Lebih dari 20 tahun di bidang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, termasuk sebaga direktur iklim dan energi bagi World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, menjadikan Fitrian paham betul akan kondisi lingkungan di Indonesia, termasuk terkait dengan komoditi kelapa sawit.
“Komoditas penting bagi Indonesia dan dunia, namun saat ini dan di beberapa tahun terakhir selalu mendapatkan sorotan tajam karena tuduhan isu deforestasi, kebakaran hutan dan lahan, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati,” katanya menimpali pertanyaan mengenai keadaan industri kelapa sawit Indonesia.

Meskipun demikian, Fitrian percaya komoditi kelapa sawit dapat dikembangkan tanpa merusak lingkungan. “sawit bisa dikembangkan menjadi lebih produktif tanpa harus mengorbankan hutan dan sekaligus bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya kepada The Palm Scribe.
Saat ini, keseharian Fitrian disibukkan dengan perannya sebagai Ketua Harian Inisiatif Dagang Hijau; suatu lembaga yang bergerak untuk transformasi pasar dan komoditas perkebunan, pertanian, dan kehutanan dengan berdasarkan konsep ramah lingkungan dan memaksimalkan manfaatnya kepada masyarakat luas.
Oleh karenanya, Fitrian juga percaya bahwa konsep green economy dapat dipasangkan dengan perkembangan komoditi kelapa sawit selama direncanakan dengan benar. “Pertumbuhan ekonomi hijau bisa dicapai dengan perencanaan, program dan investasi yang menitikberatkan kepada peningkatan produktivitas komoditas yang ada dan sekaligus melihat nilai tambah,” ujarnya.
Fitrian juga menjelaskan perencanaan yang matang akan tidak ada dampaknya apabila tidak diawasi dengan benar. “sekaligus secara tegas memberikan panduan dan dukungan bagi perlindungan hutan dan lingkungan, kepastian hukum dan insentif bagi pelaku pasar dan masyarakat yang melakukan perbaikan,” lanjutnya.
Magister lulusan Australian National University jurusan Lingkungan dan Pembangunan tersebut juga menilai bahwa pada saat ini permasalahan utama dalam komoditi kelapa sawit, lebih berada pada sektor petani mandiri.
Petani kecil, termasuk petani mandiri, kini mengelola lebih dari 40 persen luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan peran mereka dipastikan akan semakin kuat lagi dimasa mendatang.
Pendampingan adalah kunci untuk petani sawit mandiri di Indonesia, sebab menurutnya bantuan pendanaan saja tidak cukup; pasalnya banyak permasalahan krusial yang dihadapi petani yang tidak dapat diselesaikan secara cepat, misalnya legalitas lahan dan juga peremajaan kebun.
“legalitas lahan bagi petani, penguatan organisasi petani, bantuan dan dukungan bagi peremajaan, penyuluhan dan bantuan untuk budidaya pertanian yang baik, akses ke pasar dan lembaga keuangan,” tukas Fitrian menjelaskan permasalahan krusial petani kelapa sawit Indonesia saat ini.
Fitrian juga menambahkan pengembangan dan pemeliharaan yang ada tidak boleh melupakan aspek lingkungan sekitar. “Dalam ranah lingkungan, fokus harus diberikan untuk meningkatkan pemahaman terhadap perlindungan ekosistem sekitar, penanganan dan pencegahan kebakaran,” ujarnya kepada The Palm Scribe melalui e-mail.
Terkait isu petani kelapa sawit mandiri, pemerintah pada saat ini tengah mengkaji Rancangan Undang Undang (RUU) Kelapa Sawit. Ditengah perdebatan yang saat ini tumpeng tindih dengan Undang Undang (UU) nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan, Fitrian menekankan yang terpenting adalah bagaimana para petani dimudahkan mendapatkan akses ke pasar.
“Kebijakan yang ada, dalam bentuk apapun, haruslah ditujukan untuk mendukung penguatan kapasitas dan produktivitas pekebun, termasuk akses ke pasar dan pembiayaan, sekaligus mendukung budidaya yang menjamin kelestarian lingkungan,” ujarnya.
Terlepas dari permasalahan yang ada, pria yang saat ini aktif menjadi anggota dewan PISAgro (Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture), SCOPI (Sustainable Coffee Platform of Indonesia) dan LTKL (Lingkar Temu Kabupaten Lestari) ini, menilai bahwa industri kelapa sawit Indonesia saat ini mempunyai masa depan yang menjanjikan.
“Indonesia punya peran signifikan dan bisa jadi pemimpin dalam sektor sawit dengan menunjukkan bahwa sawit yang berkelanjutan bukan hanya teori tapi bisa diterapkan dengan indikator nyata dan kredibel di lapangan.”