Sebuah kebijakan yang direncanakan Uni Eropa untuk menghentikan impor kelapa sawit untuk program energi mereka, tidak akan banyak mempengaruhi Indonesia yang merupakan negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, namun sebaliknya akan mempengaruhi harga minyak nabati lainnya di Eropa, seorang pelaku industri disini menyatakan.

Menurut Fadhil Hasan, Direktur Program Pembangunan Berkelanjutan untuk Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), bila kebijakan larangan impor itu diberlakukan Uni Eropa, tidak akan ada gejolak harga pada minyak kelapa sawit karena jumlah minyak sawit yang digunakan UE jumlahya relatif kecil dibanding total produksi minyak sawit dunia.
“Eksportir sawit untuk Eropa akan merugi dan menyebabkan ekspansi area kepada minyak nabati lain….harga minyak nabati lain akan meningkat karena ketidakseimbangan permintaan dan produksi di Eropa,” ujar Hasan dalam paparannya pada Seminar Renewable Energy Directive II di IICC, Bogor pada hari Selasa (24/4).
Fadhil juga menambahkan dengan adanya larangan impor kelapa sawit di Eropa tersebut tidak menjamin permasalahan deforestasi terselesaikan, sebab seperti yang kita ketahui bersama, penyebab deforestasi bukan saja industri kelapa sawit, melainkan juga peternakan, jagung, dan banyak komoditi lainnya.
Pemerintah Indonesia sampai saat ini terus menjalin komunikasi dengan UE terkait industri kelapa sawit melalui World Trade Organization (WTO), Food and Agriculture Organization (FAO), serta United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD).
Namun peran pemerintah saja tidak cukup, dibutuhkan kerjasama oleh seluruh pihak terkait untuk memberikan landasan yang kuat agar impor kelapa sawit dapat tetap dilakukan kedepannya kepada negara Eropa.
Hasan berpendapat kedepannya, pemerintah Indonesia perlu konsisten menjalin kerjasama dengan seluruh pihak dari akademisi, LSM, dan korporasi untuk menghasilkan langkah diplomasi yang sistematis terhadap kebijakan Uni Eropa ini.
Ia juga berpesan bahwa sekarang adalah momentum yang sesuai untuk mempromosikan kembali Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) kepada dunia internasional sehingga dapat menjadi pedoman keberlanjutan yang kredible.
“inilah kesempatan kita untuk mengenalkan ISPO kepada pasar internasional, agar kedepannya ISPO ini semakin diakui dan dikenal,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama Rosediana Suharto selaku ketua pelaksana harian komisi ISPO mengutarakan hal tersebut tentunya tidak mudah, “memang kendalanya adalah ISPO dianggap lebih inferior dibandingkan RSPO dan belum semua pelaku usaha, serta petani kecil lokal menerapkan sertifikasi ISPO.”