Lembaga Swadaya Masyarakat Madani Berkelanjutan mengatakan bahwa bila kelapa sawit ingin dijadikan pilar utama perekonomian Indonesia, seperti digadang-gadangkan pemerintah selama ini, diperlukan koreksi mendalam dalam tata kelola sektor ini, tidak saja untuk melindungi lingkungan tetapi juga untuk menyebarkan keuntungannya dengan lebih berimbang.

“Harus ada koreksi mendalam jika kelapa sawit bisa menguntungkan dalam konteks sebenar benarnya,” ujar Mohammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan dalam sebuah diskusi mengenai sektor kelapa sawit disini Rabu (11/3).
Ia mengatakan bahwa tidak mungkin menggantikan peran sawit dalam perekonomian dengan komoditas yang lain karena selain membutuhkan waktu juga akan membutuhkan biaya. Apa yang dapat dilakukan adalah mengelola sektor kelapa sawit dengan lebih baik sehingga keuntungannya dapat terdistribusi dengan baik.
“Kalau misalnya kelapa sawit tetap dipercayai sebagai sumber ekonomi masa depan, yang akan menggantikan migas dan seterusnya, maka harus ada koreksi mendalam atas tata kelolanya,” ujarnya.
Teguh mengatakan bahwa riset yang dilakukan Madani selama kurang lebih satu tahun, yang hasilnya juga dibeberkan pada kesempatan yang sama, menunjukkan bahwa masih banyak perbaikan yang perlu dilakukan dalam tata kelola sawit di Indonesia.
“Bisa jadi kelapa sawit selama ini menguntungkan, tetapi hanya bagi unit bisnis, pengusaha dan tuan tanah,” ujar Teguh dengan menambahkan bahwa hal ini hanyalah salah satu aspek saja yang perlu dikoreksi dalam pengelolaan kelapa sawit.
Membeberkan temuan temuan riset yang dilakukan Madani Berkelanjutan, Program Officer Madani untuk Kelapa Sawit, Trias Fetra Ramadhan, mengatakan bahwa dari ke sepuluh provinsi dengan laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit tertinggi, hanya tiga yang masyarakat desanya memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi –Riau, Kalimantan Timur dan Jambi.
“Tetapi tidak sepenuhnya tingginya kesejahteraan masyarakat desa di tiga provinsi tersebut bersumber dari sawit,” ujar Trias, seraya menambahkan bahwa di Riau dan Kalimantan Timur komoditas penyumbang pendapatan terbesarnya adalah karet dan kelapa sementara di Jambi, karet dan kayu manis.
Ia mengatakan bahwa persentase desa yang memiliki kelapa sawit di Riau adalah 42 persen dari total 1.875 desa disana, sementara di Kalimantan Timur angkanya 27.2 persen dari 841 desa, dan di Jambi, 22.8 persen dari 1.399 desa.
Ia juga mengatakan bahwa data resmi menunjukkan bahwa ke lima provinsi dengan laju ekspansi perkebunan kelapa sawit tertinggi, hanya dua – Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara – yang menunjukkan pertumbuhan perekonomian daerah yang sejalan dengan laju tersebut.
“Upaya mensejahterakan masyarakat di suatu daerah dapat dilakukan dengan fokus menyeimbangkan antara jenis komoditas sehingga antara sawit dan komoditas perkebunan lainnya dapat menjadi kontributor dan substitusi sumber perekonomian daerah menyikapi kondisi pasar yang bergejolak,” ujar Trias.
Teguh mengatakan bahwa beberapa temuan dari riset Madani menunjukkan bahwa di Indonesia, laju ekspansi perkebunan kelapa sawit tidak berkorelasi dengan produktivitas dan walaupun petani kecil mendominasi sebagian besar perkebunan kelapa sawit di Indonesia produktivitas mereka tetap rendah dan karenanya kontribusi mereka juga kecil.
Baca juga: LSM Serukan Kerjasama Semua Pihak di Industri Sawit
“In permasalahan nyata, jelas ada ketimpangan,” ujar Teguh.
Walaupun sangat menguntungkan bagi negara dan perekonomian negara, sektor kelapa sawit tidak didominasi oleh negara tetapi oleh sektor swasta. Pertanyaan yang muncul kemudian, menurut Teguh, adalah buat siapa semua peraturan, perundangan dan kebijakan dalam bidang kelapa sawit ini ditujukan? Bila menurut kondisi sekarang, semua itu akan mengembangkan sektor kelapa sawit tetapi tidak demi keuntungan negara, dan dalam hal ini rakyat, tetapi hanya demi keuntungan segelintir pihak di sektor swasta.
Tidak kalah pentingnya untuk ditangani segera adalah permasalah data yang tepat, terutama mengenai petani kecil dan konsesi perusahaan, ujar Teguh.
Dalam sebuah riset lainnya, yang dilakukan Madani bersama Katadata.co.id, terlihat bahwa 97 persen petani kecil belajar mengenai budidaya sawit mereka secara otodidak dan sama sekali tidak mendapatkan penyuluhan. Lima Puluh empat persen petani, riset itu juga menunjukkan, menggunakan bibit yang tidak bersertifikasi. Karenanya produktivitas petani kecil tetap rendah, dibawah satu ton per hektar per bulannya.
Penelitian itu juga menunjukkan bahwa 73 persen petani menjual tandan buah segar mereka ke tengkulak dan bukan langsung ke pabrik sawit, Tujuh Puluh sembilan persen petani juga tidak memiliki sertifikat tanah sedangkan 71 persen tidak bergabung dalam organisasi petani. Untuk memperoleh akses kepada sertifikasi, pendanaan serta berbagai bantuan, petani dipersyaratkan bergabung kedalam kelompok yang mereka kelola sendiri.
Dalam konteks sebuah bisnis yang begitu penting, “bagaimana petani kecil dapat berjalan sendiri?” tanya Teguh.
“Mengapa harus ada koreksi mendalam? Supaya kelapa sawit dapat menguntungkan dalam konteks yang sebenar-benarnya,” tutup Teguh.