The Palm Scribe

Data Komprehensif adalah Kunci Keberlanjutan Minyak Kelapa Sawit

Seorang pekerja sedang mengangkut sawit ke truk.

Minyak kelapa sawit merupakan subyek perdebatan yang tidak ada habisnya. Perdebatan dimana dua kutub yang saling berhadapan terpolarisasi dengan jelas.

Kedua belah pihak yang berseberangan dalam konflik pendapat ini — pihak yang mengatakan kelapa sawit adalah biang dari deforestasi besar besaran dan kerusakan keragaman hayati dan karenanya harus diboikot, dan pihak yang mengatakan sawit merupakan sumber matapencaharian jutaan orang dan bila dibudidayakan secara berkelanjutan merupakan tanaman yang tidak tertandingi dalam menghasilkan minyak nabati yang kebutuhannya terus memuncak didunia — sama-sama garangnya dalam berargumentasi.

Terlepas dari pihak mana yang berpijak kepada kebenaran, terdapat satu alasan untuk mengatakan bahwa kedua kubu  sebenarnya sama-sama beranjak dari pendapat yang tidak seluruhnya bertumpu pada dasar data ilmiah yang pasti.

Bagaimana kita dapat mengukur deforestasi, bila definisi hutan masih berbeda-beda dan belum ada definisi yang dapat diterima oleh semua pihak. Belum lagi berbicara mengenai sangat kurangnya data pasti mengenai luasannya.

Sementara luasan perkebunan yang dimiliki atau dikelola perusahaan perkebunan, besar maupun kecil, jauh lebih mudah diketahui dengan adanya sistim konsesi lahannya, luasan lahan kelapa sawit yang dikelola oleh petani kecil, apalagi yang swadaya, jauh lebih sulit diketahui. Perkiraan resmi mengatakan bahwa sekitar 40 persen dari lahan perkebunan kelapa sawit dunia dikelola oleh petani kecil, dengan lahan, kemampuan teknis maupun finansial yang terbatas. Banyak dari petani kecil ini juga tidak memiliki surat kepemilikan tanah yang sah.

Bagaimanakah kita dapat menyiapkan peraturan dan kebijakan yang tepat bagi para petani kecil ini,  termasuk untuk menarik mereka kedalam keberlanjutan industri kelapa sawit, bila data dan pengetahuan mengenai keberadaan merekapun sangat terbatas dan kalaupun ada, jarang memperhitungkan variasi dan kekhasan daerah-daerah mereka.

Perbedaan pendapat  yang juga ditemukan di sektor-sektor lain kelapa sawit, seperti mengenai karakteristik budidaya,  kebutuhan atas air, dampaknya pada keragaman hayati maupun pranata sosial ekonomis setempat dan sebagainya, juga sering kurang mempertimbangkan varian latar belakang setempat. Belum lagi perdebatan tepat tidaknya, boleh tidaknya, penanaman dilakukan pada lahan gambut.

Perbedaan pendapat yang sengit dalam kasus minyak kelapa sawit ini, juga seringkali sangat terpaku kepada satu aspek saja dari budidaya kelapa sawit, apakah itu sisi deforestasi, pelanggaran hak hak pekerja atau komunitas setempat, tetapi tidak melihat dampak lintas sektoralnya. Dan juga tidak memberikan solusi alternatif yang lebih baik bagi pemenuhan kebutuhan minyak nabati dunia.

Tidak dapat disangkal bahwa dalam dasawarsa-dasawarsa puncak pengembangan perkebunan kelapa sawit yang pesat, deforestasi memang terjadi. Kinipun masih terjadi deforestasi tersebut. Namun, mengatakan bahwa deforestasi tersebut terus berlangsung dengan kecepatan tinggi, tanpa didasari data konkret, juga tidak akan menuntaskan masalah,

Dalam konteks perdebatan ilmiah, data pendukung merupakan segalanya. Sayangnya, dalam kasus minyak kelapa sawit ini, belum terdapat penelitian-penelitian menyeluruh yang sahih dan yang hasilnya dapat diterima luas. Skala penelitianpun terlihat dominan bersifat setempat.

Dengan adanya data yang cukup komprehensif mengenai budidaya kelapa sawit diseantero dunia ini, termasuk oleh petani kecil yang begitu banyak jumlahnya dan tersebar luas, barulah gambaran sebenarnya dapat diperoleh dan baru dapat digunakan sebagai dasar pembuatan kebijakan yang teapot.

Karena itu, merupakan angin segar bagi dunia perkelapa sawitan adanya  usaha usaha untuk terus melengkapi serta memutahirkan data data mengenai budidaya kelapa sawit ini secara  lokal maupun global.

Salah satu usaha demikian adalah yang sedang dilakukan oleh International  Union for Conservation of Nature (IUCN) yang  berbasis di Gland, Swiss. Tahun lalu, IUCN ini menerbitkan laporannya yang berjudul Kelapa Sawit dan Keanekaragaman Hayati, setelah mengadakan penelitian pendahuluan. Organisasi ini juga mengatakan bahwa penelitian-penelitian lebih lanjut akan terus dilakukannya untuk memperoleh dasar data yang kuat mengenai sektor kelapa sawit ini.

