Program yang dicanangkan pemerintah pada bulan April 2018 untuk secara intensif meremajakan perkebunan kelapa sawit rakyat sampai sekarang masih jauh dari harapan, dengan banyak petani menyebutkan program tersebut masih membingungkan.
“Ini tuh ngambang, banyak persyaratan yang bikin bingung, animonya jadi kecil,” ujar Valens Adi, petani mandiri kelapa sawit yang juga ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Harapan Tani di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Berbicara saat dihubungi The Palm Scribe, Adi mengutarakan bahwa selain masih membingungkan, kebanyakan petani kecil mandiri juga masih menghadapi permasalahan utama seperti kelengkapan dokumen legalitas.
Hilang dan berkurangnya pendapatan juga menjadi salah satu keluhan petani apabila ikut serta dalam program replanting. Adi menilai diperlukan adanya program implementasi tambahan untuk mengatasi hal tersebut.
Petani mengeluhkan tidak saja mahalnya biaya peremajaan tanaman yang juga sering disebut sebagai “replanting” tetapi juga bahwa selama tiga-empat tahun belum berproduksinya tanaman baru, petani tidak akan memiliki pendapatan.
“Apa solusinya? Replanting-nya bertahap dan sebagian, jadi petani masih bisa mendapat pemasukan,” ujarnya.
Bantuan Badan Pengelola Bantuan Dana Kelapa Sawit (BPDP-KS) senilai Rp25 juta per hektar kelapa sawit, yang diberikan paling banyak untuk lima hektar per orangnya, masih dianggap jauh dari cukup. Petani masih harus menutupi sisanya, karena biaya peremajaan per hektarnya berkisar antara Rp60-70 juta.
“Dua puluh lima juta itu kurang soalnya itu sampai penanaman aja kan, nah saat masa perawatan perlu adanya program untuk membantu pendapatan petani,” ujarnya.
Lambatnya program replanting tersebut terlihat dari data dari Dirjen Perkebunan per bulan Desember 2018 yang menunjukan baru ada 33.671 hektar (ha) dari 185.000 hektar yang menjadi target replanting untuk tahun tersebut.
Meskipun demikian, Antonius Argo Prabowo selaku Direktur Pemasaran Bank Sumatera Selatan mengaku optimis akan keberlangsungan program replanting. Pihaknya juga membantu penyebaran dana bantuan dari BPDP-KS.
“Program peremajaan lahan sawit dinilai banyak pihak sebagai program yang sukses dan salah satu pendukung upaya pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.
Bagi Country Director Inisiatif Dagang Hijau Fitrian Ardiansyah, program replanting bukanlah tanggung jawab pemerintah semata, namun pihak swasta juga dapat berperan banyak. Dana yang dialokasikan dari BPDP-KS pun juga dinilainya tidak mencukupi.
“Dana bantuan BPDP-KS tidak bersumber dari APBN, tapi dari pungutan ekspor produk sawit, jelas membutuhkan dana pendamping lainnya terutama bila ingin cukup untuk meng-cover (sebagian) biaya replanting, apalagi untuk biaya hidup selama 4 tahun menunggu sawit mudanya berbuah lagi,” ujar Fitrian saat dihubungi The Palm Scribe.
Model struktur pembiayaan keuangan yang cocok adalah hal krusial yang diperlukan untuk program replanting agar dapat dilaksanakan dalam skala besar dan melibatkan banyak pihak seperti pemerintah, lembaga keuangan, dan swasta nasional maupun internasional.
“Ingat, 1 ha replanting setidaknya membutuhkan sekitar Rp60 juta/ha selama 4 tahun, di luar biaya bunga bank dan subsidi pendapatan petani menunggu sawit menghasilkan lagi,” jelasnya.
Selain permasalahan pendanaan, Fitrian juga menyoroti kemudahan untuk memperoleh kejelasan lahan sehingga dapat membantu lancarnya penyebaran dana bantuan yang ada.
“Pemerintah bisa mendukung dengan mempermudah atau memperjelas urusan legalitas lahan pekebun, STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya), kawasan hutan, suku bunga, aturan OK, blended finance, foreign exchange hedging cost, akses ke pupuk dan penyuluh berkualitas. Hal-hal ini setidaknya bisa membantu mempermulus lembaga keuangan lainnya untuk masuk membantu replanting di Indonesia,” tutup Fitrian.
Program replanting ini merupakan bagian dari usaha pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat, yang sekarang masih sangat rendah. Peningkatan produktivitas ini diharapkan akan dapat mengurangi ekspansi perkebunan dan dengan demikian mengurangi kerusakan lingkungan.