The Palm Scribe

Dilema Konsumen dan Citra Industri Kelapa Sawit

Indonesia harus aktif membentuk citra positif bagi industri kelapa sawit ditengah gempuran tuduhan dan kampanye hitam terhadap industri kelapa sawit, serta tegas membela kepentingannya, sebagai produsen dan konsumen komoditas sawit terbesar di dunia, ujar seorang akademisi asing.

Pietro Paganini saat berbicara di jumpa pers IPOC 2018

“Menurut saya, cara industri ini menuju SDG (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) sudah baik, namun saya pikir industri ini perlu aktif dalam hal nnmunikasi,” ujar Pietro Paganini akademisi dari Universitas John Cabot, Roma, Italia ketika berbicara pada hari terakhir Konferensi Kelapa Sawit Indonesia ke-14 (IPOC 2018) disini.

Ia mengatakan bahwa komunikasi ini tidak hanya harus dilakukan dengan konsumen tetapi juga perusahaan yang memboikot produk kelapa sawit, apapun dalihnya,serta juga dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“Saat LSM menyerang, jangan diam tapi tanggapi mereka!” tegasnya, dengan menambahkan bahwa  mengedukasi LSM juga merupakan hal yang penting.

Paganini, yang juga anggota dari For Free Choice, suatu lembaga thinktank di Italia yang mengadvokasi hak konsumen untuk memilih berdasarkan informasi ilmiah yang benar, mengatakan bahwa di Italia, maupun di banyak negara lainnya di kawasan Eropa, masyarakat memiliki informasi yang salah mengenai kelapa sawit dan industri yang menghasilkannya.

“Perusahaan biasanya menjelaskan bahwa mereka tidak menggunakan kelapa sawit karena ingin menjaga konsumennya dari lemak jenuh, namun setelahnya apa yang kami temukan? 90% produk yang dihasilkan tetap mengandung lemak jenuh secara signifikan!” ujarnya.

Dengan lantang ia menuduh banyak perusahaan  “mengelabui” konsumen dalam menjual produk mereka. “Mereka membuat para konsumen mengira telah membeli produk yang ramah lingkungan, padahal tidak,” ujarnya.

Paganini menjelaskan konsumen di Italia sudah “terkontaminasi” dengan istilah Free From. “Free from sugar, salt, palm oil, mereka terobsesi dengan istilah itu,” ujarnya sembari bergurau apabila masyarakat Italia melihat produk berlabel Free From pada kemasannya, mungkin mereka akan membelinya walau isi kemasannya kosong.

Paganini melihat keadaan di Eropa sekarang ini ibarat sedang terjadi perang “branding” antara kelapa sawit dengan komoditas minyak nabati lainnya. “Perusahaan melihat isu ini sebagai alat pemasaran mereka yang dapat mempengaruhi perilaku dan tren masyarakat,” jelasnya.

Paganini menilai kelapa sawit yang berkelanjutan adalah kunci untuk mencapai SDGs, namun banyak yang belum menyadari hal tersebut dikarenakan para pelaku industri sawit tidak menjalankan strategi komunikasi yang baik dibandingkan dengan para aktivis.

Ia mengatakan bahwa banyak LSM berperan besar dalam mempengaruhi keberlangsungan industri kelapa sawit. Misalnya, pada tahun 2016 hingga awal 2018 kampanye yang dilancarkan mereka terhadap kelapa sawit, dengan menyebutkan alasan komoditas tersebut tidak baik bagi kesehatan atau lingkungan, menyebabkan turunnya kuantitas impor kelapa sawit di Eropa dari Indonesia.

“Kita harus berani berkata: kamu salah!” demikian Paganini mengatakan.

Ia juga berpendapat bahwa pemerintah harus lebih serius dalam membela industri kelapa sawit yang kini merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar Indonesia. “Menelantarkan industri kelapa sawit bukanlah solusi, pertahankan, dan kembangkan; menggantikan komoditas kelapa sawit dengan yang lain bukanlah solusi,” yakinnya.

Paganini berkesimpulan bahwa seluruh permasalahan yang menghambat perkembangan industri kelapa sawit adalah ‘citra’. “Dalam membangun citra, kita harus bisa melihat siapa musuh kita, yang jelas konsumen bukan musuh, karena mereka sebenarnya menjadi korban,” tutupnya.

Baginya, negara produsen kelapa sawit seperti Indonesia ini, harus mampu mengatakan kepada dunia bahwa “tanpa kelapa sawit, tidak ada SDGs” mengingat sumbangan besar komoditi ini kepada tidak saja keuangan negara tetapi juga dalam menyediakan lapangan kerja dan sumber penghidupan bagi jutaaan orang dan mengangkat kesejateraan mereka .

“Jadi, alur cerita yang perlu anda ceritakan adalah bahwa tidak akan ada SDG kalau kelapa sawit tidak ada, dan kami adalah kelapa sawit berkelanjutan. Dan ini adalah tanaman yang paling berkelanjutan,” tutupnya.

Share This