The Palm Scribe

Ermanto Fahamsyah, Ahli Hukum yang Cinta Perkebunan Kelapa Sawit

Ermanto Fahamsyah

Bagi Ermanto Fahamsyah, Doktor Hukum jebolan Universitas Indonesia, salah satu masalah pelik yang sedang ditekuninya adalah bagaimana pekebun kelapa sawit dapat menjadi bagian tak terpisahkan dari usaha memastikan bahwa industri kelapa sawit Indonesia dapat sepenuhnya berkelanjutan.

Walaupun Ia meyakini bahwa pekebun kelapa sawit memang seharusnya mengusahakan sertifikasi bagi kebun mereka, masih banyak masalah yang menurutnya belum sepenuhnya mendukung usaha ini.

“Kedepan kalau ketertelusuran bahan baku menjadi kewajiban, maka kebun sawit rakyat harus mendapatkan sertifikasi ISPO,” ujar Fahamsyah yang kini juga aktif sebagai tim inti penilai dan penguatan standar keberlanjutan kelapa sawit Indonesia, Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Menurut Peraturan Menteri Pertanian tahun 2011 dan 2015, perusahaan yang diwajibkan memiliki sertifikasi ISPO adalah yang melakukan budidaya, mengelola Pabrik Kelapa Sawit (PKS) atau pengelola budidaya terintegrasi dengan PKS. Sementara pengelolaan energi terbarukan masih sukarela sifatnya dan belum diwajibkan. 

Sedangkan bagi pekebun plasma maupun swadaya, sertifikasi ISPO ini belum diharuskan dan masih bersifat sukarela.

“Masih banyak masalah disana, tetapi ini bukan alasan untuk kita tidak mewajibkan pekebun dengan catatan, negara harus hadir,” ujar pria kelahiran tahun 1979 ini.

Ia menambahkan bahwa persyaratan keberlanjutan bagi pekebun yang kini sudah ada dan sebenarnya tidak terlalu berat, sudah menjadi masalah. Salah satu hambatan dalam sertifikasi pekebun adalah dalam hal legalitas lahan mereka.

“Jangankan bicara pekebun swadaya, pekebun plasma saja masih banyak yang mengalami masalah legalitas,” ujarnya, dengan menambahkan bahwa meskipun para petani dalam program plasma biasanya memperoleh surat tanah yang sah, seringkali lahan itu kemudian berpindah tangan tanpa proses transaksi yang seharusnya.

Dalam hal ini negara seharusnya dapat membantu dengan mengeluarkan dokumen tanah bagi lahan yang tidak bermasalah, maupun dengan cara percepatan atau penyederhanaan segala prosesnya.

Prinsip dan kriteria (Principal and Criteria) ISPO memang mensyaratkan sertifikat kepemilikan atau penguasaan lahan bagi pekebun.

“Tetapi bagi saya, kalau melihat kondisi seperti ini, P&C-nya yang harus diubah,” ujarnya, dengan menambahkan bahwa melihat kondisi yang ada sekarang, mungkin cukup bagi petani memiliki Surat Keterangan Tanah saja dan nanti ketika tiba waktunya sertifikasi ulang setelah lima tahun, dokumen serta persyaratannya ditingkatkan.

Fahamsyah, yang juga dosen hukum tetap di almamaternya, Universitas Jember, mengatakan bahwa negara harus hadir dalam proses sertifikasi keberlanjutan bagi pekebun.

“Nah negara harus hadir disini; pertama dalam rangka pembinaan, atau prakondisi  bagi pekebun agar mereka layak mendapatkan kriteria ISPO. Kedua soal pembiayaan untuk sertifikasi pekebun, serta yang ketiga mungkin juga dibutuhkan insentif,” jelasnya.

“Bila perlu penerbitan sertifikat itu harus gratis atau model subsidi,” ujarnya, dengan menambahkan bahwa paling tidak kehadiran negara itu minimal “mengawal pembiayaan yang resmi,” karena biaya akhir yang dikeluarkan petani biasanya jauh diatas biaya yang sebenarnya.

Ia mengatakan bahwa kini ada wacana untuk segera mewajibkan sertifikasi ISPO bagi pekebun namun  banyak pihak, termasuk Ia sendiri, meragukan kesiapan pekebun dan karenanya masih dibutuhkan masa jeda sebelum kewajiban ini bisa diterapkan.

Sarjana hukum yang sosoknya dekat dengan permasalahan sawit ini mengakui bahwa bila berbicara mengenai berapa lama dibutuhkan untuk prakondisi pekebun, memang tidak ada justifikasi yang mutlak.

Namun, ia mengatakan bahwa asumsi kisaran waktu lima tahun dari sekarang dapat dipertanggung jawabkan dengan mempertimbangkan moratorium pengeluaran izin konsesi perkebunan kelapa sawit.

“Kan ada inpres moratorium kemarin itu, mengenai perbaikan tata kelola, asumsinya sekitar tiga tahun. Berarti kalau pemerintah memang benar benar konsekuen dan konsisten… asumsinya tata kelola, khususnya bagi pekebun tiga tahun kedepan ini akan sudah clear, nah, dua tahun lagi itu penyiapan pekebun dalam rangka ISPO” Fahamsyah menerangkan.

Kesulitan lainnya yang dihadapi dalam memastikan keberlanjutan proses budidaya pekebun kelapa sawit adalah perlunya mereka membentuk organisasi pekebun. Sistim sertifikasi keberlanjutan yang ada semuanya mempersyaratkan pemberian sertifikasi kepada organisasi petani dan bukan kepada individu.

“Saya pribadi juga setuju, pembentukan organisasi pekebun itu pertama dalam rangka meningkatkan bargaining position pekebun,” tambahnya.

Kedua, ia mengatakan bahwa dengan berkelompok, penyampaian berbagai bantuan teknis dan fasilitas lainnya juga akan lebih mudah, sehingga memudahkan ketika proses audit.

Namun di lapangan, selain berbagai kendala seperti tersebarnya para pekebun dan kurangnya informasi yang sampai kepada mereka, juga ada petani yang tidak berminat berorganisasi dikarenakan trauma dari pengalaman berorganisasi di masa lalu.

Fahamsyah juga mengatakan bahwa bila sertifikasi ISPO ini kemudian dijadikan kewajiban bagi pekebun, maka ia akan mengusulkan bahwa biayanya ditanggung oleh pemerintah, atau paling tidak mendapatkan subsidi.

“Nanti kalau memang harus wajib, kita akan arahkan agar pembiayaan dari pemerintah itu menggunakan dana dari BPDP-KS,” ujarnya, mengacu kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang menghimpun pungutan dari ekspor minyak kelapa sawit dan produk turunannya.

“Sebenarnya ISPO pekebun ini kalau kita berbicara kepentingan, ada di pemerintah dan perusahaan,” ungkapnya. Bila pekebun tidak membudidayakan kelapa sawit secara berkelanjutan, maka pemerintah dan perusahaan akan susah.

Karenanya pihak-pihak inilah yang seharusnya aktif membantu pekebun mendapatkan sertifikasi bagi kebun mereka.

Share This