Tingginya persaingan dan banyaknya restriksi terhadap kelapa sawit di pasar ekspor, membuat pemerintah Indonesia bertekad memperbaiki kredibilitas standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) agar dapat diterima secara luas. Namun upaya perbaikain standar ini berjalan lambat.
Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengatakan bahwa 70 persen dari produksi kelapa sawit nasional untuk ekspor, sehingga Indonesia sangat tergantung pada pasar luar negeri.
“Nasib kita bergantung kepada ekspor. Mau tak mau, kita tidak dapat mengabaikan pasar ekspor tersebut,” kata Supriyono saat menutup forum Indonesian Palm Oil Stakeholders (IPOS) yang kedua di Medan (28/09/2017).
Pemerintah meluncurkan standar ISPO pada 2009. ISPO merupakan standar nasional yang pertama bagi kelapa sawit. Standar ini ditujukan untuk menjamin bahwa semua pengusaha kelapa sawit, baik produsen maupun eksportir, mematuhi standar perkebunan yang tinggi.
Namun, baik keanggotaan maupun kepatuhan terhadap standar ISPO ini masih rendah. Ini membuat kurangnya kredibilitas ISPO dan berujung pada rendahnya tingkat penerimaan sawit Indonesia di pasar dunia.
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) Soelthon Gussetya Nanggara, mengatakan bahwa pemerintah masih menyiapkan sebuah rancangan peraturan presiden mengenai penguatan ISPO yang sebenarnya dijadwalkan selesai pada Januari 2017.
Lebih dari sembilan bulan kemudian, rancangan peraturan presiden ini belum tuntas dan Soelthon mengatakan rancangan itu harus melalui sebuah konsultasi publik di tingkat nasional yang diperkirakan akan diadakan bulan ini.
Ia berharap bahwa transformasi ke arah keberlanjutan kelapa sawit ini harus didasari atas visi bersama untuk menghentikan deforestasi dan degradasi lahan, konversi lahan, mendorong perlindungan terhadap hutan dan ekosistem lahan gambut, juga memberikan perlindungan bagi hak-hak orang yang terdampak oleh adanya perkebunan kelapa sawit.
“Kalau hal-hal ini tidak dimasukkan, sertifikasi ISPO ini hanya akan menjadi formalitas belaka,” ujar Soelthon.
“Kredibilitas dan akuntabilitas yang rendah dalam pelaksanaan sertifikasi ISPO sekarang ini, ditambah dengan penegakkan hukum yang lemah terhadap berbagai pelanggaran yang merusak lingkungan dan menyebabkan konflik dalam masyarakat, berakibat pada rendahnya tingkat penerimaan pasar atas ISPO,” tambahnya.
Hingga akhir Agustus 2017, total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia sekitar 11,9 juta hektare, tetapi hanya 1,9 juta hektare saja yang memenuhi standar ISPO. Luasan ini mencakup 8,2 jutan ton minyak kelapa sawit, menurut Direktur Jenderal Perkebuan Kementerian Pertanian, Bambang MM ketika membuka ISPO Forum di Medan, pekan lalu.
Bambang mengatakan bahwa diperkirakan ada sekitar 1.600 perusahaan kelapa sawit di negeri ini dan 535 di antaranya telah menyerahkan laporan audit untuk sertifikasi. Hanya 304 perusahaan, 1 perkumpulan petani plasma, dan 1 koperasi petani swadaya yang sudah tersertifikasi. ISPO diharuskan bagi perusahaan, tetapi bersifat sukarela bagi petani kecil.
Di bulan Juli 2016, kementerian koordinator untuk bidang ekonomi membentuk tim penguatan sistem sertifikasi ISPO untuk memperbaiki kredibilitas sistem ini dengan melakukan perbaikan mendasar dalam sistem sertifikasi dan standar keberlanjutan industri kelapa sawit Indonesia.
Pada Maret 2017, FWI bergabung dengan 30 kelompok masyarakat sipil lain, termasuk World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Greepeace, dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), meminta agar ISPO dirancang ulang sehingga mampu bukan hanya menjawab tantangan mitigasi perubahan iklim dan memperbaiki tata kelola sumber daya alam, tetapi juga “meningkatkan penerimaan pasar atas kelapa sawit sebagai komoditi strategis,” serta menjamin perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Sertifkasi ISPO yang baru ini juga harus diikuti oleh penegakan hukum yang efektif dan kerangka kebijakan yang komprehensif untuk menjamin tercapainya tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia yang lebih baik.
