
Kelapa Sawit. Dua kata yang dapat memicu polemik dan perdebatan sengit.
Daripada berdebat, mari kita meneliti komoditi ini secara keseluruhan mata rantai pasoknya agar dapat melihat dengan jernih mana tuduhan yang berdasar dan mana yang tidak.
Minyak kelapa sawit sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari hari dan kita jumpai dalam berbagai produk konsumsi dan makanan. Kegunaannya yang begitu beragam dan penting permintaan akan minyak sawit ini tinggi dan diprediksi akan terus meningkat.
Permintaan yang tinggi ini kemudian memicu ekspansi besar perkebunan kelapa sawit dalam beberapa dasawarsa terakhir dan dengan laju ekspansi yang jauh lebih pesat dari tanaman penghasil minyak nabati lainnya; bagi banyak orang, kelapa sawit langsung diasosiasikan dengan perusakan hutan serta akibat lainnya..
Salah satu tuduhan utama yang sering dilayangkan terhadap kelapa sawit adalah bahwa komoditas ini berada dibalik tingginya laju kehilangan tutupan hutan di negara tropis, Selain pembalakan dan pembukaan hutan untuk membangun perkebunan kelapa sawit, sistem tebang bakar yang sering digunakan untuk membuka hutan dan mempersiapkan lahan, juga melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah yang besar kedalam atmosfer.
Dalam satu dasawarsa terakhir, sekitar separuh dari deforestasi yang terjadi di Indonesia; yang merupakan produsen dan konsumen minyak sawit terbesar dan memasok sekitar setengah dari kebutuhan kelapa sawit dunia.
Antara 1990 dan 2005, Indonesia kehilangan 24,10 persen tutupan hutannya, atau sekitar 28.072.000 hektar hutan menurut data yang dikutip oleh Mongabay. Sumber yang sama juga memperlihatkan bahwa antara tahun 2000 dan 2005, laju konversi hutan tahunan di Indonesia meningkat 19,1 persen menjadi 1,91 persen.
Namun sebenarnya, kondisi kini sudah lebih baik dan laju deforestasi di Indonesia nampaknya sudah melambat. Deforestasi memang masih terjadi dengan perusahan maupun petani kurang bertanggung jawab yang terus membuka hutan untuk perkebunan baru, walaupun pemerintah sudah memberlakukan moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit baru, Deforestasi memang masih terjadi, tetapi tidak pada skala maupun laju seperti di tahun tahun sebelumnya.
World Resources Institute dalam sebuah laporannya di bulan Augustus 2018, mengatakan bahwa di tahun 2017, Indonesia menyaksikan tanda tanda yang membesarkan hati, yaitu bahwa laju kehilangan tutupan hutan negeri ini berkurang 60 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Laporan yang sama juga mengatakan bahwa Kalimantan dan Sumatra, dua pulau daerah penghasil kelapa sawit utama, mengalami penurunan terbesar dalam laju kehilangan hutan primer mereka di tahun 2016 dan 207 sebesar masing masing 68 persen dan 51 persen.
Daripada melancarkan tuduhan umum terhadap keseluruhan industri sawit, akan jauh lebih baik bila semua membantu terbangunnya sistem monitoring dan alarm dini pada tingkat akar rumput, yang dapat segera memberitahukan bila terjadi deforesasi, atau pengeluaran konsesi baru bermasalah, terutama bila tumpang tindih dengan daerah dengan nilai konservasi tinggi. Jaringan ini juga dapat menjadi sistem peringatan dini bagi terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Deforestasi telah di gambarkan dengan efektif menggunakan spesies hewan yang terancam punah dan masih kerabat jauh manusia. Orangutan telah digunakan untuk menggambarkan dramatis akibat dari perusakan hutan terhadap keragaman hayati, terutama karena dampaknya akan memberi jalan kepada perkebunan kelapa sawit yang bersifat monokultur. Tetapi kurang mendapatkan perhatian adalah berbagai usaha, langsung maupun tidak langsung, yang dilakukan perusahaan kelapa sawit untuk menjaga dan melestarikan daerah dengan nilai konservasi tinggi maupun daerah dengan stok karbon tinggi, maupun untuk melindungi, mengedukasi kembalsi serta melepaskan orangutan kembali ke alam liarnya.
Perusakan hutan juga melepaskan jumlah karbon dioksida yang besar ke atmosfer bumi. Total emisi karbon dioksida tahunan Indonesia mencapai tiga milyar ton, menempatkan Indonesia menjadi pelepas gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. Menurut Climate Transparency di awal tahun ini, emisi gas rumah kaca Indonesia di tahun 2016 sudah lebih dari berlipat dua semenjak tahun 1990, sebuah peningkatan yang terjal yang juga diperkirakan akan terus berlangsung hingga 2030.
