai bagian dari praktek keberlanjutannya, perusahaan tiga tahun lalu memulai memastikan ketertelusuran bahan bakunya dengan memetakan semua pemasok buah sawitnya, baik yang berasal dari konsesi sendiri, dari petani plasma maupun dari pihak ketiga. Perusahaan sudah hampir menyelesaikan pemetaan hingga ke petani plasmanya.
“Kami dengan rajin telah memetakan keseluruhan sumber tandan buah segar kami dan kesemuanya ada dalam sistem kami, jadi kami dapat menelusuri dari mana buah datang,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa perusahaan tidak bertransaksi dengan petani individual tetapi dengan kelompok petani seperti kooperasi dan perusahaan selalu siap membantu petani untuk berorganisasi.
Juga sebagai bagian dari tujuan keberlanjutan perusahaan adalah kebijakan pembangunan bertanggung jawab dari lahan lahan barunya, dengan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat setempatnya, melalui proses yang konsultatif.
“Kami tidak ingin melihat mereka (masyarakat setempat) sebagai penonton semata, hanya melihat perusahaan besar atau perusahaan multinasional datang ke tanah mereka, mengembankannya tanpa partisipasi mereka,” katanya. Ia mencontohkan operasi perusahaan di Papua dimana banyak komunitas yang memiliki maupun mengklaim hak atas tanah setempat.
ANJ, menurutnya sepenuhnya menerapkan prinsip Free and Prior Informed Consent atau persetujuan tanpa paksaan, yang tercantum dalam pedoman RSPO dalam semua operasinya dan selalu diterapkan sebelum pengembangan lahan baru dapat dimulai.
“Kami menghargai hak hak tersebut. Kami memastikan bahwa mereka menjadi bagian dari proses pengembangan. Kami mengakui keberadaan mereka disana yang telah bertahun tahun dan kami menjadikan mereka bagian dari jaringan pemangku kepentingan yang ada agar dapat memastikan bahwa mereka mengetahui program pengembangan yang diambil perusahaan,” tegas Geetha.
Memang diakuinya tidak selalu dapat memperoleh persetujuan dari semua pihak tetapi perusahaan secara menerus melakukan pendakian terbaik untuk berkomunikasi dengan semua pemangku kepentingan. Bila masih ada pihak yang tidak puas, mereka dapat menggunakan mekanisme pengaduan perusahaan atau juga mengadukan permasalahan mereka kepada RSPO dimana ANJ telah menjadi anggotanya sejak 2007.
Ia mengatakan transparansi, dokumentasi serta keterlibatan pemerintah setempat sebagai kunci dalam pendekatan demikian.
Pelibatan komunitas setempat juga termasuk pemberian pengetahuan serta pelatihan maupun bantuan yang diperlukan agar mereka dapat mengorganisir diri mereka sendiri untuk membantu menghadapi atau memitigasi kebakaran yang sering terjadi di musim kering yang berkepanjangan. Komunitas setempat juga dilibatkan dalam usaha konservasi perusahaan.
“Saya pikir konservasi merupakan bagian integral dari kegiatan grup ANJ dan menduduki posisi penting dalam struktur perusahaan,” ujar Geetha. Ia menunjuk kepada adanya lahan seluas
2.330 hektar di luar HGU perusahaan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat dimana sejak empat atau lima tahun yang lalu perusahaan memperkenalkan program serta teknik-teknik konsercasi untuk memastikan bahwa sebuah habitat yang baik bagi orangutan dapat dilestarikan, dijaga serta diperuntukkan bagi orangutan. Diperkirakan ada sekitar 200 orangutan yang tinggal disana.
Perusahaan juga telah memetakan daerah daerah dengan nilai konservasi tinggi di konsesinya dan secara cermat memonitor keanekaragaman hayati di sana, tidak saja dengan mengikutsertakan semua pegawai perusahaan tetapi juga pekerja para kontraktornya serta masyarakat setempat. Perusahaan juga menerapkan SOP yang ketat bagi kegiatan perburuan untuk memastikan bahwa spesies fauna terlindungi dan dapat dilestarikan, serta juga memberikan pendidikan kepada masyarakat setempat, terutama generasi mudanya, mengenai konservasi.
Ia mengatakan bahwa bagi ANJ, upaya konservasi sangat penting dan ini tercermin dalam belanja keuangan perusahaan di keseluruhan grup ini.
Geetha menutup dengan mengatakan bahwa ia percaya ANJ kini terlihat jelas sebagai salah satu pemain di industri ini dan menambahkan bahwa “orang kini melihat kami sebagai pemain yang bertanggung jawab, jauh berbeda daripada dulu ketika hanya terlihat sebagai produsen minyak sawit saja.”