Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Indonesia, Mansuetus Darto Wojtyla Alsy Hanu, meyakini bahwa bila benar-benar ingin mendorong petani kelapa sawit di Indonesia untuk bercocok tanam secara berkelanjutan, maka pemerintah perlu memberikan insentif bagi mereka untuk beralih kepada praktik bertanam yang baik.

Selama berada di SPKS, pria yang akrab disapa Darto ini, melihat masih minimnya keterkaitan pemerintah untuk merangkul petani untuk menuju praktik berkelanjutan, terlebih lagi saat ini petani sawit sedang merasa lesu ditengah melemahnya harga sawit.
“Pemerintah seharusnya memancing petani agar mereka bisa menerapkan sustainability dengan memberikan insentif dan menjaga harga sawit misalnya Rp2000/Kg bagi mereka yang menanam sawit secara sustain,” terangnya kepada The Palm Scribe.
Darto, yang berasal dari Keka Rejo, Desa Cekaluju, Kabupaten Manggarai dan menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Pembagunan Masyarakat Desa di Yogyakarta ini, berpendapat bahwa pemerintah belum terlalu memperhatikan perkembangan dari petani kecil sawit yang menjadi ujung tombak dalam industri ini, padahal sudah saatnya sekarang petani sawit memegang peranan yang lebih besar.
Petani kecil sawit kini mengelola sekitar 40 persen luasan perkebunan sawit di Indonesia, dan peran mereka ini diperkirakan akan terus meningkat. Namun petani masih berhadapan dengan berbagai tantangan dan membutuhkan bantuan untuk tidak saja dapat mengelola kebun mereka secara berkelanjutan tetapi juga untuk meningkatkan produktivitas yang masih rendah serta akses kepada pasar, pendanaan serta infrastruktur yang diperlukannya.
Darto memahami turunnya harga sawit disebabkan oleh keadaan pasar internasional kelapa sawit yang sedang bergejolak bagi Indonesia, terlebih beberapa saat ini ada isu kampanye hitam dari Uni Eropa. “Pemerintah harus cepat, jangan berlarut karena menganggu penjualan para petani sekarang yang masih bergantung kepada pasar di luar negeri,” tukasnya.
Walaupun banyak pihak yang mengklaim kampanye hitam Uni Eropa tidak berpengaruh banyak terhadap penjualan sawit Indonesia, sebab ada target pangsa baru, Darto justru menangkal hal tersebut. “Pasar baru kita ke India sudah mulai menetapkan bea cukai yang besar, kemudian China dan Pakistan juga begitu,” ujarnya yang menegaskan kondisi petani di Indonesia sekarang sedang terancam oleh keadaan ekonomi.
Dalam permasalahan ini, Darto juga mengkritik pemerintah agar jelas melindungi petani kecil sawit. “Kalau di Eropa sana parlemennya itu jelas melindungi petani kecilnya dari impor sawit, di sini pemerintah condong melindungi korporasi saja, harus lebih jelas lah arah proteksionisnya” tegasnya.
Hal tersebut juga dlihatnya sebagai masih minimnya peran pemerintah untuk merangkul petani kecil sawit untuk berpartispasi membangun komoditi ini.
“Apa yang selama ini diperjuangkan SPKS adalah petani harus diselamatkan dengan dapat berhubungan langsung kepada buyer,”ujar Darto sambil meneruskan argumen bahwa belum ada program pemeritah yang berdampak positif langsung ke petani.
Darto, yang mengaku merasa terpanggil memberikan pendampingan dan advokasi bagi petani kecil kelapa sawit setelah bergabung dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Kalimantan Barat, berpendapat bahwa saat ini petani sawit Indonesia sudah memiliki kesadaran akan praktik menanam berkelanjutan .
Namun ia menambahkan bahwa masih banyak petani kelapa sawit yang belum melihat keuntungan dari pemilikan sertifikasi keberlanjutan tersebut.
“Petani yang belum ada sertifikasi itu karena berpikiran, ah, apa untungnya meempunyai sertifikasi?” Jelasnya dan menambahkan bahwa sertifikasi sebenarnya bukan jaminan tolak ukur untuk petani dalam menerapkan praktik sustainability.
Petani kecil sawit, umumnya, juga menghadapi banyak kendala dalam mendapatkan sertifikasi keberlanjutan seperti Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO.)
“Tantangan utama sertifikasi bagi petani adalah permasalahan legalitas dari kelengkapan surat lahan serta masih minimnya jumlah petani yang ikut dalam asosiasi karena selama ini pola hidupnya sudah terpola sangat individual,” sergahnya ketika ditemui di Bogor.
SPKS sebenarnya berdiri atas inisiasi dari Sawit Watch untuk memperjuangkan hak petani kecil sawit dan pada tahun 2009 disepakati untuk didirikan Forum Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit. Pada tahun 2014 SPKS dideklarasikan menjadi sebuah serikat, bukan lagi sebagai forum semata.
Melalui SPKS Darto menginginkan untuk dapat membantu pemerintah untuk meningkatkan partisipasi petani kecil sawit dengan melakukan pendataan yang terintegrasi.
“Kita mau mengintegrasikan data untuk pemerintah agar mempunyai basis data dalam menentukan target siapa dan dimana saja untuk membantu petani dalam penjualan maupun legalitas lahan,” tutupnya.