Dalam beberapa waktu terakhir, badan pegiat lingkungan Greenpeace gencar melontarkan tuduhan kepada raksasa sawit swasta Wilmar serta menerapkan aksi pendudukan kilang minyak, sebuah tindakan yang dikatakan perusahaan sawit tersebut telah melampaui batas.
Menurut Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, laporan “The Final Countdown” yang menuduh perusahaan-perusahaan sawit besar, termasuk Wilmar, tidak memberlakukan praktik budidaya sawit yang baik, dibuat untuk memperingatkan pemain industri sawit yang masih saja melanggar aturan produksi keberlanjutan.
“Laporan ini kita luncurkan karena sudah dekat dengan 2020 dan Consumer Good Forum berjanji akan mengambil seluruh rantai suplai yang memenuhi krietria keberlanjutan, namun sampai sekarang masih ada saja pihak yang tidak menerapkannya,” ujar Kiki saat dihubungi The Palm Scribe melalui sambungan telepon.

Wilmar, menurutnya, masih saja belum menerapkan standar produksi ramah lingkungan hingga saat ini. “Wilmar mengaku bersih pada tahun 2013, tapi kondisi di lapangan kacau!” ujarnya.
Tuduhan tersebut ditangkis Wilmar dengan menerbitkan sebuah rilis yang menyatakan bahwa tuduhan yang dilontarkan Greenpeace tersebut hanyalah sebuah usaha mengalihkan perhatian publik agar segala usaha Wilmar yang mendukung produksi sawit yang ramah lingkungan tidak mendapatkan sorotan.
“Kami kecewa dengan tuduhan yang dibuat oleh Greenpeace karena telah tidak menghargai segala usaha dan proses yang dilakukan oleh Wilmar dalam mempromosikan pembangunan ramah lingkungan dalam industri kelapa sawit,” tulis Wilmar dalam rilisnya.
Pernyataan Wilmar ini, ditanggapi sinis oleh Taufik yang kembali mempertanyakan implemestasi keberlanjutan oleh perusahaan sawit raksasa ini. “Tulisan mereka dalam rilis tersebut adalah jawaban atas tuduhan dari laporan ‘Rogue Trader’ kami, bukan menjawab yang sekarang,” ujarnya kepada The Palm Scribe.
Pada hari Selasa, 25 September 2018 Greenpeace menduduki kilang minyak PT Multi Nabati Sulawesi sebagai salah satu anak perusahaan Wilmar yang didukung oleh Band Boomerang sebagai bagian dari protes mereka.
“Industri ini baru akan bersih bersih supply chain kalau ada NGO atau masyarakat yang complain!” tegas Kiki.
Wilmar menanggapi aksi Greepeace tersebut, dengan kembali menyatakan dan bahwa aksi pendudukan kilang minyak tersebut merupakan tindakan yang sudah melewati batas.
“Tindakan Greenpeace di kilang minyak Bitung tidak hanya merupakan aksi melanggar izin dan perusakan, namun juga membahayakan keselamatan dari pihak aktivis maupun karyawan Wilmar,” tulis pihak Wilmar melalui rilis yang diterima The Palm Scribe.
Namun Soelthon Gussetya, Direktur Forest Watch Indonesia mendukung aksi Greenpeace sebagai suatu gerakan perubahan yang diperlukan untuk mendorong keberlanjutan industri kelapa sawit.
“Kami melihatnya bahwa ini adalah bagian untuk mendorong perubahan perilaku industri ekstraktif sebagai salah satu aktor penting dalam kerangka penyelamatan lingkungan. Komitmen yang sudah baik, harus tetap dikawal implementasinya,” ujar Gussetya kepada The Palm Scribe.
Gussetya menambahkan kasus Wilmar dan Greenpeace harus menjadi cermin bagi pemerintah terkait keadaan sebenarnya dari industri kelapa sawit di Indonesia.
“Industri yang sudah punya komitmen NDPE saja masih belum clean dan clear, apalagi yang belum punya komitmen,” ujarnya ,. NDPE merupakan komitmen non-deforestasi, tidak bertanam di lahan gambut dan tanpa eksploitasi.
Distribusi informasi yang terbuka dan adil dari hulu sampai dengan hilir bersifat penting dalam industri sawit untuk memastikan penyebaran informasi yang benar, sayang, menurut Gussetya, hal tersebut belum terwujud di komoditas kelapa sawit.
“Pada industri sawit sangat sulit mencari informasi. Hal ini berpengaruh pada kepercayaan organisasi masyarakat sipil terhadap tracebilitykomoditas tersebut,” tutupnya.