“Laporan ini menyediakan  bukti yang obyektif dan berbasis ilmu untuk mendukung panduan yang lebih baik bagi industri minyak kelapa sawit dan bagi organsiasi serta pemerintah yang membuat kebijakan dan standar minyak kelapa sawit,” demikian kata pengantar dalam laporan tersebut mengatakan.

Laporan tersebut juga menekankan adanya bukti yang kuat bahwa minyak kelapa sawit akan terus ada mengingat terus meningkatnya permintaan global akan minyak nabati dan fakta bahwa kelapa sawit memproduksi minyak tersebut dengan lebih efektif dibandingkan jenis tanaman lainnya.

Salah satu kelemahan dari pihak yang sering menyerang kelapa sawit, adalah bahwa mereka tidak memberikan solusi alternatif yang lebih baik mengenai bagaimana menggantikan peran minyak kelapa sawit ini tanpa mengakibatkan deforestasi yang lebih luas, dampak lingkungan yang lebih buruk. Pada saat ini nampaknya tidak ada cara yang mudah untuk menghapus minyak kelapa sawit secara bertahap tanpa menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang lebih signifikan dari adanya perluasan pengganti tanaman penghasil minyak lainnya.

Laporan IUCN ini menggambarkan peta pertama yang komprehensif dari seluruh kebun kelapa sawit skala industri secara global seta juga mengkaji statistik deforestasi terkait penghembangan kelapa sawit. Berdasarkan peta ini, diperkirakan sebesar 18,7 juta hektar lahan ditanami kelapa sawit dengan skala industri.

Laporan ini juga  berusaha mengidentifikasi kesejangan pengetahuan yang utama dan dengan melalui analisis situasi, berupaya memberikan arah dalam ranka menjawa kesenjangan tersebut.

Salah satu kesenjangan data yang ada, dan ini juga diakui dalam laporan ini, merupakan kurangnya informasi petani kecil kelapa sawit, terutama yang swadaya, dan mengenai luasan perkebunan kelapa sawit mereka.  “Sehingga total daerah yang ditanami kelapa sawit seara signifikan lebih luas daripada 18.7 juta  hektar serperti yang disebutkan disini,” laporan tersebut mengatakan dengan menambahkan bahwa usaha untuk mengisi kekurangan data ini masih diperlukan.

IUCN sendiri dikatakan sedang melakukan pendataan dengan menggunakan gambaran satelit, termasuk di Indonesia, dan berharap dapat memetakan keseluruhan luas lahan yang ditanami kelapa sawit dan dengan demikian dapat memperoleh luasan yang dikelola petani kecil setelah menguranginya dengan luasan perkebunan kelapa sawit skala industri.

Laporan ini juga mengatakan bahwa berdasarkan statistik yang dianalisa, secara global, pengembangan kelapa sawit mengakibatkan kurang dari 0,5 persen deforestasi di dunia walaupun di   beberapa tempat di daerah tropis angka ini dapat mencapai lebih tinggi, contohnya saja bisa mencapai 50 persen. Ia juga mengutip sebuah studi global yang  fokus pada lanskap hutan-hutan yang masih utuh , yang menunjukkan bahwa kelapa sawit hanya menyumbang sedikit, yaitu sekitar 0.2 persen, pada pembukaan hutan di kawasan tropis.

Laporan juga mengutip beberapa studi yang mengatakan bahwa kerusakan terparah pada landskap hutan yang utuh akibat pengembangan kelapa sawit terjadi di Borneo, pulau yang terbagi antara Malaysia dan Indonesia. Namun, juga dikatakannya bahwa kerusakan di Indonesia jauh lebih ringan dari di bagian Malaysia, karena di Indonesia, lebih banyak perkebunan yang didiirikan di lahan non hutan yang terdegradasi secara ekologis dan bukan dengan mengorbankan hutan.

Jauh sebelum kelapa sawit ada, pulau Kalimantan mengalami kehilangan dan kerusakan hutan skala besar yang disebabkan oleh ekstraksi kayu dan pembakaran. Lahan yang telah dibuka ini memberi jalan bagi beberapa industri perkebunan, seperti kelapa sawit, untuk dikembangkan tanpa menambah kehilangan kawasan hutan.

Keberadan data yang komprehensif ini jelas akan sangat membantu dalam mendapatkan gambaran yang lebih cermat tidak saja mengenai luasan budidaya kelapa sawit  tetapi juga dampaknya, buruk maupun baik, bagi lingkungan maupun umat manusia.

Dengan luasan 18,7 juta hektar saja,  kelapa sawit ini sudah menjadi  tanaman penghasil minyak ketiga terbesar dalam hal luas area penanaman setelah kedelai dan minyak rapa (rapeseed). Karena hasil panennya yang tinggi, walaupun menggunakan lahan kurang dari 10 persen dari total lahan yang dialokasikan untuk tanaman-tanaman penghasil minyak, kelapa sawit mampu menghasilkan sekitar 35 persen  dari keseluruhan minyak nabati .

Data yang lebih komprehensif, termasuk data pembanding, akan dapat memberikan arahan langkah yang harus diambil dalam mencoba memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia dengan biaya lingkungan dan sosio-ekonomis yang paling rendah.

Alangkah baiknya bila semua pihak dapat menahan diri dahulu hingga hasil-hasil penelitian lainnya diperoleh, dan dengan kepala dingin, kemudian mencari jalan terbaik bagi keberlanjutan lingkungan dunia ini.

Share This