
Di saat terjadinya pandemi seperti COVID-19 ini, pemerintah seharusnya membantu para petani kecil kelapa sawit, yang mengelola sekitar 43 persen perkebunan sawit di Indonesia, tetapi agar dapat melakukan hal ini, ia perlu membangun dasar data yang kuat mengenai petani kecil swadaya agar bantuannya dapat tepat sasaran, beberapa pakar mengatakan Kamis, (18/6.)
Beberapa perwakilan petani kelapa sawit tersertifikasi yang berbicara dalam pertemuan daring bagi media yang diadakan the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), semua mengeluhkan lonjakan harga tandan buah segar (TBS) mereka sera harga pupuk yang melangit. Mansuetus Darto, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menekankan betapa petani kecil kelapa sawit sangat bergantung kepada kelapa sawit karena umumnya mereka tidak memiliki lahan lain untuk ditanami tanaman pangan.
“Pemerintah perlu menanggulangi terkait gejolak harga di petani sawit, karena situasinya tidak hanya sekarang tetapi juga terjadi sebelumnya,” Mansuetus mengatakan dengan menambahkan bahwa “para petani di semua tempat itu mengeluh soal pupuk dan perlu ada bantuan pemerintah terkait pupuk seharusnya itu yang harus dilakukan pemerintah.”
Namun Mansuetus juga mengingatkan mendesaknya bagi pemerintah untuk memetakan para petani kecil ini yang selama ini tidak pernah didata secara nasional.
“Pemetaan adalah hal yang sangat mendesak. Kita harus tahu dimana aset mereka berada, kita harus tahu bagaimana mereka itu berkelompok atau tidak, faktor aspek legalitasnya seperti apa,” ujar Guntur Cahyo Prabowo, Manajer RSPO Indonesia untuk program petani kecil.
“Ini basis yang menjadi penting, tidak hanya untuk sertifikasi tapi agar bantuan, kalau kita ingin menolong dalam konteks COVID, terarah dan jelas,” imbuhnya.
Berbicara pada kesempatan yang sama, Guntur mengatakan bahwa pemerintah kini mengharuskan semua produsen kelapa sawit, individu atau korporasi, untuk mendapatkan sertifikasi keberlanjutan dibawah skema the Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan karenanya menjadi penting pula untuk menangani akar permasalahan dibalik kecilnya jumlah petani kecil yang tersertifikasi selama ini,
Even virtual yang berjudul “Dampak COVID-19 terhadap Petani Tersertifikasi RSPO,” juga mendengar Rukaiyah Rafik, penasehat senior Forum Petani Sawit Berkelanjutan (Fortasbi) mengatakan bahwa sementara pabrik dan industri manufaktur sawit kini melambat operasinya akibat pandemi dan skema Pembatasan Sosial Skala Besar, harga TBS juga sedang rendah namun harga pupuk melambung tinggi.
“COVID-19 telah berdampak kepada mereka dan sumber mata pencaharian utama karena mereka tidak dapat menjual atau mengangkut TBS mereka ke pembeli. Pandemi juga mempengaruhi stok pupuk dan input untuk perkebunan petani serta harga makanan,” ujar Rukaiyah.
Darto juga mengingatkan efek lain dari pandemi terhadap para petani, Dengan berkurangnya pendapatan, petani, terutama petani swadaya, menghadapi kesulitan dalam pengadaan pupuk, karenanya mereka terpaksa mengurangi frekuensi pemupukan dan pemeliharaan tanaman dan akibatnya nanti baru akan terasa pada tahun berikutnya.
Rukaiyah sementara itu, mengatakan bahwa petani yang tersertifikasi RSPO jauh lebih memiliki ketahanan terhadap dampak pandemi. Ia menerangkan karena mereka terorganisir, maka mereka tetap memiliki akses kepada perusahaan pembeli dan juga memiliki akses kepada dana tambahan melalui penjualan kredit sertifikasi RSPO mereka yang uangnya dapat dibelanjakan bantuan yang diperlukan anggota perkumpulan di saat sulit seperti di kala pandemi.
Guntur mengatakan periode Mei 2019-Mei 2020, menyaksikan penjualan kredit RSPO mencapai $1.5 juta yang kemudian disalurkan kepada 30 organisasi petani tersertifikasi RSPO untuk memungkinkan mereka memberikan bantuan kepada para anggotanya di masa-masa sulit ini.
YB Zainanto Hari Wibowo, perwakilan dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Independen di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, mengatakan dengan adanya sertifikasi RSPO, asosiasinya mendapatkan “berkah besar” berupa dana dari penjualan kredit RSPO yang memungkinkan mereka mendapatkan bantuan berupa pangan dan pupuk gratis bagi anggota dan bahkan dapat membantu keluarga-keluarga miskin di kawasan mereka.
Keuntungan-keuntungan yang sama juga diceritakan oleh beberapa perwakilan petani swadaya yang tersertifikasi RSPO lainnya dari berbagai provinsi, termasuk Sumatra Utara, Riau dan Sumatera Selatan. Zainanto mengemukakan harapannya bahwa dengan keuntungan-keuntungan ini akan semakin banyak petani kecil swadaya yang akan berusaha memperoleh sertifikasi keberlanjutan.
Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian memperlihatkan bahwa di tahun 2019, Indonesia memiliki 121.168 petani tersertifikasi atau 4,42 persen dari totalnya. Mereka menggarap 223.229 hektar perkebunan atau 3,75 persen dari perkebunan sawit yang dikelola petani kecil.
Indonesia merupakan produsen sekaligus eksportir dan consume minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pasokan minyak kelapa sawit tersertifikasi berkelanjutannya mencapai 20,53 persen dari pasokan minyak ini di dunia, sementara di dalam negeri, minyak kelapa sawit tersertifikasinya mencapai 54,30 persen dari produksi nasional.