Aziz Hidayat, Kepala Sekretariat Komisi ISPO, tidak segera dapat dihubungi, namun ia pernah dikutip pers mengatakan bahwa sertifikasi ISPO yang baru akan “lebih kaku dan kriterianya telah ditelaah kembali.”
Sertifikasi ISPO sering dikritik karena membutuhkan proses yang lama untuk mendapatkannya, sekitar dua tahunan menurut para pelaku di industri sawit.
Persyaratan Hak Guna Usaha (HGU) juga dianggap sebagai masalah standar ISPO. Banyak perusahaan memiliki HGU yang tidak akurat, atau bahkan tidak memilikinya. Rencana tata ruang yang juga dipersyaratkan sering tidak terdapat di daerah.
Konsesi yang saling bersinggungan dengan daerah konservasi–isu yang sering muncul karena tidak adanya pemetaan yang akurat dan standar–akan berujung pada tidak dikeluarkannya HGU.
Ponten Naibaho, konsultan ahli dalam bidang kelapa sawit dan juga penulis beberapa buku mengenai kelapa sawit, mengatakan bahwa salah satu kelemahan ISPO adalah kualitas personel di lapangan.
“Di banyak kasus, personel ini meluluskan persyaratan di lapangan, tetapi nyatanya berbulan-bulan kemudian, seringkali enam bulan kemudian, ternyata didapati bahwa pekerjaan yang dipersyaratkan tidak atau belum ada,” ujar Ponten.
Bahkan setelah perusahaan menggenggam sertifikasi ISPO, belum tentu produk mereka dapat diserap pasar karena masih banyak kriteria tambahan yang dipersyaratkan beberapa pasar.
ISPO juga tidak memiliki klausul mengenai deforestasi dan selama lahan tidak berada di kawasan hutan, tidak akan ada masalah. Pasar, sebaliknya, semakin mensyaratkan tidak adanya deforestasi dalam proses produksi.
Mona Surya, Wakil Ketua Gapki, tidak begitu antusias dengan proses penguatan sertifikasi ISPO ini.
“Dirancang ulang lagi? Memenuhi (persyaratan) ISPO yang sekarang saja sudah sulit. Dibutuhkan banyak waktu dan uang,” kata Mona.
Berbicara di forum IPOS di Medan baru-baru ini, Mona mengatakan bahwa ia juga seorang pelaku, karena memilik perkebunan kelapa sawit dan juga pabrik pengolah sawit.
Ia mencontohkan persyaratan membangun gorong-gorong di kedua sisi jalan di perkebunan. “Ini saja membutuhkan dana, saya perkirakan sekitar Rp 1,5 miliar,” kata Mona,
Mona menambahkan bahwa dengan banyaknya pengeluaran lain, menyediakan dana sebesar itu untuk memperoleh sertifikat ISPO tidaklah mudah.
Ia mengatakan bahwa perusahaannya pun sampai sekarang belum memperoleh sertifikasi ISPO dan masih berusaha mendapatkannya.
“Memenuhi kriteria ISPO yang ada saja sudah sulit, dan sudah mau di review lagi? Mau dibuat lebih ketat lagi?“ tanyanya.
Ponten, yang juga mengaudit kedua jalur sertifikasi RSPO dan ISPO bagi perusahaan surveyor Sucofindo, mengatakan bahwa memang sebenarnya persyaratan ISPO lebih sulit dipenuhi daripada yang ditetapkan RSPO.
“Dengan RSPO, enam bulan sebelum audit, semuanya sudah harus tersedia,” ujar Ponten Naibaho. Sebaliknya, dalam ISPO, persyaratan dapat dilaksanakan bertahap dan tidak secara bersama sama, sehingga proses sertifikasinya pun menjadi lama.
ISPO juga mensyaratkan ISO9000 and ISO14000, dua standar nasional mengenai jaminan mutu produk dan sistem tata kelola lingkungan.
Joko Supriyono mengatakan bahwa bagaimanapun penerimaan pasar ekspor terhadap ISPO, semua pemangku kepentingan dalam industri kelapa sawit harus bersatu dan mendukung skema sertifikasi ini.
“Kita semua harus mendukung ISPO karena ISPO ini merupakan indikator keberlanjutan industri kelapa sawit Indonesia,” kata Joko.