Seorang pejabat senior pemerintah memperingatkan bahwa Indonesia harus dapat mengantisipasi bahwa kampanye negatif yang diarahkan kepada minyak kelapa sawit, salah satu komoditas andalan negeri ini, dapat juga nantinya menimpa komoditas lainnya yang juga penting bagi perekonomian negara
Berbicara dalam sebuah talkshow mengenai pelabelan pangan yang menyesatkan yang diselenggarakan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan pihak-pihak yang tidak senang dengan minyak kelapa sawit terus mencari isu-isu baru untuk mendasari serangan-serangan mereka terhadap komoditas ini. Apapun alasan dibalik serangan-serangan ini, apakah termotivasi oleh kepentingan bisnis, pemasaran maupun politik, pada awalnya serangan terhadap minyak sawit menggunakan dalih kesehatan yang akhirnya disanggah oleh berbagai penelitian.
Isunya kemudian beralih kini menjadi deforestasi dan juga berbagai isu “Green” yang terkait lingkungan dan keberlanjutan.
“Isu ini, dari segi sawit sendiri, akan melebar terus, bahkan produk-produk lain yang juga strategis bagi Indonesia juga akan masuk disitu,” Mahendra mengatakan, dengan mencontohkan komoditas kopi dan kakao. Ia mengatakan kecenderungan dunia kini adalah semakin merujuk kepada “prinsip-prinsip Hijau” dalam kebijakan perdagangan, ekonomi maupun politik.
“Jadi, kalau kita tidak mampu menyelesaikan dan efektif dalam menghadapi isu ini untuk sawit, maka kita akan mengalami risiko untuk produk-produk yang lain,” ujar Mahendra yang juga mantan ketua umum Dewan Negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC.)
Mengenai pelabelan yang menyesatkan, termasuk label “Bebas Minyak Sawit”, harus dihadapi dan dan ditangani tidak saja oleh para pemangku kepentingan dalam industri sawit, tetapi juga menjadi tanggung jawab semua pihak.
Sejumlah pembicara pada talkshow ini mengemukakan berbagai contoh pelabelan yang menyesatkan ini, termasuk produk yang sama sekali tidak berhubungan dengan minyak sawit tetapi tetap mencantumkan label “bebas minyak sawit.” Mereka juga mengatakan bahwa selain dapat ditemukan pada berbagai produk impor yang beredar di pasaran Indonesia, label seperti ini juga ditemukan pada beberapa produk buatan dalam negeri.
Beruntung, Badan Pengawasan Makanan dan Minuman (BPOM) aktif menjaring dn menangani produk-produk dengan pelabelan seperti ini. Reri Indrayani, Deputi Pengawasan Makanan Olahan BPOM, mengatakan bahwa peraturan dan perundangan sudah jelas mengenai hal ini, Peraturan BPOM nomor 31 tahun 2018 tentang pelabelan makanan olahan, mencantumkan tidak diperbolehkannya pelabelan berujung, secara langsung atau tidak langsung, kepada konsumen membandingkan satu produk berlabel dengan produk sama tanpa label.
“Pelabelan ‘Bebas Minyak Sawit’ dapat menimbulkan asumsi negatif terhadap dampak kandungan sawit bagi kesehatan,” ujar Indrayani dengan menambahkan bahwa pelabelan seperti ini juga tidak saja menyesatkan masyarakat tetapi juga bertentangan dengan upaya pemerintah dan pelaku usaha untuk mempromosikan industri minyak sawit Indonesia.
Mahendra mengatakan tuduhan yang mengatakan minyak kelapa sawit tidak baik bagi kesehatan manusia sudah disanggah oleh berbagai riset, baik domestic maupun internasiona. Oleh karena itu mereka yang tetap menggunakan dalih tersebut dengan memakai label “bebas minyak sawit” ini sebenarnya menyesatkan konsumen dan karenanya merupakan tindakan kriminal. Ia menambahkan label tersebut tidak hanya berdampak negatif bagi para pemangku kepentingan di sektor sawit, tetapi juga bangsa dan negara ini.
“Yang dirugikan dengan kesalahan dari para pelaku yang melakukan labeling itu adalah Republik Indonesia, bukan stakeholder sawit Indonesia semata mata,” demikian Mahendra mengatakan, dengan menambahkan bahwa “di belakang ini ada persepsi dan informasi yang misleading dan merugikan baik reputasi Indonesia secara umum dan pemerintahnya.”
Ia mengakui bahwa memang para pemangku kepentingan sawitlah yang langsung terdampak oleh labeling ini tetapi bila hal ini tidak dilihat dalam konteks yang lebih strategis, dimana yang paling dirugikan sebenarnya adalah Republik Indonesia, maka akan timbul persepsi seakan akan masalah ini adalah sepenuhnya tanggung jawab dan kewajiban para pemangku kepentingan saja untuk menyelesaikannya.
“Ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab kita semua karena yang dirugikan adalah Indonesia secara keseluruhan,” ditekankannya.
Mahendra mengatakan bahwa pemerintah telah secara aktif melakukan berbagai usaha, termasuk pendekatan, lobbying dan negosiasi di luar negeri, untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan minyak sawit, tetapi agar ini dapat berjalan baik, usaha usaha ini harus didasarkan atas Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals /SDGs).
“Dari segi internasional, apa yang harus dilakukan? Kita tentu akan melihat, kalau benar benar terkait isu sustainable development goals , kita harus dukung,” ujarnya. Ia juga mengatakan bahwa kebijakan harus dapat diukur menggunakan standar yang sama dan dalam hal ini harusnya apakah akan membantu tercapainya SDGs, dan bukan pertimbangan deforestasi saja.
Namun Manhendra juga menekankan bahwa semua pihak harus menggunakan dan menaati standar yang sama, dalam hal ini SDGs. Bila ini tidak terjadi dan hanya satu pihak saja yang diminta untuk memenuhi standar tersebut, hal itu akan berarti terjadi diskriminasi. “Dan kita tidak akan mentolerir diskriminasi,” tutupnya.