Meskipun konsumsi domestik minyak kelapa sawit dapat ditingkatkan, namun bagi Indonesia ekspor tetap menjadi penyerap utama komoditi unggulan tersebut. Karenanya, pasar tujuan ekspor baru harus dikembangkan mengingat semakin banyaknya tantangan yang dihadapi di pasaran ekspor tradisional, demikian pendapat seorang eksekutif sebuah perusahaan sawit kepada The Palm Scribe.
Bernard Riedo, Direktur Keberlanjutan dan Hubungan Pemangku Kepentingan dari Asian Agri mengatakan bahwa selama ini hampir 70 persen dari produksi sawit nasional diekspor, sementara konsumsi dalam negeri hanya sekitar 30 persen. Konsumsi dalam negeri yang meliputi sektor pangan mencapai sekitar enam sampai tujuh juta ton, sementara untuk sektor energi melalui program B20, yaitu kewajiban menggunakan diesel dengan campuran 20 persen biofuel yang dibuat dari minyak kelapa sawit.
“Nanti, kalau program B20 sudah berjalan satu tahun penuh dan nanti kalau B30 bisa dijalankan, akan terjadi penyerapan yang lebih banyak di dalam negeri, mungkin bisa mencapai 40 persen. Namun tetap pasar utama itu adalah ekspor sehingga tetap harus dicari pasar baru yang bisa menyerap kebutuhan tersebut,” demikian ujar Riedo.
Tahun 2018 program ini menyerap sekitar 4.4 juta ton minyak mentah kelapa sawit (CPO)
“Nah, diharapkan di tahun 2019 ini dengan asumsi penggunaan untuk pangan tetap karena jumlah penduduk tidak akan bergeser terlalu jauh. Kebijakan B20 satu tahun dengan aloksi yang sudah dipastikan kemarin 6.1 juta ton, jika terserap selama satu tahun otomatis kita sudah bisa mencapai 13 juta ton,” penjelasan Riedo mengenai perkiraan konsumsi CPO domestik tahun ini, sambil menambahkan bahwa bila pemerintah ingin memajukan dimulainya penggunaan B30 dari tanggal yang sebelumnya disepakati yaitu 1 Januari 2020, maka penyerapan CPO domestik dapat ditingkatkan lebih baik.
Konsumsi minyak kelapa sawit domestik untuk pangan dianggap masih sulit dikembangkan secara signifikan karena tidak adanya pergeseran berarti dalam jumlah penduduk di Indonesia.
“Untuk sektor pangan seperti minyak goreng dan sebagainya, selalu sejalan dengan Pendapatan Domestik Bruto (GDP) yang seiring dengan jumlah penduduk, jadi volume rata-rata selalu akan berkisar sekitar enam sampai tujuh juta ton. Itu nggak akan kemana-mana karena jumlah penduduknya tidak akan bertambah signifikan,” ujar Riedo.
Fadhil Hasan, Direktur Urusan Internal Perusahaan (Corporate Affairs) Asian Agri, mengatakan bahwa di tahun ini ada beberapa faktor yang memungkinkan adanya kenaikan ekspor kelapa sawit Indonesia.
“Misalnya Cina. Kalau tidak ada kesepakatan dengan Amerika, maka kemungkinan dia akan menerapkan tarif impor untuk kedelai yang lebih tinggi, padahal dia perlu kedelai. Sekarang pembelian dialihkan ke Brazil dan Argentina, tapi itu belum mencukupi sehingga dia akan kompensasi dengan menambah impor sawitnya. India sudah turun tarifnya, untuk CPO 40 persen dan untuk produk turunannya 44 persen kalau tidak salah. Ini juga akan menambah dorongan ekspor,” ujar Hasan.
Kebiijakan pemerintah untuk sementara ini tidak memberlakukan pungutan ekspor bagi minyak sawit dan produk turunannya, sehingga dapat mendorong ekspor.
Hasan mengatakan bahwa dengan diperkirakan menurunnya atau paling tidak stagnannya produksi minyak kelapa sawit tahun ini, harga diperkirakan akan dapat meningkat, paling tidak hingga panen raya di bulan Juli.
Budidaya kelapa sawit, menurutnya dikenal biasanya mengalami siklus tiga tahunan, dan setelah tiga tahun terakhir ini menunjukkan kenaikan produksi. Pada tahun 2019 ini diperikirakan produksi sawit akan menurun.
“Kalau kita lihat diawal tahun ini trendnya cenderung menguat,” kata Hasan.
Asian Agri sendiri menurutnya menghasilkan sekitar 1.1 juta ton CPO tahun lalu, atau setara kenaikan sebesar 10 persen dari produksi tahun sebelumnya, sambil menambahkan bahwa kenaikan produksi tersebut diatas rata-rata industri. Menurut Riedo kenaikan produksi tersebut akibat perbaikan produktivitas, termasuk pada petani mitra, plasma maupun swadaya, dan bukan karena produksi baru.