Badan Usaha Milik Rakyat dianggap sebagai lembaga yang cocok untuk mengelola komoditas pertanian maupun perkebunan rakyat, termasuk kelapa sawit, karena pemilik lahan dan petani mengelola langsung usahanya dalam sebuah korporasi.
Demikian pendapat Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Tanri Abeng di acara diskusi yang digelar oleh World Islamic Economic Forum (WIEF) Foundation dengan tema Green Economy di Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (5/10/2017).
Konsep Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR), menurut Tanri, sudah diterapkan di Malaysia. Hasilnya terlihat menjanjikan. “Di Malaysia sudah ada sejak 1959, namanya Felda. Di sektor sawit, sekarang Felda terbesar di dunia,” katanya.
Menurut Tanri, potensi Indonesia jauh lebih besar, karena kebun rakyat–khususnya kelapa sawit–sangat luas. Petani mengelola sedikitnya 4,7 juta ha atau 41 persen dari 11,9 juta ha lahan kelapa sawit di Indonesia, dan 59 persen sisanya milik perusahaan besar.
Dengan potensi yang besar, lanjut Tanri, pemerintah harus memfasilitasi pembentukan struktur manajemen yang baik di level petani, karena sistem koperasi yang ada saat ini tidak berjalan. Dengan terbentuknya perusahaan rakyat, penyaluran kredit perbankan pun menjadi lebih mudah.
Pembentukan BUMR, kata Tanri, membutuhkan setidaknya tiga elemen, yakni struktur korporasi, sistem manajemen, dan keterampilan sumber daya manusia. “Saat ini baru berdiri satu unit BUMR di bidang pangan di Sukabumi,” katanya.
Pembentukan badan usaha memang merupakan salah satu isu mendesak bagi para petani sawit. Selama ini, tanpa badan usaha yang legal, mereka sulit mendapatkan pendanaan dari perbankan. Tanpa dana yang mencukupi, para petani kelapa sawit pun kesulitan meningkatkan produktivitas.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang M.M. mengakui bahwa selama ini nasib para petani sawit agak terabaikan. Karena kurangnya perhatian dan dukungan dari pihak lain, petani menghadapi masalah rendahnya produktivitas akibat penggunaan bibit sawit yang mutunya kurang baik. Mereka juga menghadapi masalah teknologi pengolahan limbah kelapa sawit, akses ke keuangan, isu hukum, dan kelestarian lingkungan.
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mona Surya, mengatakan bahwa para petani juga menghadapi masalah tiadanya wadah organisasi. “Gapki diminta membantu para petani, tapi bagaimana kami dapat menolong jika mereka belum terorganisir,” kata Mona saat ditemui di forum IPOS di Medan, bulan lalu.
Mona menambahkan bahwa kehadiran organisasi penting untuk membuktikan legitimasi dan kredibilitas mereka. Perusahaan-perusahaan selama ini kesulitan bekerja sama dengan para petani yang belum berbadan hukum dan sering menghadapi situasi yang rumit atau bermasalah secara hukum.
Jadi sudah saatnya para petani bersatu dan membentuk badan usaha.