Perdebatan terkait deforestasi di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, dan beberapa pakar menunjuk kepada keragaman data spasial maupun definisi sebagai salah satu penyebab utamanya.
Manajer Senior Iklim dan Hutan dari World Resources Institute (WRI) Indonesia Arif Wijaya, mengatakan data cakupan hutan dan deforestasi, serta metode klasifikasi citra satelit yang berbeda digunakan oleh masing-masing pihak.

Penglihatan visual citra alam saat ini dapat menggunakan satelit SPOT, LANDSAT, ASTER, IKONOS, maupun QUICKBIRD.
Wijaya juga menunjuk masih adanya permasalahan definisi hutan di Indonesia. Pengertian menurut perundang undang maupun darei Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dinilainya sudah tidak murni lagi.
“Kalau menurut WRI, hutan adalah areal alam yang belum terkonversi; kalau hutan hilang lalu digantikan HTI kan pasti terjadi proses deforestasi dulu,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik di kantor WRI.
Kerancuan definisi tersebut, menurut Wijaya, menjadi kendala dalam memetakan tingkat deforestasi di Indonesia. Ia berharap bahwa kedepannya, kemajuan teknologi dapat membuat keterbukaan data dan kemanpuan untuk melihat data tersebut secara real time akan dapat memudahkan pemetaan deforestasi.
Perwakilan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, juga menegaskan pentingnya ketebukaan data spasial atau Geographic Information System (GIS) bagi masyarakat umum.
“Ya itu penting, soalnya publik dapat membantu melakukan monitoring akan deforestasi, illegal logging, dan lainnya,” ujar Rompas.
Greenpeace Indonesia kini sedang mengusahakan agar hal tersebut dapat terwujud, ujar Rompas namun ia juga menambahkan bahwa proses tersebut terhambat oleh berbagai kebijakan.
“Kita sedang mengupayakan, namun secara prosedural tidak ketemu dengan pihak pemerintah,” ujarnya.
“Misalnya UU Geospasial dari KLHK (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang masih menyulitkan, karena takut adanya resiko persaingan usaha yang tidak adil,” ujar Rompas dengan menambahkan bahwa faktor penyalahgunaan data dan pembatasan akses publik masih menjadi pertimbangan besar yang perlu dikaji lebih lanjut.
Rompas berpendapat seharusnya proses yang dilakukan Greenpeace didukung oleh pemerintah. “Pemerintah dasarnya sebagai penyelenggara negara harus menyediakan data tersebut untuk masyarakat luas, peran sipil disini memantau dan memperkuat pemerintah sendiri, jadi bukan untuk saling menyalahkan,” tukasnya.
Penggunaan teknologi data spasial ini juga dapat dimanfaatkan oleh para wartawan, Untung Widyanto, wartawan senior Tempo mengatakan.
“Wartawan ‘menghidupkan’ data tersebut dan mencari penyebab faktualnya agar publik dapat membaca data tersebut seperti membaca cerita,” ujar
Widyanto, yang pernah menjadi Dewan Pengawas dari Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ).
Widyanto juga menjelaskan ironi isu lingkungan di Indonesia, yaitu minimnya perhatian generasi muda terhadap isu ini. “Betul, di kita isu lingkungan masih minor, berapa sih media yang mempunyai kolom khusus lingkungan? Sedikit kan? Kelihatan dari situ,” ujarnya.

Saat ini WRI Indonesia mengembangkan teknologi GIS yang dapat diakses oleh siapapun melalui halaman internet Global Forest Watch, sebuah platform interaktif untuk memantau dan mendapatkan peringatan mengenai apa yang terjadi di hutan secara langsung yang datanya merupakan hasil kerjasama WRI dengan Universitas Maryland dan mitra lainnya.
Melalui platform ini diharapkan meningkatnya partisipasi aktif, kepedulian dan pengetahuan masyarakat mengenai lingkungannya, terutama dikalangan generasi muda Indonesia.