Climate Transparency juga mengatakan bahwa emisi yang timbul dari penggunaan lahan, perubahan lahan sertan hutan, naik turun dan hingga tahun 2012, selalu lebih tinggi dari emisi sumber sumber lainnya bila digabung menjadi satu.Emisi gas karbon dioksida Indonesia memang meningkat, namun harus dikatakan juga bawa peningkatan itu dihitung dari dasar yang rendah sekali. Emisi gas karbon dioksida per kapita Indonesia di tahun 2013CCPI) yang dijalankan oleh Germanwatch dan Climate Action Network Europe, menilai tingkat emisi Indonesia sebagai relatif baik, tetapi dengan tren negatif.
Tuduhan lainnya yang sering dialamatkan kepada industri kelapa sawit Indoneia adalah terus berlangsungya pelanggaran hak hak manusia di perkebunan. Tuduhannya mulai dari kondisi kerja yang buruk, perlindungan kesehatah maupun keamanan yang rendah, diskriminasi terhadap gender dalam pekerjaan maupun pengupahan, buruh anak anak, konflik tanah dan ketidak adilan lainnya. Menurut Komisi Nasional Hak Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), sekitar 30 persen dari hampir 5.000 kasus pelanggaran hak hak azasi manusia di Indonesia yang dilaporkan kepada mereka, terkait budidaya kelapa sawit.
Walaupun banyak perusahaan sudah memberikan fasilitas kesehatan maupun pendidikan bagi buruh dan keluarga mereka, serta memastikan bahwa pekerja mereka mendapatkan upah yang paling tidak sama dengan upah minimum regional, seringkali buruh harian mereka tidak menikmati perlakuan dan fasilitas yang sama.
Penting bahwa para pekerja di bidang pertanian dan perkebunan, apapun status mereka, menerima paling tidak upah regional minimum dan bahwa perundangan nasional dipatuhi, Mengenai pekerja anak, seringkali tradisi Asia dimana seluruh keluarga ikut membantu sang pencari nafkah utama mereka dalam mencari pendapatan, dan sayangnya tidak menjadi bagian dari pertimbangan perusahaan.
Banyak perusahaan yang juga mengatakan bahwa mereka tidak mendiskriminasi buruh berdasarkan gender, namun kaum buruh perempuannya sendiri yang biasanya tidak menginginkan pekerjaan permanen dan lebih memilih fleksibilitas kerja harian karena mereka juga masih harus mengurus keluarga mereka masing masing.
Konflik tanah juga masih terus terjadi, terutama ketika hak adat masyarakat setempat tidak diperhitungkan oleh pihak yang berwenang dalam mengeluarkan izin konsesi. Belum adanya peta tunggal bagi semua instansi dan lembaga terkait juga menyumbang pada tumpang tindih yang sering terjadi dalam pengeluaran izin serta menjadi dasar dari banyak konflik pertanahan yang ada.
Dalam menjawab kritikan internasional terhadap praktek dalam industri kelapa sawit, sertifikasi keberlanjutan mungkin akan dapat sangat membantu. Skema sertifikasi yang sudah luas diakui dunia seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), International Sustainability & Carbon Certification (ISCC), maupun skema lainnya seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO), The Rainforest Alliance, dan Roundtable on Sustainable Biomaterials (RSB).
Kelapa sawit sendiri bukan sebuah komoditi yang buruk. Ia memiliki hasil tertinggi per hektar dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya. Ia juga minyak yang memiliki dua jenis berbeda, minyak mentah sawit serta minyak cangkang sawit. Dalam hal produksi minyak dan lemak, minyak sawit menggunakan lahan yuang paling sedikit dari tanaman penghasil minyak lainnya, hanya menggunakan sekitar empat persen dari total sementara menyumbangkan 32 persen dari produksi minyak nabati dunia.
Yang perlu di pastikan adalah bahwa produksi minyak kelapa sawit harus berkelanjutan sepanjang keseluruhan mata rantai pasoknya. Sertifikasi keberlanjutan, dengan mensyaratkan berbagai standar dan kriteria, akan membantu mengurangi perusakah hutan tropis, memastikan bahwa lahan yang dirubah menjadi perkebunan tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan, bahwa areal dengan nilai konservsi tinggi tidak dibabat untuk dijadikan perkebuan, bahwa praktek praktek budidaya yang baik dituruti, bahwa hanya kelapa sawit yang ditanam secara berkelanjutan diterima oleh pabrik pengolah dan dipenuhinya serta dihargainya hak hak dasar masyarakat asli, para pekerja dan keluarga mereka.
Dan karena petani kecil kini mengelola sekitar 40 persen dari perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah mutlak bahwa mereka ini diikut sertakan dalam usaha keberlanjutan, termasuk melalui sertifikasi.