Asian Agri, salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar Indonesia, tidak mempermasalahkan rencana Parlemen Eropa untuk secara bertahap menghentikan impor minyak kelapa sawit dari Indonesia untuk program energi terbarukannya, namun mempertanyakan kebijakan diskriminasi kelapa sawit terhadap komoditi andalan Indonesia ini.

“Yang sebenarnya dilakukan Eropa itu, bila kemudian dijadikan kebijakan yang akan dijalankan, itu sebenarnya merupakan diskriminasi,” demikian Direktur Corporate Affairs Asian Agri, Muhammad Fadhil Hasan mengatakan kepada wartawan seusai penyerahan bagian premi minyak kelapa sawit kepada perwakilan 30,000 petani plasma binaan perusahaan.
Parlemen Eropa merencanakan untuk menghentikan penggunan minyak kelapa sawit untuk biodieselnya pada tahun 2021 sementara untuk minyak nabati lainnya penggunannya baru akan dihentikan tahun 2030.
“Dalam keputusan parlemen yang sekarang ini dilakukan, pemakaian biodiesel dari kelapa sawit ini kan akan dihentikan tahun 2021, sementara untuk minyak nabati yang lain, seperti rapseed, bunga matahari, itu baru tahun 2030. Nah, kenapa dibedakan?” tanya Hasan.
Hasan mengatakan bahwa seperti pemerintah dan pelaku kelapa sawit lainnya Asian Agri tidak menolak kebijakan Uni Eropa untuk menghentikan pemakaian minyak nabati dalam program energi terbarukan mereka, tetapi menolak adanya perbedaan waktu yang diberikan kepada sawit dan minyak nabati lainnyal.
Namun ia juga menekankan bahwa keputusan parlemen ini belum menjadi kebijakan dan masih memerlukan persetujuan dari Komisi Eropa dan Dewan Eropa.
Hasan mengatakan bahwa ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke Eropa mencapai 4.3 juta ton per tahun tetapi hanya 40 persen yang digunakan untuk biodiesel, selebihnya untuk industri makanan dan industri lainnya.
Yang dikhawatirkan apabila kebijakan diskriminasi kelapa sawit tersebut dijalankan, akan menjadi presenden dan mungkin diikuti oleh beberapa negara lain.
Ia memperkirakan bahwa meskipun andaikata kebijakan itu dijalankan oleh Uni Eropa, organisasi kawasan itu tetap akan mengimpor minyak kelapa sawit dari Indonesia, tetapi untuk sektor non-energi mereka.
“Eropa ini sebenarnya, mau tidak mau akan tetap bergantung kepada sawit… kalau misalnya katakanlah dihentikan untuk pemakaian biodiesel, mereka akan tetap butuh untuk makanan dan industri,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa alternatif bagi minyak kelapa sawit adalan minyak nabati seperti rapseed dan bunga matahari, namun minyak-minyak ini akan lebih mahal harganya.
“Saya tidak yakin juga, Eropa akan menghentikan impor sawit mereka. Tidak akan bisa, mereka butuh,” serunya.