
Tidak seperti rekan-rekannya yang dari Eropa, bank dan investor di Asia Tenggara lambat dalam menerjuni bidang keberlanjutan dan banyak di antara mereka gagal menangkap kesempatan yang tersedia dan memahami bahwa mereka sebenarnya dapat memainkan peran penting dalam mengajak sektor swasta dan petani kecil menapaki jalur hijau, seorang pakar keikutsertaan keuangan keberlanjutan mengatakan.
Manager Keikutsertan Keuangan Berkelanjutan WWF Malaysia Keith Lee mengatakan bahwa banyak bank-bank Eropa sudah lama aktif dalam bidang pembiayaan berkelanjutan di kawasan ini, sementara rekan-rekannya dari Asia Tenggara masih tidak menyadari atau tak acuh dengan kesempatan yang terbuka bagi mereka dan keuntungan yang dapat mereka raih dari bidang ini.
“Secara keseluruhan, bank-bank kawasan ini belum sampai ke sana dan mereka masih perlu mengerti bahwa ada kesempatan yang terbuka, mereka juga harus mengerti bahwa ada peran yang seharusnya mereka mainkan dalam bidang ini,” Lee mengatakan kepada The Palm Scribe dalam sebuah wawancara di sela-sela Konferensi Mejabundar Kelapa Sawit Berkelanjutan ke-16 di Kota Kinabalu, Sabah, Rabu (14/11).
Ia mengatakan bahwa bank-bank dan investor ini perlu memahami bahwa dari segi pengelolaan risiko, ketika mereka harus mempertanggung-jawabkan isu-isu lingkungan dan sosial, keikutsertaan mereka atau absennya mereka dari pembiayaan berkelanjutan ini dapat mempengaruhi performa perusahaan-perusahaan yang dibiayainya atau dipinjaminya. Bank dan investor yang tidak mengelola keberlanjutan nasabah mereka akan mendapatkan bahwa mereka mungkin akan menerima akibatnya, dalam hal kemampuan nasabah mereka membayar mereka kembali kelak.
Kesempatan juga terbuka bagi mereka untuk mendorong pembangunan berkelanjutan dengan memilih menangani proyek-proyek yang lebih kecil, dan perusahaan yang belum begitu mapan tetapi membutuhkan pembiayaan berkelanjutan agar dapat tumbuh secara berkelanjutan, sergahnya.
Lee percaya bahwa salah satu faktor utama mengapa bank-bank dikawasan ini tidak menekuni pembiayaan berkelanjutan adalah kurangnya kapasitas mereka.
“Dimulai dengan mereka mungkin tidak memahami bahwa risiko lingkungan dan sosial sebenarnya dapat mempengaruhi portfolio mereka, mereka mungkin tidak memahami kesempatan apa yang ada di luar sana,” ujarnya,
Ia mengatakan bahwa disamping hal hal tadi, juga terdapat masalah risiko. Kebanyakan bank dan investor masih terjerat pandangan tradisional bahwa sektor berkelanjutan adalah sektor dengan risiko investasi yang tinggi. Sampai titik tertentu, banyak kalangan di sektor swasta yang khawatir kehilangan nasabah bila mereka terlalu menuntut persyaratan keberlanjutan, hanya menunggu perintah dari pemerintah untuk menekuni pembiayaan berkelanjutan ini. Pertinah yang mengharuskan semua bank ikut serta, akan menghilangkan kekhawatiran bahwa nasabah akan pindah ke bank lain yang memiliki persyaratan keberlanjutan yang lebih santai.
Lee mengatakan bahwa risiko usaha terkait investasi dalam bidang keberlanjutan kini dapat diperkecil dengan adanya instrument keuangan yang baru, yang lebih dikenal sebagai blending finance. Ia mendefinisikan blending finance ini sebagai uang negara dari donor bank pembangunan multilateral, pemerintah dan sebagainya, dicampur dengan dana sektor swasta dan meminjamkan uang untuk pelaksanaan sebuah proyek.
“Mengapa dana ini harus dicampur?…Jika proyek tidak berjalan baik, kalian para investor akan mendapatkan uang kalian dahulu karena sebagai institusi publik, kami akan menanggung ruginya,” ujar Lee dengan menambahkan bahwa cara pembiayaan seperti itu akan memungkinkan pinjaman diberikan dengan bunga yang lebih rendah serta juga dapat menarik investasi swasta yang daloam keadaan biasa tidak akan mau masuk.
Ia mengatakan bahwa sumber dana pemerintah, termasuk Dana Kelapa Sawit misalnya, akan memiliki dampak yang lebih besar jika digunakan untuk blending finance.
“Mungkin akan lebih menguntungkan karena dengan mengalokasi uang negara untuk jenis pembiayaan seperti blended finance ini, Anda pada dasarnya menarik investasi swasta dan Anda dapat menggandakan dampak dari penggunaan uang negara ini,” jelasnya.
Dengan mengambil contoh program peremajaan kembali perkebunan rakyat di Indonesia, pemerintah memberikan subsidi bagi penanaman kembali yang hanya menutupi sebagian biaya sebenarnya. Dampak penggunaan uang tersebut hanya akan terbatas pada penanaman kembali itu saja.
“Tetapi jika uang tersebut anda taruh ke dalam blended finance, untuk tiap dolar uang negara yang Anda masukkan, mungkin Anda akan dapat menarik lima enam sampai tujuh dolar dana swasta dan karenanya dampak secara keseluruhannya lebih besar,” ujar Lee.
