
Sebuah penelitian baru dari organisasi lingkungan global nirlaba CDP menunjukkan bahwa berbagai perusahaan yang menggunakan minyak kelapa sawit dalam produknya, ternyata sangat meremehkan risiko terkait deforestasi, sebuah situasi yang memperparah kurangnya transparansi dalam rantai pasokan mereka.
Dalam sebuah laporan berjudul “THE PALM BOOK: Menelusuri kemajuan komitmen minyak sawit berkelanjutan di Indonesia”, organisasi Carbon Disclosure Project (CDP), mengatakan bahwa hanya sepertiga dari 96 perusahaan yang dianalisis (atau sejumlah 33 perusahaan) yang melaporkan potensi dampak keuangan terkait dengan risiko deforestasi pada 2019, atau setara dengan potensi jumlah kerugian sebesar $4,9 miliar, jika risiko tersebut tidak dikelola.
Sekitar 89 persen dari 96 perusahaan tersebut melaporkan memproduksi, mencari, atau menggunakan produk yang mengandung minyak sawit Indonesia pada tahun 2019, yang sudah melaporkan risiko terkait hutan.
Dalam laporan CDP tersebut juga ditemukan kurang dari 20 persen perusahaan yang sudah berada di jalurnya untuk memenuhi target di tahun 2020, bahwa mereka akan menghilangkan deforestasi dari rantai pasokan mereka.
“Rantai pasokan terpapar risiko secara fisik akibat perubahan iklim; sebanyak 90 persen produksi minyak sawit global terkonsentrasi di dataran rendah Asia Tenggara yang terpapar oleh banjir pantai. Ini dapat membahayakan pasokan global dan risiko deforestasi lebih lanjut di daratan” laporan tersebut mengatakan.
Laporan CDP tersebut didasarkan pada data yang dilaporkan sendiri dari hampir 100 perusahaan yang memproduksi, atau menggunakan produk yang dibuat dengan minyak sawit Indonesia. Dari 543 perusahaan yang mengungkapkan data mereka tahun ini, sebanyak 96 perusahaan melaporkan memproduksi atau mencari minyak kelapa sawit – atau produk yang mengandung minyak sawit – dari Indonesia. Jumlah tersebut memperlihatkan kenaikan 20 persen dari 80 perusahaan pada tahun 2018, yang merupakan sebuah lompatan luar biasa, sebesar 50 persen dari 64 perusahaan pada tahun 2017.
CDP juga menyatakan bahwa perusahaan semakin menyadari skala risiko deforestasi dan mulai membangun struktur tata kelola untuk mengelolanya. Sekitar 91 persen perusahaan yang menggunakan minyak kelapa sawit dari Indonesia pada tahun 2019 melaporkan memiliki pengawasan di tingkat dewan atas isu-isu terkait hutan, yang mencerminkan pertumbuhan dari hanya 69 persen dua tahun lalu.
Kurangnya transparansi dipandang sebagai tantangan utama dalam menilai kontribusi komitmen dari sektor swasta. Meskipun terdapat peningkatan jumlah perusahaan yang melaporkan penggunaan minyak sawit Indonesia, pengungkapan masih didominasi oleh produsen dan pengecer yang berlokasi di Amerika Utara dan Eropa.
Meningkatkan pengungkapan di antara perusahaan dan produsen hulu di mana hutan berada – termasuk Indonesia – sangat penting untuk menilai kemajuan menuju target untuk mengekang deforestasi. Laporan ini juga mengungkapkan kesenjangan yang mencolok dalam dukungan teknis dan keuangan dari perusahaan hulu ke petani kecil dalam meningkatkan transisi sektor ini ke produksi minyak sawit berkelanjutan.
Melalui kuesioner hutan CDP, lebih dari 500 perusahaan terbesar di dunia dan pemasok mereka mengungkapkan kepada pemegang saham atau pelanggan mereka, risiko dan strategi yang melekat untuk mengelola produksi dan sumber komoditas pertanian yang paling terkait dengan deforestasi.
Jumlah perusahaan yang mengungkapkan risiko ini telah tumbuh dengan mantap: dari 211 perusahaan di tahun 2017, menjadi 455 di tahun 2018, dan 543 di tahun ini.
Sebagian besar perusahaan yang melaporkan penggunaan minyak sawit Indonesia secara luas termasuk dalam sistem pangan dan pertanian – termasuk pengolahan makanan dan minuman, ritel, pariwisata, dan perusahaan pertanian tanaman.
Sebanyak 86 dari perusahaan-perusahaan ini melaporkan memiliki sistem untuk melacak asal minyak kelapa sawit mereka, sebuah kenaikan sebesar 19 persen dibandingkan tahun 2018. Jumlah perusahaan yang dapat melacak minyak sawit mereka sampai ke tingkat pabrik juga meningkat, yaitu sebesar 21 persen, menjadi 46 perusahaan pada tahun 2019 .
Namun, jumlah perusahaan yang melaporkan keterlacakan hingga tingkat perkebunan turun dari delapan pada 2018 menjadi hanya lima perusahaan pada 2019.
RSPO tetap menjadi sertifikasi yang paling banyak dilaporkan oleh perusahaan pada tahun 2019. Mayoritas perusahaan ini melaporkan target yang berfokus pada pemanfaatan sertifikasi RSPO Mass Balance untuk memenuhi komitmen mereka.
CDP menggunakan platform pengungkapan, data dan perangkat, untuk mendukung dan mengadvokasi rencana transisi untuk mengurangi emisi, menghindari deforestasi, memberikan keamanan air dan membangun ketahanan terhadap perubahan iklim.