The Palm Scribe

Bos Sawit dan LSM “Toksik”: Bagai Raksasa yang Merengek

Kelapa Sawit di Tangan petani
Foto: AFP

Saya selalu harus tertawa ketika mendengar ada perusahaan yang menyalahkan “black campaign” oleh saingan mereka atas publisitas buruk yang mereka alami.

Memang patut ditertawakan karena di kebanyakan kasus, publisitas buruk yang mereka peroleh sebenarnya merupakan cermin ketidak mampuan mereka sendiri untuk dapat berkomunikasi dengan baik. Tetapi, alih alih berkaca dan bertekad menangani permasalahan dengan lebih baik, kebanyakan dari mereka lebih memilih jalan keluar yang mudah, yaitu dengan menyalahkan pihak lain.

Pemain-pemain utama dalam industri minyak kelapa sawit kebanyakan termasuk dalam kategori ini, kategori perusahaan yang tidak cakap dan selalu defensif. Ini menjadi lebih lucu lagi jika terjadi di Malaysia dimana korporasi dan lembaga-lembaga disana tidak harus menghadapi pasar ide media yang terbuka karena media disana “jinak” dan terkendali.

Karenanya, tidak terlalu mengherankan membaca berita dibawah ini yang mengambil judul ”Bos-bos kelapa sawit Malaysia mendesak agar aksi diambil atas kelompok-kelompok lingkungan yang ‘toksik’.”

KUALA LUMPUR, 4 Feb  (Reuters) – Pejabat industri kelapa sawit Malaysia pada hari Selasa mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan atas kelompok-kelompok lingkungan yang kritis terhadap komoditas ini, dengan salah satu eksekutifnya menggambarkan mereka sebagai “entitas yang toksik.”

Budidaya kelapa sawit, yang produknya digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan eskrim sampai lipstik, telah dipersalahakan atas deforestasi besar-besaran yang terjadi di Asia Tenggara, dan membahayakan hewan-hewan liar, seperti orangutan dan gajah pygmy. Indonesia dan Malaysia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia.

Kelompok-kelompok pegiat lingkungan, terutama di Eropa, telah menghimbau para produsen untuk lebih beroperasi lebih berkelanjutan dan Uni Eropa tahun lalu mengeluarkan peraturan yang akan secara bertahap menghilangkan penggunaan minyak kelapa sawit dalam bahan bakar berkelanjutan hingga tahun 2030 karena kekhawatiran atas deforestasi.

Franki Anthony Dass, Penasehat Utama dan Pejabat Penilai Sime Darby Plantation –  perusahaan kelapa sawit terbesar di dunia dalam hal luas lahannya – mengatakan bahwa adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengorganisir serangan-serangan terhadap kelapa sawit.

“Kalau mereka begitu tidak bersahabat, mengapa membiarkan mereka berada di negeri kita, Malaysia dan Indonesia,” demikian katanya dalam sebuah forum industri di Kuala Lumpur. “Kita memiliki hak untuk mengontrol hal ini dan sekali-kali melakukan sesuatu yang drastis.”

Bagi seorang bos kelapa sawit, mengatakan hal ini merupakan sesuatu yang sama tidak tulusnya maupun tidak baiknya seperti bila Goliath sang raksasa, mengeluhkan bahwa si David yang kecil adalah seorang perisak.

David memang mungkin agresif dan tidak bersahabat, Ia mungkin gemar menuduh dan seringkali agak asal-asalan menggunakan data untuk menciptakan cerita negatif mengenai industri kelapa sawit. Dan kadangkala memang David berkelakuan seperti preman.

Tetapi, bukankah Goliath memiliki semua sumber daya dan kekuatan yang diperlukannya untuk mengalahkan David, kalau saja ia berhenti sejenak menjadi raksasa yang tidak berpikir dan canggung. Bukankah terdengar cengeng bila Goliath berlari ke ibundanya untuk mengadukan David?

Apa yang sebenarnya telah terjadi di industri kelapa sawit adalah bahwa para pemainnya sebenarnya sudah melangkah jauh dalam praktek-praktek keberlanjutan mereka, tetapi masih menderita akibat dari kebiasaan industri yang selama bertahun-tahun tak acuh pada lingkungan.

Para pemain kelapa sawit memiliki uang dan sumber daya dibelakang mereka, sesuatu yang hanya dapat diimpikan oleh LSM, untuk melancarkan perang merebut hati dan pikiran publik dan konsumen. Mereka dapat saja bermain menyerang dan menyebarkan pesan bahwa industri ini sebagian besar sudah berkelanjutan dan sudah seharusnya didukung.

Baca juga: Meningkatkan Peran LSM Dalam Memastikan Kepatuhan Perkebunan Terkait HAM

Namun, alih-alih melakukan ini, kebanyakan korporasi cenderung menarik diri berlindung dibalik dinding yang dibentengi para pakar kata korporasi yang lebih gemar memainkan permainan defensif, yang kalaupun bereaksi, hanya bila sudah diserang, atau yang berusaha keras meyakinkan para bos mereka bahwa mereka sedang memenangkan pertarungan dengan terus menerus mengeluarkan konten berita baik dalam saluran saluran media sosial mereka.

Usaha usaha demikian tidak akan berhasil baik dan hal ini dapat menjelaskan mengapa para LSM seringkali memenangkan pertarungan remeh antara mereka dan para korporasi.

Sudah waktunya bagi korporasi untuk terbangun dari tidurnya. Memberikan label “Toksik” kepada LSM tidak akan membantu dan menghenyahkan LSM yang tidak sependapat dengan mereka adalah hal yang berbahaya. Jangan lupakan bahwa tanpa tekanan-tekanan yang dilancarkan para LSM ini, banyak dari perusahaan perusahaan yang ada tidak akan dapat mencapai titik sejauh ini dalam perjalanan keberlanjutan mereka.

Sudah waktunya bagi para pemilik perkebunan kelapa sawit untuk sedikit bersusah payah berusaha memahami proses imunisasi dan meminta pertanggungan jawab pejabat komunikasi mereka atas kekalahan korporasi terhadap LSM dalam perang memenangkan persepsi publik. Mereka sendirilah yang merupakan ancaman sebenarnya bagi industri kelapa sawit, bukan LSM.

Para bos kelapa sawit Indonesia sebaiknya tidak cengeng seperti mitra mereka di Malaysia dan mampu mengambil langkah konkrit melalui berbagai strategi komunikasi.

Industri Perhutanan? Kunjungi The Forest Scribe.
Share This