Bank dan para investor juga sering tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya dalam posisi dapat menggiring nasabah mereka ke jalan keberlanjutan.
“Mereka memiliki daya untuk melibatkan nasabah mereka, dengan memperlihatkan kepada mereka inilah keuntungan mengelola isu lingkungan dan sosial, inilah keuntungan bila menjadi berkelanjutan, dan kami akan bekerja dengan Anda untuk mengembangkan rencana untuk mencapai tujuan-tujuan ini sebagai syarat untuk memperoleh pembiayaan dari kami,” dikatakannya, seraya menambahkan bahwa dalam banyak kasus, keberlanjutan juga menciptakan nilai tambah bagi sang nasabah “karena sekarang kita sedang menuju ke arah di mana keberlanjutan merupakan bisnis yang bagus.”
Menurut Lee, dalam menghadapi risiko berinvestasi ke petani kecil, bank dan investor seharusnya mengambil pendekatan jurisdik dan lebih berkecimpung dalam pendekatan jurisdik di mana mereka dapat bekerja dengan pemerintah untuk menangani kondisi governance dan juga dalam mengerjakan kerangka kerja untuk menghadapi permasalahan utama yang banyak dihadapi petani kecil, seperti masalah kepemilikan lahan. Mereka juga dapat bekerja dengan para pembeli dan menciptakan solusi yang akan menguntungkan semua seperti halnya memberikan pinjaman yang lebih murah kepada pembeli kalau mereka mau membujuk pemasok mereka untuk menjadi berkelanjutan, dan membujuk pemasok itu serta para petani kecilnya untuk hanya menangani kelapa sawit yang tersertifikasi keberlanjutan.
Pendekatan jurisdik adalah sejenis tata kelola landskap terintegrasi di mana landskapnya di definisikan oleh batas-batas kebijakan dan yang strategi dasarnya dirancang untuk mencapai tingkat keikutsertaan pemerintah yang tinggi.
Lee mengatakan bahwa salah satu keuntungan lainnya dalam bekerja pada tingkat jurisdiksi adalah bahwa akan ada jauh lebih banyak petani kecil yang akan berkumpul dan dengan demikian bank akan lebih suka untuk memberikan pinjaman yang lebih besar.
Tak kalah pentingnya adalah peran dari LSM dalam mendorong keberlanjutan.
Karena mereka bekerja di lapangan bersama komunitas setempat, mereka memiliki kemampuan untuk menggunakan pendekatan multi pemangku kepentingan ini untuk menciptakan proyek yang dapat menjawab kebutuhan setempat, yang memiliki dampak yang dapat dicermati investor dan karenanya akan mendorong investor untuk membiayainya, demikian kata Lee.
LSM juga akan dapat mengidentifikasi bagaimana memonitor dampak di lapangan dalam kasus lingkungan dan sosial, mengidentifikasi jenis metrik atau standar yang sesuai, perangkat serta indikator yang dapat digunakan untuk melacak dampak proyek.
“Karena idealnya ini didasarkan kepada ilmu pengetahuan, hal ini akan memberikan tingkat kredibilitas minimum bagi investor dan bank yang menginginkan kepercayaan yang lebih besar bahwa uang mereka benar-benar memberikan dampak di lapangan. Karena inilah yang sering diminta dari mereka dalam laporan mereka kepada pihak yang uangnya mereka kelola,” Lee mengatakan.
“Jadi, terbuka kesempatan luas bagi bank-bank Indonesia, bank-bank Singapura, bank-bank Malaysia maupun bank-bank dari negara Asia lainnya, untuk mengambil kesempatan ini karena dalam pembangunan berkelanjutan terdapat kebutuhan besar akan investasi swasta untuk pencapaian SDGs (Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan) sementara dana dari pemerintah hanya akan dapat menutupi bagian kecil saja. Juga investasi dalam Pertanian merupakan bagian kunci dalam menangani perubahan iklim, mencegah deforestasi dan melakukan restorasi lanskap,” ujarnya.
Lee menunjuk kepada beberapa statistik yang memperlihatkan bahwa walaupun pertanian dan kehutanan serta pengunaan lahan lainnya bertanggung-jawab atas 24 persen emisi gas rumah kaca, mereka hanya memperoleh sekitar tiga persen dari dana untuk perubahan iklim.
Adalah penting untuk membuat bank-bank mengerti bahwa keberlanjutan membuka banyak kesempatan dan mereka akan dapat mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut melalui instrumen blended finance.
“Tetapi juga, secara lebih umum, Anda harus berpikir mengenai portfolio Anda secara keseluruhan, berapa persentase portfolio anda sesuai dengan SDGs atau selaras dengan Persetujuan Paris? Berapa persentasenya yang tidak? Karena pada akhirnya, ini mengenai transisi dari model bisnis lama ke model bisnis baru yang berkelanjutan. Jadi, bank harus berpikir mengenai kriteria apakah yang harus mereka terapkan ketika meminjamkan uang kepada perusahan besar dan menyadari bahwa mereka juga dapat bekerja dengan bisnis besar dan mendorong mereka untuk mendukung petani kecil.” ujarnya.
Ketika membiayai pembeli kelapa sawit besar misalnya, bank dapat menawarkan diskon atas pinjaman mereka jika si pembeii mau bekerja sama dengan pemasok mereka hingga pemasok tersebut juga mau bekerja dengan petani kecil dalam mencapai keberlanjutan.
“Jadi bank dan investors memiliki pengaruh luar biasa, tetapi kami benar-benar tidak melihat mereka menggunakannya,” tutup Lee.